Sebuah Bantal
3/07/2018 06:29:00 AM
“Wow.” Ucap si tukang mimpi yang
semalam menginap di kamarku, ia bangun lalu menceracau tentang mimpi-mimpinya
yang banyaaaaakkkk sekali. “Aku seperti mendapat pencerahan ini.” Katanya lagi.
Pantas saja bangunnya siang,
dengan arti lain aku bangun setengah jam lebih awal daripada dia. Tidak siang-siang
amat, jam setengah 6 ia bangun, aku jam 4.52. Pada titik 4.52 itu, perasaan
enak menyapaku, aku tidak bermimpi apa-apa memang, hanya gelap saja. Ataukah
gelap itu juga mimpi, aku tidak tau, anggap saja mimpi supaya aku juga
dikatakan bermimpi. Mimpiku itu yang gelap barusan, isinya dari awal sampai
akhir hanya hitam. Kau pernah tidur dengan kondisi lampu yang mati? Aku juga
pernah, namun gelap di dalam kepalaku ketika aku tidur jauh lebih gelap dari
kamarmu ketika kau tidur.
Tidak enak tau bermimpi seperti
itu, aku mendapatkan sensasi sesak nafas, dada yang bolong karena merasa galau
dan hampa, dan rasanya seperti tidak tidur.
“Kemarin-kemarin aku tidur di sana
mimpinya serem-serem” Kata si tukang mimpi lagi. Di sana mana? Mungkin di
rumahnya, iya mungkin.
“Bantal yang mbaknya pakai
istimewalah” Timpalku, sekenanya.
“Kenapa memang?”
“Tidak apa-apa” Rupanya tidak
apa-apa yang aku lontarkan membuat dia penasaran, maklum dia selalu beranggapan
bahwa ada maksud tersembunyi di setiap hal. Termasuk di balik kata tidak
apa-apa yang sebenarnya memang mengandung ‘apa-apa’ di dalamnya. Ah aku harus
jawab apa kalau sudah membuat orang penasaran?
“Eh kenapa bantalnya?”
“Karena itu bantalku, dan ini
kamarku, makanya istimewa” Jawabku sekenanya, anggaplah jawaban itu seperti
kata nananina yang sering diucapkan orang untuk tidak menjawab sebuah
pertanyaan.
Jam 6.07, sudah satu jam lebih
sedikit dan perasaanku masih saja tidak enak. Aku coba makan semangka, sudah
habis satu potong tapi masih juga. Aku coba minum obat diare, barangkali
perasaan tidak enak hati ini adalah gejala diare, masih juga tidak enak rasanya.
Aku coba bercermin, ya Allah aku kaget melihat wajahku, cantik sekali dan
terlihat segar meski bangun tidur dan belum cuci muka. Meskipun sebenarnya aku
ingin mentertawakan tingkahku yang memuji diri sendiri di depan cermin pagi
tadi, aku tetap galau.
“Aku mau ke pasar, beli lupis”
Kata si Tukang mimpi.
“Lupis itu apa? Yang bentuknya
begini ya?” Percayalah, ketika aku mengatakan ini, aku memang lupa total, lupis
itu makanan jenis apa.
“Bukan, yang manis itu”
Yang manis, gudeg juga manis, es
teh manis, aku juga manis. Woo, barulah aku ingat setelah dia mengingatkan
padaku, lupis itu makanan yang ada kelapanya di atasnya, ada gula jawanya juga.
Ah terserahlah, perasaanku masih belum baik. Menyesal aku bangun pagi lebih
pagi dari dia, barangkali kalau aku bangun siang, dia yang akan merasakan
ketidak enakan ini dan aku yang akan mimpi indah. Eh, tidak bisa, bantal yang
dia gunakan tidur kan yang itu, sementara bantalku yang ini.
Kau tahu bantal kan? Bantal itu
adalah sebuah benda yang bentuknya persegi, isinya bisa dakron, bulu atau
kapuk, atau mungkin juga baju-baju bekasmu yang sudah tak terpakai. Bantalku ini
istimewa, bantal yang mendatangkan mimpi indah bagi dia si tukang mimpi yang
semalam menginap di kamarku maksudnya. Bantal itu adalah bantal yang sarungnya
bergambar kuda jingga, bantal yang biasa menyangga kepala kekasihnya si tukang mimpi
itu. Kekasihny sering tidur bersamaku, di kamarku ini.
“Aku akan tidur di sini lebih
sering, supaya sering-sering mimpi indah” Kata dia, sebelum menutup pintu lalu
berjalan ke pasar. Perasaanku semakin tidak enak.
1 komentar
Lain kali dikasih spasi ya :D Soalnya kalau paste dari office di layout paper blogspot spasinya hilang semua, jadi emang harus diberi spasi manual tiap paragraph :D Trus ukurant font-nya agak digedein biar agak enak bacanya :D Semangat nulisnya :D
ReplyDeleteTersenyumlah!