Mawar Plastik

5/06/2018 10:56:00 PM


Ada mawar tergenggam di tangan kiriku, cantik sekali, merah warnanya, batangnya selalu hijau. Bunga plastik sayangnya. Ada racun tikus di tangan kananku, pahit, baunya saja menyengat, ada sensasi rasa enek di tenggorokan begitu aku mendekatkannya pada hidungku. Aku tergeletak pada sebuah lubang memegang keduanya. Dengan sebuah bantal mengganjal kepala dan ingatan. Dingin atau tidak, tak aku rasakan. Aku mengunci diri dalam sebuah ruang, sebuah benda persegi panjang bergagang menjadi jembatan antara aku dan dunia nyata yang mengerikan. Matahari bersinar di luar, namun entah, di dalam tubuhku seolah tak pernah terkena cahaya. Maksudku, aku pernah, namun saat ini redup redam. Mungkin tak akan pernah tersinari lagi. Mana yang lebih baik, mawar plastik yang selalu cantik atau racun mematikan di tangan kanan?


Cantiknyaaaaa, bila mawar ini adalah seorang manusia, aku ibaratkan ia adalah perempuan usia 23-an. Sedang cantik-cantiknya, sedang senang-senangnya berdandan
, mengenakan bedak, pemerah bibir dan juga minyak wangi. Rambutnya selalu dan terus ia tata agar tidak beterbangan kemana-mana. Setiap apa yang ia kenakan harus sesuai dengan mode yang ada, warnanya, bentuknya, semuanya.

Coba aku cium.
Tidak berbau sama sekali! Ah ya, mawar plastik memang cantik namun tak beraroma wangi sama sekali. Bau plastik, kau tau bau plastik seperti apa? Cantiknyaaaaaa, cantik yang maya, maksudku semu. Ini mawar plastik tak pernah layu, seperti oase di padang pasir yang tak pernah usai. Kasihan sekali para musafir yang kehausan dan diiming-imingi harapan akan air segar di tengah padang. Panasnya tak hanya membakar tenggorokan namun juga membakar angan-angan.

Aku masih tergeletak pada sebuah lubang dengan bantal mengganjal kepala dan ingatan, kali ini menganga ia, semakin saja. Aku masih mengunci diri dalam sebuah ruang, sebuah benda persegi panjang bergagang menjadi jembatan antara aku dan dunia nyata yang mengerikan. Matahari bersinar di luar, namun entah, di dalam tubuhku seolah tak pernah terkena cahaya. Maksudku, aku pernah, namun saat ini redup redam. Mungkin tak akan pernah tersinari lagi. Mana yang lebih baik, mawar plastik yang selalu cantik atau racun mematikan di tangan kanan?

Terdengar seseorang mengetuk, TAK! TAK! TAK! Hei bangun, jangan terus berbaring, ragamu perlu makan supaya aku tidak gila dan terkubur bersama angan-angan dalam ruangan sempit yang semakin pengap dengan kesedihanmu ini.
Siapa itu mengetuk dadaku, suaranya jelas sekali dan jelas-jelas aku mengabaikannya. Biarlah. Aku hanya ingin tidur siang saja.

Cantiknya, mawar dalam genggamanku ini, di tangan kiriku ia seolah menari-nari. Hampir-hampir aku tergoda dengan tariannya.
Coba aku cium.
Tidak berbau sama sekali! Ah ya, mawar plastik memang cantik namun tak beraroma wangi blasss. Bau plastik, kau tau bau plastik seperti apa? Cantiks sekali, cantik dengan imuhan ‘s’ di belakangnya. Itu artinya banyak cantik, seperti ejaan dalam bahasa inggris. Mawar plastik, bila kuibaratkan sebagai manusia, ia adalah perempuan dengan sampur menggamit di tangan. Sampur yang menggantung di leher yang jenjang, menampar-nampar mataku dalam bayang-bayang, sambil terus menari ia. Ah pedih!!! Aku jadi ingin menangis. Aku boleh menangis tidak?

Matahari mata sepi yang menggantung di celah-celah jendela, matahari bukan mataku, buka pula matamu. Bukan matahatiku pula, hatiku tak bermata, bila ia bermata mungkin saat ini sudah buta total. kira-kira dokter mata mana ya yang bisa menyembuhkannya? Sebuta-butanya ia, masih mampu ia merasai bahwa mawar plastik di tangan kiri tak bernyawa. Namun indah adanya. Matahati hanya menginginkan keindahan dalam pandangan, mungkin begitu. Aku ingin memohon ampunan, namun pada siapalah? Mengampun pada langit, pada rumput-rumput, pada ayunan yang tergantung di taman, pada ubin-ubin yang berserakan halaman belakang, pada atap, pada siapa? Pertama-tama aku memohon maaf pada diri sendiri, pada raga yang sudah aku siksa-siksa dengan berbagai macam merek obat tidur dan minuman bersoda, aku mohon ampunan. Yang kedua aku minta maaf pada sang 3 kali empat beserta seluruh benda di dalamnya, tak bosan-bosan sampai pengap mereka terhimpit oleh rasaku yang bermanja-manja.

Astaga, aku memang harusnya tidak boleh bermanja-manja dengan rasa. Akibatnya aku tenggelam dalam lubang menganga yang dipenuhi oleh air mata dan air liur yang membentuk pola pulau-pulau di atas bantal yang mengganjal kepala dan ingatan. Oh ya, pada bantal aku juga minta maaf. Andai kau manusia, mungkin kau sudah melemparkan bom molotov rakitanmu pada mulutku, supaya tak lagi membubuhkan pola pulau-pulau kepadamu. Dan andai kau manusia, kau laki-laki atau perempuan? Barangkali aku bisa jatuh cinta.

TAK! TAK! TAK! Bawa aku keluaaaaaarrrrr!
Siapa itu mengetuk-ngetuk dadaku kencang sekali. Sepertinya suara itu bosan kepadaku yang selalu mengajaknya memandangi mawar plastik. Cantiknyaaaa. Cantik tapi palsu. Ibarat perempuan, ia adalah perempuan umur 23-an. Sedang cantik-cantiknya, lalu seorang laki-laki jatuh cinta padanya. Lalu ... TAK! TAK! TAK!

Baiklah, bosan rupanya ya. Ini ada racun tikus di tangan kananku. Hmm, baunya tidak enak. Setidaknya ia berbau kan, aroma yang nyata meski tak sedap di telinga, hidung dan mata. Matahari mata sepi yang menggantung di celah-celah jendela, matahari bukan mataku, buka pula matamu. Bukan matahatiku pula, hatiku tak bermata, bila ia bermata mungkin saat ini sudah buta total. kira-kira dokter mata mana ya yang bisa menyembuhkannya? Mataku tidak buta, racun itu ikut jatuh dalam lubang menganga di dadaku, pada wajahku racun itu berkata aku bersamamu.

TAK! TAK! TAK!
Siapa?

You Might Also Like

0 komentar

Tersenyumlah!

Popular Posts