P A D U
1/17/2017 11:19:00 PM
Kau sedang tertidur lelap ketika
kita melewati bukit jagung yang dibelah-belah guna membuka jalan. Ingat tidak,
sering kau pulang pergi lewat sini. Dalam kurun waktu tiga tahun, sudah berapa
kalikah kiranya kau melakukan perjalanan itu sendiri, ada seratus kali, atau
lebih? Tak usah gusar, ini aku lihat semua yang sering kau lihat dulu. Jalanan
ini dingin, sekarang mendung, pasti tidurmu sangat nyenyak.
“Kak mendung, momen yang pas buat
bobo siang” Katamu tiap kali bilur bergelayut di kaki langit.
Adikku sayang, mendung di atas
sana menular ke dadaku, ke mataku, ke dalam kepalaku. Jangan-jangan sebentar
lagi ada hujan badai. Kita harus bergegas cepat supaya tidak ada satupun air
yang sempat menyentuh kau. Aku memacu kuda besiku lebih kencang, melesat
membelah angin, menembus waktu.
Adengoo, ketika sampai di tempat
ini, aku tahu aku harus berhenti, hati-hati membangunkan kau. Membiarkan kau
bermain bersama kupu-kupu putih, kejar-kejaran di dedaunan jati, meninggi terus
meninggi. Apakah kau bahagia bersama kupu-kupu di hutan seperti ini, sepi
senyap tapi tidak pengap seperti isi badanmu belakangan. Aku malah sesak di
sini, amat sesak hingga aku ingin marah. Aku ingin menuangkan kemarahanku pada
semak belukar lima meter di sana, aku ingin marah pada dedaunan gugur, ingin
meledak pada pepohonan yang hanya diam-diam-diam. Aku ingat pada suatu
peristiwa yang pernah ada tiga bulan lalu. Sebuah peristiwa yang membawa kabar
tak enak, pahit, pedih. Yang merenggut cahaya dalam dadaku. Tapi ah sudahlah. Sudah,
ayo jalan.
Adikku sayang, baru kali ini aku
mau kau ajak berpetualang. Petualangan paling sunyi yang pernah aku jalani,
kali pertama dan kali terakhir. Aku sayang kau, malu aku mengakuinya.
Setidaknya selama dua puluh tahun kau membersamaiku, kau selalu menjadi adik
yang manis meski aku adalah kakak yang bengis. Ingat tidak, umurku sebelas kau
lima, ketika kau membuat konslet seperangkat PS-ku. Maksud kau apa menuangkan
minuman yang kau bawa ke atas mainan listrik itu, dasar anak-anak, aku memakimu
kau menangis. Aku memukulmu kau meringis. Aku meninggalkanmu kau diam.
Besoknya, kau tertawa, tertawa dan tertawa terus dengan mainanmu sendiri,
duniamu sendiri. Aku muak pada kau, itu dulu. Nyatanya sekarang semua itu amat
manis setelah aku mengingat-ingat, benar-benar manis adikku. Sampai tak
hilang-hilang bayangnya, seperti tepat di depan mataku.
Berpeganganlah, kita akan melaju
kencang.
Selanjutnya, laju roda-roda kuda
kita sampailah di kota sebelah. Seingatku, paman punya istri simpanan disini,
haruskah aku dan kau mampir? Rasanya tidak perlu, aku akan membawamu mampir di
alun-alun saja. Ya, ayo kesana.
Jogja 164 KM.
Kau punya cerita apa di kota ini,
pernah bertemu siapa di kota ini, pernah makan apa disini. Kau bercerita banyak
tapi aku menulikan telinga. Aku buta pada kenanganmu akan kota yang
berseri-seri ini, yang jaraknya hanya satu jam dari rumah ayah kita, serta tiga
jam dan seratus enam puluh empat kilometer dari Jogja. Jogja, katamu kota yang
istimewa. Kau bersikeras ingin kuliah di kota itu, sampai mogok bicara pada
Ayah kalau tidak mau menuruti maumu. Mogok makan, sampai mogok menunjukkan
muka. Terwujudlah maumu, pada akhirnya.
“Mau berlama-lama di sinikah? Atau
lanjut jalan saja?” Tanyaku. Kau diam, artinya jalan.
Sebelum-sebelum ini, aku telah
membaca buku catatanmu. Apakah aku kurang ajar sebab membuka-buka barang
milikmu tanpa ijin? Aku bahkan mengeluarkan seluruh isi lemarimu dan
mengepaknya ke dalam kardus, untuk yang satu ini ayahlah yang menyuruhkan.
Sedalam apakah laut?
Bagaimanakah rasanya menjadi
angin yang menggerakkan ombak?
Ya Tuhan aku ingin menjadi
getar namun tidak getir dalam langkah-langkah aku.
Halaman terakhir tertulis begitu,
dan asal kau tahu tulisan itulah yang akhirnya mampu memaksa aku untuk
melakukan perjalanan ini.
Membersamaimu. Aku pun tak tahu
sedalam apa laut, sebebas apa angin, dan segetar apa ombak itu. Tapi, aku akan
mengupayakan agar kau dapat tahu, dapat merasakannya. Berpeganganlah, jangan
jatuh adikku.
Ahh, sepanjang jalan yang panjang
dan membosankan ini, kenangan masa kecil kita menyiksa bathinku
sungguh-sungguh. Panas-dingin-panas-dingin-panas. Aku hanyut dalam arus keteringatan
yang tak pernah aku ingin ingat-ingat lagi setelah ini. Agaknya tidak bisa,
sebab lupa adalah ladang yang diatasnya kemarau subur enggan minggat. Sudah-sudah,
buyarlah sudah. Kita harus sampai di tujuan kan cepat-cepat.
Tidak ada yang menarik di jalanan
kota. Lampu merah tetap merah, hijau tetap hiaju seperti biasa. Andai ada lampu
biru, kau pasti suka. Pacu terus ku pacu kendaraan ini, kau duduk tenang di
belakangku. Diam. Sepertinya hanya sekedar berbisik pun enggan, mengantukkah
kau?
“Sebentar lagi kita akan sampai di
Jogja, tanpa berhenti kita langsung melaju ke tempat yang kau mau” Kataku,
padamu yang membisu.
---
---
---
Kau mau tahu sedalam apa laut,
sebebas apa angin dan segetar apa ombak? Maka rasakanlah sendiri. Aku tuangkan
kau pelan-pelan di gigir ombak, tepian pantai ini. Parangtritis, yang hitam
pasirnya lebih hitam dari abu-mu. Sayangnya, pekatnya tak sepekat ingatan akan
kau. Ada cerita apakah di atas pasir pantai yang mangar ini, entah aku tak
paham. Kau hanya bilang, di Jogja pantai yang paling kau suka adalah di sini. Sunsetnya,
desir anginnya kau suka. Padahal yang lebih-lebih indah dari pantai ini banyak,
adikku.
Mengapakah? Tak dapat terjawab
sudah.
Aku tuang kau pelan-pelan, separuh
yang jatuh tertiup angin. Terbang kesana entah ke belahan dunia mana. Setengahnya
jatuh ke air, diseret ombak menuju laut. Dengan begini, kau tahu seberapa bebas angin yang
berdesir mengenai pohon, batu bahkan atap rumah. Bahkan wajah manusia lain bila
kau mau. Dengan begini kau juga akan berpetualang ke tempat-tempat yang sama
sekali baru, berpetualang adikku, padulah dengan kebebasanmu. Berpetualanglah dalam
kedamaian. Ukurlah sedalam apa laut, saat bertemu ikan hiu atau ubur-ubur, tanyakanlah
pada mereka perihal laut seisinya yang ingin kau tanyakan.
Adikku, sampai jumpa. Mungkin setelah
ini abumu terbang sampai kembali ka atap rumah ayah. Atau setelah ini abumu
dimakan ikan di lautan sana, kemudian tanpa aku tahu ikan itu akan tersaji di
hadapanku kelak. Menyatulah kita. Menyatulah kau dengan alam, adikku. Hei,
apakah kelak kau akan benar-benar tersaji di hadapanku, di dalam perut ikan? Oh,
aku sungguh mual adikku.
---
---
---
Tertulis di koran, 22/03/2017,
seorang mahasiswi tewas di tikam kawanan rampok saat melintasi jalan provinsi
Purwodadi-Pati. Motor, HP dan barang berharga lainnya raib dibawa rampok
tersebut. Jenazah sempat tergeletak beberapa jam di semak-semak lima meter dari
jalan.
***
Rumah, 17/1/17, 23.18
1 jam 32 menit
1 jam 32 menit
3 komentar
Salam kenal dariku, wanita bersajak.
ReplyDeleteDari seorang lelaki, yang gagal bergerak.
sebuah saran, sebuah masukan.
Mengenai karyamu, yang kau tuliskan.
Seluruh cerita, dapat ku cerna
Tentang rasa sesal sang kakak, pada adiknya.
Meski sempat, ku tertegun pada bagian akhir.
Mencoba mencerna, maksud mahasiswi, yang bertemu takdir.
Tapi, ah, bukankah semua sastra memang begini.
Butuh upaya lebih untuk dapat dipahami.
Lanjutkan nak, terus gali hatimu.
Karena hari ini, penggemarmu bertambah satu.
A.R -
love you kak, heuheu. :D :D
DeleteNulis tentang diri pribadi ya gan? o.O
ReplyDeleteTersenyumlah!