Ada
robekan besar menganga di kepalaku, kau lihat? Dari kening berderet ke atas
kuping sampai ke kepala bagian belakang. Sakit bukan main rasanya, aku selalu
menunggu saat kapan kepala ini akan sembuh. Entah kapan itu, saat di mana luka
robekan ini akan menutup dengan baik-baik saja. Aku tidak tau harus bercerita
dari mana, aku jadi lupa bagaimana caranya mengeja A B C D sampai Z.
Huruf-huruf itu seperti memanjang serupa benang-benang baja karatan di dalam
kepalaku, benang-benang itu bahkan jatuh ke usus dan lambungku. Semoga tubuhku
tidak kenapa-kenapa akibatnya ya.
Ada mawar tergenggam di tangan kiriku, cantik sekali, merah
warnanya, batangnya selalu hijau. Bunga plastik sayangnya. Ada racun tikus di
tangan kananku, pahit, baunya saja menyengat, ada sensasi rasa enek di
tenggorokan begitu aku mendekatkannya pada hidungku. Aku tergeletak pada sebuah
lubang memegang keduanya. Dengan sebuah bantal mengganjal kepala dan ingatan. Dingin
atau tidak, tak aku rasakan. Aku mengunci diri dalam sebuah ruang, sebuah benda
persegi panjang bergagang menjadi jembatan antara aku dan dunia nyata yang
mengerikan. Matahari bersinar di luar, namun entah, di dalam tubuhku seolah tak
pernah terkena cahaya. Maksudku, aku pernah, namun saat ini redup redam. Mungkin
tak akan pernah tersinari lagi. Mana yang lebih baik, mawar plastik yang selalu
cantik atau racun mematikan di tangan kanan?
Suaramu serupa pita warna-warna yang mengikat sebuah kotak
berwarna biru, apa isinya? Aku pun tak tau, bisa jadi hanya kotak kosong saja.
Ah ya, debu isinya dan bakteri yang mengakibatkan sakit di dada akibat membuka
dan melihat kekosongan di dalamnya. Aku tidak terlalu berharap bahwa kotak yang
kau ikat dengan pita suaramu itu ada isinya. Namun entah mengapa yang kudapat
malah nestapa ketika menebak-nebak mengenai sebuah isi yang sampai saat ini tak
pernah aku tau pasti.
sumber : viva.co.id |
Pada beberapa hal dalam hidup ini, tak ada yang namanya
pilihan. Perkara yang satu ini tidak seperti ketika hendak pesta, bisa memilih
baju warna apa, sepatu yang mana dan model riasan seperti apa. Tidak! Yang menggantung
di atas danau itu apa?
Ada yang mengganjal, namun tak
tahu dia apa. Perasaan segan pada kehidupan tiap kali membuka mata dan
merasakan udara mengalir melalui hidung, melewati tenggorokan lalu jatuh entah
ke mana. Ke mana memang? Tentu saja ke paru-paru. Bukan, udara yang dia hirup
jatuh pada bagian yang lebih dalam, terlalu dalam dan gelap untuk dia jangkau. Pemandangan
entah apa yang ia lihat, sehingga seringkali enggan ia untuk membuka mata. Harusnya
aku tidur dan tidak bangun lagi, begitu batinnya berbicara. Apa yang ia
lihat di pagi hari memang? Langit-langit, dinding, jendela, pintu, buku-buku,
apa? Lebih dari itu, ia melihat langit malam yang dipenuhi bintang dalam satu
pandangan. Lenyap sudah ketika ia berkedip, pada kedipan selanjutnya yang ada
hanya dunia kasar. Bagaimana cara agar bintang-bintang dan malam itu tidak
hilang? Jangan berkedip sudah. Pedih, konyol sekali! Tidak usah bangun. Apa pula,
tubuh dia otomatis, seperti tarikan nafas yang keluar masuk paru tanpa permisi,
matahari dan bulan yang silih berganti. Tau tidak, taulah pasti kalau hidup ini
serba otomatis. Ada semacam roda bergerigi yang saling saut menyaut dan
berputar, seperti tamiya. Kalau begitu, lalu dinamonya dimana?
Siksa apa yang paling sakit di
dunia? Kandisa bertanya-tanya dalam hati, entah pertanyaan itu datang dari
mana. Ia lalu menjawab tanya itu sendiri, siksa itu kadarnya berbeda-beda,
sengsara pun begitu. Mau contoh, segala contoh sudah ada di dalam kepala
Kandisa, tanya saja pada dia. Kandisa tersiksa, mengapa? Karena perasaan
mengambang yang ia rasa tiap kali membuka mata di pagi hari.
Kandisa bimbang dan tersiksa
dengan kesendirian. Bukan ia tak punya kawan, laki-laki yang suka dengan
Kandisa banyak pula. Kalau semua dijejerkan, tinggal pilih saja dia mau yang
mana. Yang tampan, yang kaya, yang tampan dan yang kaya atau yang apa? Sayangnya,
satu pun di antara yang ada, tiada yang dia suka. Kasihan yang suka dia,
bertepuk sebelah kaki, berjalan sendiri, pincang.
Ada lagi yang menambah siksa dan
kebingungan dalam dirinya
“Wow.” Ucap si tukang mimpi yang
semalam menginap di kamarku, ia bangun lalu menceracau tentang mimpi-mimpinya
yang banyaaaaakkkk sekali. “Aku seperti mendapat pencerahan ini.” Katanya lagi.
Pantas saja bangunnya siang,
dengan arti lain aku bangun setengah jam lebih awal daripada dia. Tidak siang-siang
amat, jam setengah 6 ia bangun, aku jam 4.52. Pada titik 4.52 itu, perasaan
enak menyapaku, aku tidak bermimpi apa-apa memang, hanya gelap saja. Ataukah
gelap itu juga mimpi, aku tidak tau, anggap saja mimpi supaya aku juga
dikatakan bermimpi. Mimpiku itu yang gelap barusan, isinya dari awal sampai
akhir hanya hitam. Kau pernah tidur dengan kondisi lampu yang mati? Aku juga
pernah, namun gelap di dalam kepalaku ketika aku tidur jauh lebih gelap dari
kamarmu ketika kau tidur.
Hujan
bulan November kan lebih romantis daripada hujan bulan Juni. Orang bulan Juni
itu bulan gersang, mana ada hujan. Ada pun itu kalau orang Jawa bilang, udyan salah mongso. Jelas, dari namanya saja sudah Nov-Ember, ember kan tempat air. Hujan kan ya air, paslah kalau turun hujan. Atau mau setiap hari
dalam setiap bulan dalam setiap tahun turun hujan, Kak? Nanti cucianmu tidak
ada yang kering, datang ke nikahan mantanmu yang jumlahnya ratusan itu mau
pakai apa. Pakai daun pisang? Oalah, di sana dekat rumahmu kan adanya sawit ya.
Mau pakai daun sawit? Atau tak usah pakai apa-apa, kwaaakks.
“Saya
dak punya mantan kelles” Kau bilang suatu hari Kak, memakai logat ala-ala
sanalah.
Dalam
hati ku pikir-pikir, masa sih? Sok banget ini orang. Mentang-mentang cakep,
banyak yang naksir jadi ngomong begitu. Tapi, begitu adanya. Kau itu memang sok
kok, sok cool.
“Suatu
hari, pada hari ulang tahun Saya, saya ditembak oleh 57 orang laki-laki”
Katamu, tahun lalu kalau aku tidak salah ingat.
Jum’at malam memutuskan untuk
jalan-jalan dengan seorang kawan, orang Lampung -dia. Kenapa jalan-jalannya
jum’at malam? Sebab rasanya tidak ada keharusan ataupun larangan untuk
jalan-jalan malam pada hari-hari tertentu. Soal malam minggu, ah mainstream sekali
sudah. Niatnya mau ke X cafe di jalan affandi, eh kok belok-belok nunut angin.
Entah, akhirnya sampai di kedai mie Lampung di Jogja, kuning dominan
jadi warna tembok dan gerobaknya. Kalau kata orang sih, kuning itu ceria.
Memang iya sih, ada kesan ceria ceria gimana gitu.
Soal mie Lampung di Jogja,
saya ada coba porsi setengah dulu, soalnya saya pikir mie-nya bakal banyak
kayak mie-mie yang sudah-sudah. Eh ternyata pas datang, kok dikit kali ini
mienya, namanya porsi minion. Mie sama kuahnya di pisah, entah kuahnya ini Cuma
hasil rebusan sayur atau bagaimana, tidak ada minyak-minyak yang nampak di
permukaannya. Dicicip juga anyep kok, ada rasa sayur sedikit.
Ada sebuah cerita, seorang anak
yang sekarang dia sudah remaja. Ketika tulisan ini ada, umurnya menginjak 19
tahun 4 bulan lebih sedikit. Dari kecil seringkali dia diam di pojokan, bisa di
pojokan ruang tamu, pojokan kamar, pojokan kasur, pojokan dapur, pojokan
sekolah juga sering. ‘Pojokan’ seolah menjadi tempat yang nyaman dan asyik
baginya, bagian paling baik dari sebuah pojokan menurut anak tersebut adalah, pojokan
terasa aman dan hangat. Walaupun ya, tidak sekali dua kali sebuah pojokan
malah menakuti dia, suka tiba-tiba muncul jin tomang, atau mendadak ada kuntilanak
alay yang mencolek-colek dia. Mungkin benar kata orang tua, hantu menyukai
pojokan ruang.
Tau tidak, anak ini dari kecil
bahkan sebelum masuk SD, tidak pernah suka memakai rok. Bapaknya dia sampai
jengkel, masa anak perempuannya tidak kelihatan perempuan sama sekali sih.
Sebab apa si anak ini tidak suka memakai rok? Sebab, dia adalah perempuan
satu-satunya diantara saudaranya yang kesemuanya laki-laki. Boneka macam
berbi-berbian tidak punya karena tak pernah minta. Bando, pita, jepit rambut
apalagi, uhh, rambut mau disisir ibunya saja dia lari. Adalah suatu keajaiban
ketika anak tersebut mau mengenakan rok ketika pengambilan foto keluarga. Waw,
dia luluh juga setelah di rayu ibunya.
OPAK UIN Suka sekarang namanya PBAK, dan makin ribet pelaksanaannya. Barangkali bermanfaat untuk memperkaya pengetahuan (sedangkan yang menulis ini tidak tau apa-apa).
-
-
-
Adalah Indonesia negara
pluralisme. Memiliki beribu-ribu suku serta bermacam-macam bahasa daerah,
bahkan Indonesia mengakui 5 agama yang mana semua agama tersebut ditetapkan
hari libur nasional pada setiap perhelatan hari rayanya, pun hari keagaamaan
lainnya. Sebab Indonesia ialah bhinneka tunggal ika, bhinneka berasal dari
bahasa sanskerta neka yang bermakna macam, mendapat tambahan bhi
sehingga memiliki arti bermacam-macam, tunggal ialah satu serta ika bermakna
itu. Berbeda-beda tetapi satu jua, itulah Indonesia.
Seiring berjalannya zaman,
semboyan yang termaktub dalam pancasila tersebut seolah tinggal kata-kata saja.
Makin kesini makin banyak pertikaian antar golongan, entah antar agama, ras,
suku dlsb. Hal tersebut terjadi akibat ketidakmampuan menghargai perbedaan,
serta kentalnya laku etnosentrisme dalam masyarakat Indonesia. Bila ditilik
kebelakang, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, segala elemen masyarakat
bersatu padu demi satu tujuan yakni kemerdekaan. Tapi mengapa setelah takbir
kemerdekaan itu didapat, justru ikatan yang tersusun dari ragam perbedaan itu
malah bubrah?
Musim SBMPTN udah lewat, gimana lolos? Jangan sedih
jangan resah kalau nggak lolos. Buat angkatan 2016 dan 2017 yang baru
lulus tahun ini, masih ada tahun depan lagi untuk mencoba. Share pengalaman ya,
saya angkatan 2015, sudah kuliah masuk semester 5 ini. Menuruti rasa penasaran,
coba-coba deh ikut SBMPTN lagi, kemaren jurusan yang saya pilih ada di UNY
semua.
1. Sastra Indonesia
2. Kebijakan Pendidikan
– Filsafat dan Sosiologi Pendidikan
3. Sastra Jawa
Ngarepnya lolos di sastra jawa, tapi eh malah lolos di pilihan kedua, kebijakan
pendidikan. UKTnya langsung keluar, mengejutkan saya dapat UKT 3 (2,4 jt) dan
batas waktu bayarnya Cuma semingguan. Uwaw, padahal cita-cita saya dapat ukt 1
(500rb). Sebab ketidakmampuan membayar UKT dadakan itulah, alhasil UNY ini saya
lepas (dengan amat sangat berat hati). Pas ditanya temen-temen ‘heh na
lolos nggak?’ tak jawab aja ‘nggak lolos’ udah diem semua. (Dalam hati, mangkel
juga).
Fyi, kuliah saya yang sekarang ini hasil lolos UM-PTKIN,
semacam seleksi nasional buat masuk PTN yang notabene islam-islam gitu (UIN,
IAIN, STAIN). Tahun 2015 juga lolos SBM juga, pilihan ketiga jurusan psikologi
UIN Semarang, mandiri juga lolos di Mercubuana Yogya, jurusan matematika murni
(haha, kok bisa ya?”.
Ngomong-ngomong soal adsense lagi. Pagi ini dapet email dari
adsense yang menyatakan bahwa ‘situs anda sekarang sudah terhubung dengan
Adsense’. Uwaw, kok asyik, nyenengin pula. Seneng bukan karena apa, bukan
karena terbayang uang jajan yang bakal keluar dari mainan baru ini. Tapi,
seneng sebab saya berhasil acc di percobaan pertama. Nah, banyak yang bilang
kalau mereka ditolak adsense berkali-kali, padahal juga, kakak saya bilang
kalau sekarang google itu sadis, susah nerima permohonan adsense. Nah saya
buktinya, acc di percobaan pertama. Ya walau agak lama proses reviewnya. Review
pertama Cuma sehari, yang lama itu review kedua. Berhubung akun saya itu
masuknya kategori hosted, tulisannya sih ‘we’re working on connecting your site’
dan di bawahnya tertulis lagi kalau proses ini biasanya memakan waktu 3 hari. Tiga
hari apaan, review ini 2 mingguan lamanya. Tapi, menurut cerita dari google,
ada yang sampai berbulan-bulan, bahkan 6 bulan digantungkan (taulah rasanya,
pasti tidak enak).
Tiang
mikropon berdiri tegak, disamping pangimaran
terpampampang mozaik kusut berlafadz Muhammad. Seorang lelaki tua berumur
sekitar Delapan puluh
tahunan, mulutnya gemetar, tubuhnya bungkuk. Gulungan sorban bercorak hitam
putih menempel di pundaknya. Didekatkannya benda bulat panjang ke mulut,
berkelumitlah bibirnya. “ Allahuakbar.. Allahuakbar’’ ibarat nyanyian lama, kumandang
panggilan ummat tertanda waktu sembahyang menghampiri. Di kampung ini nuansa
islam tradisional amat kuat, orang-orang masih sering mengadakan tumpengan untuk sekekedar memanjatkan syukur
pada sang pencipta, lain dari itu tidak ada maksud untuk melestariakan budaya
ataupun warisan leluhur.
***
Mentari
nyalang pagi ini, di halaman depan si Mbok menarik selang, sudah pasti mau
menyiram tanaman-tanaman kesayangan Ayah. Jam beker menyala merah, 08.00
berkelap-kelip, meja bergetar. Aku masih malas beranjak dari kasur, bantal
lembut ini, tak mau kepalaku lepas rasanya.
"Faris
bangun, ayo cepet turun, cepetan mandi.’’ Suara perempuan, memanggil-manggil
Aku.
"iya,
Bu aku bangun. Tunggu..tunggu, bentar’’ jawabku malas
Faris
turun dari lantai dua, langkah gontai malas, wajah kusut kurang berwarna, berusaha
sadar agar tak jatuh dari anak tangga, satu persatu kaki mulai menapaki turun.
Ruang tengah rumah yang begitu luas serta ornamen-ornamen dinding yang pasti
tidak murah untuk mengumpulkannya. Hanya orang kelas atas yang punya selera
pajangan seperti ini.
Ngomong-ngomong soal cari uang,
internet sekarang ini menjadi ladang yang subur untuk menghasilkan uang. Ngeblog
yang awalnya iseng-iseng, mengisi kekosongan waktu atau biasa disebut wasting
time juga bisa dibuat untuk menghasilkan rejeki. Blog yang kita miliki
tinggal disambungkan saja dengan google Adsense. Tapi kak, bukan hal mudah bagi
sebuah blog untuk bisa nyambung ke adsense. Blog ini saja tidak nyambung ke
Adsense, ya karena memang tidak pernah didaftarkan sih ya.
Keuntungan main adsense tentu saja ya ke finansial dan kepuasan bathin mungkin. Ambil contoh blog kakak saya, mas
Hasan. Dia membuat blog awalnya nurulhasan.blogspot.co.id itu di tahun yang
sama dengan blog ini, tahun 2012. Cuma saya membuat blog dulu baru kemudian
kakak saya, bahkan
Sudah H min sekian dan aku
belum pulang juga, tumben ibuku tidak menerorku dengan puluhan miscall serta
sms yang tak kalah banyaknya, nduk kapan pulang? Lupakah dengan ibumu ini? Nduk
kapan pulang? Kamu ini apa lupa jalan pulang? Nduk kapan pulang? Dan seterusnya,
dan seterusnya. Tumben sekali, wallahua’lam. Ibu sedang apa ya, aku
tiba-tiba saja rindu. Sayangnya aku Cuma punya satu ibu, kalau saja aku punya
dua, rindu kambuhanku tak kan sehebat ini.
Kecil dulu, ibuku sering
menyuruh-nyuruhku ini itu, sudah seperti pembantu saja. aku disuruh bangun pagi
sebelum sebelum bedug subuh dipukul, ayam saja pada waktu seperti itu belum
bangun, aku sudah harus bangun. Bahkan dihari minggu, aku tetap harus bangun
pagi. Aku jadi tidak bisa
“Bisa gagal nikah aku ini Mak”
Pekik Agus lesu, matanya sibuk menunduk kesana kemari macam ayam yang mencari
remahan padi.
Tidak hanya Agus, tapi juga
ibunya, bapaknya, saudara sepupu, om, tante, tetangga, semuanyalah yang ikut terlibat
dalam pesta pernikahan Agus sibuk mencari.
Cincin mbah Kasmi hilang. Wuh!!!
“Kok bisa sih mbah, bukannya
cincin itu selalu ada di jari tangan” Kata Om Ratman mencari di garasi, yang
ditemukannya malah mur baut.
“Apa mungkin dipatok ayam ya?”
Bapak malah bercanda.
“Hush bapak ini, cari yang betul
biar Agus jadi nikah besok” Wajah Agus membiru, nafasnya setengah memburu,
sambil menunduk-nunduk matanya mengitari kolong meja, tak ketemu-ketemu benda
bulat bolong yang dicarinya.
Hai,
Setelah melalui perenungan yang
kalau dibilang dalam ya gag dalam-dalam amat, tajam juga gag tajam-tajam
beneran. Oke, setelah melalui perenungan yang sedang-sedang saja, soal asal
usul aku. Kok bisa aku gag mirip sama Bapak Ibu, kakaku mancung kok aku enggag.
Adekku, sepupu-sepupuku kulitnya sawo matang kok aku putihan sih (Agak HOAX
sebenarnya, tapi ini REAL). Sejak kecil aku gag bisa membaur lebur sama
saudara-saudara, rasanya kek terjebak dan itu tidak nyaman. Atau memang aku
yang aneh. Pernah suatu hari aku terbangun dari tidurku, dan berpikir kalau aku
terbangun sebagai anak ayam, rupanya itu Cuma efek mimpi. Wuh, kalau aku anak
ayam beneran, tiap sebelum subuh aku sudah harus bejejer di atas pagar untuk
training berkokok. Eh, yang berkokok kan hanya ayam jantan, jadi aku amanlah
dari ritual bangun pagi.
Aku bersaksi aku melihatnya, jelas
sekali. Mana mungkin aku berbohong, aku sudah berada lama di sana bahkan sejak
sebelum si sulung dan si bungsu melihat matahari terbit. Sejak mula Darto
tinggal hanya berdua dengan ibunya yang renta, lalu Darto menikah hingga
jadilah mereka hidup bertiga di bawah naunganku, hidup yang makin terarah namun
juga makin susah. Pangan susah, sandang apalagi, aku saja sampai lusuh tak
terurus. Lantas ibu Darto meninggal akibat rentanya. Empat bulan kemudian,
sulung lahir. Dua tahun kemudian menyusul kelahiran si bungsu. Darto dan
istrinya terbiasa memanggil sulung dengan sebutan Nduk, sementara mereka
panggil bungsu dengan sebutan Nang.
“Nduk, ambilkan bapak minum.”
Perintah Darto pada anak sulungnya yang belum kelihatan batang hidungnya.
Kau sedang tertidur lelap ketika
kita melewati bukit jagung yang dibelah-belah guna membuka jalan. Ingat tidak,
sering kau pulang pergi lewat sini. Dalam kurun waktu tiga tahun, sudah berapa
kalikah kiranya kau melakukan perjalanan itu sendiri, ada seratus kali, atau
lebih? Tak usah gusar, ini aku lihat semua yang sering kau lihat dulu. Jalanan
ini dingin, sekarang mendung, pasti tidurmu sangat nyenyak.
“Kak mendung, momen yang pas buat
bobo siang” Katamu tiap kali bilur bergelayut di kaki langit.
Adikku sayang, mendung di atas
sana menular ke dadaku, ke mataku, ke dalam kepalaku. Jangan-jangan sebentar
lagi ada hujan badai. Kita harus bergegas cepat supaya tidak ada satupun air
yang sempat menyentuh kau. Aku memacu kuda besiku lebih kencang, melesat
membelah angin, menembus waktu.
Adengoo, ketika sampai di tempat
ini, aku tahu aku harus berhenti, hati-hati membangunkan kau. Membiarkan kau
bermain bersama kupu-kupu putih, kejar-kejaran di dedaunan jati, meninggi terus
sumpah, ini cerita pendek terpanjang yang aku karang. waktu itu, diikutin lomba AA Navis award di UN Padang. ehh cuma jadi nominator, belum jatahnya menangs kak.
Malam ini, dewi-dewi kayangan turun ke bumi untuk menungguiku.
Nawang wulan beserta enam saudaranya membentang selendang-selendang cendayam
yang akan menambah aura diri ini hingga makin cantik rupawan. Aku duduk di
patut berhiaskan puspa melati dan paes terpasang di atas kepala. Aroma bedak,
air mawar serta bunga melati bersatu padu tercerup manis dalam hangit mengepul
memenuhi seluruh jiwa.
“tiba-tiba saja kamu akan pergi dari ibu ya nduk” kata
ibuku, ia masuk kamar dengan membawa nampan berisi segelas minuman. “kamu sudah
besar” katanya lagi.
Senyum sumringah menghiasi bibir merah yang terpoles gincu, makin
cantik saja diri ini. Ibu lalu duduk di kursi sebelahku, kursi itu tadi
digunakan oleh tukang rias wanita setengah baya yang mendandani diriku. Ibu
lantas menyodorkan segelas minuman. Itu teh hangat yang sangat khas di
sanubari. Aromanya, rasanya, semua bercirikan racikan ibu.
Sudah akhir tahun rupanya, kalender 2015 di dinding rumah dalam
hitungan hari akan diganti menjadi 2016, cepat sekali waktu berlari. Kadang aku
bertanya-tanya, kendaraan apa kiranya yang di kendarai sang waktu? Kalau
kupikir-pikir, dalam rentang waktu yang terasa singkat ini banyak sekali
kenangan yang telah terpatri dalam tiap inchi detakku. Tetap saja, sebanyak itu
kenangan, mengapa waktu terasa amat singkat. Tiba-tiba saja umurku akan
menginjak delapan belas tahun di bulan Maret nanti. Rasanya baru kemarin aku
bermain-main sebagai anak kecil, yang takut akan keramaian.
Senangnya diriku, mendapat jatah hari tenang menjelang UAS semester
satu selama dua minggu lamanya. Tentulah aku pulang ke rumah, di tempat aku
lahir sekaligus tempat aku bermanja kasih sayang dari Ayah dan Ibu. Di kota
kecil ini, kota bernama Pati yang terletak di provinsi jawa tengah aku
dilahirkan pada dua puluh dua Maret seribu sembilan ratus sembilan puluh
delapan lalu. Ku beri tau, bahwa rumahku ini agak jauh dari alun-alun kota,
jika naik kendaraan roda dua, pernah kuhitung dengan melihat jam tangan, hampir
tiga puluh menit waktu yang dibutuhkan untuk melaju kesana. Rumahku ini
terletak di desa kecil yang tenang. Saat pagi menjelang suara serangga yang
entah apa namanya berderit-derit memainkan sebuah irama khas pedesaan yang
tergabung dalam orkestra alam, bersama suara dedaunan dan ranting yang ditiup
desau angin. Dan embun, datanglah embun bersama fajar.