Lelaku
1/01/2017 09:44:00 AM
Sudah akhir tahun rupanya, kalender 2015 di dinding rumah dalam
hitungan hari akan diganti menjadi 2016, cepat sekali waktu berlari. Kadang aku
bertanya-tanya, kendaraan apa kiranya yang di kendarai sang waktu? Kalau
kupikir-pikir, dalam rentang waktu yang terasa singkat ini banyak sekali
kenangan yang telah terpatri dalam tiap inchi detakku. Tetap saja, sebanyak itu
kenangan, mengapa waktu terasa amat singkat. Tiba-tiba saja umurku akan
menginjak delapan belas tahun di bulan Maret nanti. Rasanya baru kemarin aku
bermain-main sebagai anak kecil, yang takut akan keramaian.
Senangnya diriku, mendapat jatah hari tenang menjelang UAS semester
satu selama dua minggu lamanya. Tentulah aku pulang ke rumah, di tempat aku
lahir sekaligus tempat aku bermanja kasih sayang dari Ayah dan Ibu. Di kota
kecil ini, kota bernama Pati yang terletak di provinsi jawa tengah aku
dilahirkan pada dua puluh dua Maret seribu sembilan ratus sembilan puluh
delapan lalu. Ku beri tau, bahwa rumahku ini agak jauh dari alun-alun kota,
jika naik kendaraan roda dua, pernah kuhitung dengan melihat jam tangan, hampir
tiga puluh menit waktu yang dibutuhkan untuk melaju kesana. Rumahku ini
terletak di desa kecil yang tenang. Saat pagi menjelang suara serangga yang
entah apa namanya berderit-derit memainkan sebuah irama khas pedesaan yang
tergabung dalam orkestra alam, bersama suara dedaunan dan ranting yang ditiup
desau angin. Dan embun, datanglah embun bersama fajar.
Siang begini, sepi. Namun bukan sepi mencekam melainkan sepi yang
penuh kedamaian. Senang sekali aku berada di rumah, menarik diri dari derap
deru kota pelajar yang ramai akan pendatang dari seluruh penjuru. Kebanyakan
dari mereka kuyakini hendak mencapai tujuan yang sama seperti yang aku tuju di
kota pelajar, Ilmu. Sejauh yang aku tahu, ilmu-lah yang paling mulia dalam
hidup manusia. Tanpa ilmu dalam akal, jadilah manusia layaknya hewan dalam
hutan belantara sana. Pepatah mengatakan, “tuntutlah ilmu sampai ke negeri
China”, namun pada kenyataannya aku baru mampu sampai di Yogyakarta. Entah,
mungkin suatu saat nanti aku dapat pergi ke China, atau Malaysia atau
Singapura, Amerika juga bisa.
Siang ini, aku duduk di Shofa coklat di ruang tamu. Kuperhatikan
kakak lelakiku sedang bekerja, membuka-buka kardus satu kemudian kardus yang
lainnya, ia mencari sebuah barang yang di pesan oleh orang yang entah
berumahkan mana. Kakakku bekerja di rumah, penjual barang-barang via online. ia
tak terpaku pada satu jenis barang saja, namun banyak jenis. Elektronik, rumah
tangga, bahkan alat kecantikan ia jual.
Aku pindah posisi ganti duduk dikursi yang membelakangi kakak. Di
kursi yang kududuki ini mulanya seekor kucing peliharaan tidur nyenyak di
atasnya, lalu kucing itu kugeser hingga jatuh ke lantai lantas pergi dengan
sendirinya.
Ingatanku melayang pada masa yang aku saksikan ketika aku kecil
dulu, tentang kakak lelakiku utamanya. Hasan,
nama kakakku. Dalam bahasa arab artinya bagus atau dapat juga diartikan dengan
kata lain yang sepadan makna dengan kata “bagus”. Aku dengan kakak terpaut usia
enam tahun, dia kelahiran tahun sembilan dua, kuingat-ingat kalau masih ingat
betul, kubaca di balik pintu lemari di kamar ayah, tanggal lahirnya dua
Febuari. Dan tanggal itu sama dengan tanggal kelahiran Ayah pula.
***
Kelas 6 SD
Waktu itu kuingat betul, hari pengambilan foto keluarga, Ayah, Ibu,
aku, adik dan tentunya kakakku. Pada masa itu belum ada yang namanya tukang
foto datang ke rumah, yang ada si orang yang mintakan di fotolah yang datang ke
studio foto. Kakakku, masih mengenakan seragam SD putih-merah, masih berkaos
kaki pula. Baru pulang dari mengerjakan ujian sekolah, begitu saja di ajak
berfoto, marahlah dia.
Kakakku, sejak aku mengenalnya dari kecil dahulu, ia adalah sosok
yang pemarah, tak sabaran, tak mau di kasih tau barang apa hal pun pula. Keras
kepala. Dan seringkali kakak tak pernah menganggapku ada waktu kecil. Aku
dimusuhi dan aku tak tau mengapa. Namun sekarang ini aku mulai paham kenapa
kecil dulu kakak membenciku. Karena ibu lebih sayang padaku, kasih dan manjanya
lebih condong kepadaku, begitu juga ayah. Adik saja yang anak terakhir kalah
dimanja daripada aku. Orang bilang karena aku anak perempuan satu-satunya, dan
kebetulan aku anak tengah, lahir nomor dua dari tiga anak yang dimiliki ayah
dan ibu. Mitos anak tengah, kalau itu perempuan, maka ia akan menjadi paling
cantik diantara sodara perempuan yang lainnya, begitu sebaliknya jika ia
laki-laki. Kalau aku, jelaslah aku paling cantik diantara kakak dan adik, ya
aku perempuan sendiri kan.
Dengan wajah setengah cemberut, akhirnya kakakku mau di foto,
bersama aku dan adik, lalu berfoto lengkap bersama ayah dan ibu. Senyum yang
dia paksakan itu masih tersimpan jelas dalam bingkai gambar yang tergantung di
dinding ruang tamu rumah masa kecil kita. Melihatnya aku jadi tersenyum sendiri,
sungguh ingatanku membadai akan hal ini.
“lihat, kak. Wajahmu waktu SD dulu jelek banget” ejekku pada kakak
yang masih sibuk menge-pack barang. Kakakku itu hanya tersenyum.
Kelas 3 SMP
“aku mau sekolah di SMK 2” pinta kakak pada ibu waktu itu.
“ibu belum punya uang yang cukup untuk membayar uang masuknya, nak”
jawab ibu, memelas.
“nggag mau tau, pokonya aku ingin bersekolah disana. Di sekolah
yang bagus itu” kakak mulai merajuk. Kemudian kakakku itu pergi keluar dan
membanting pintu.
Seringkali aku kasihan pada kakakku. Banyak sekali keinginannya
yang tak terpenuhi, tepatnya tak dapat dipenuhi oleh ayah dan ibu. Salah satu
dari banyak keinginannya yang tak sampai adalah untuk bersekolah di SMK 2 di
kota kelahiranku. Sekolah berstatus negeri, kualitasnya bagus, gedungnya juga
bagus, pantaslah kakak ingin bersekolah disana. Kau kak, selalu saja paham mana
yang berkualitas bagus dan mana yang kurang bagus. Namun sayang, pada waktu
itu, ayah dan ibu benar-benar dalam kondisi sulit. Uang yang mereka miliki, mereka
pakai untuk membantu membayari biaya pengobatan kakek yang jumlahnya tak
sedikit. Hal tersebut pun ku tau baru-baru ini, ibu yang menceritakannya ketika
aku sudah menginjak beberapa hari di rumah.
Kakakku merajuk, mengamuk. Semua yang ada di hadapannya, benda mati
apapun itu di jungkir balikkannya. Meja, kursi, dan juga gerabah semua di
jungkir balikkannya. Namun, tak ada barang satu pun yang pecah. Entah waktu itu
kakakku membanting barang-barang perabot rumah dengan serius atau tidak, aku
tak paham. Yang aku pahami waktu itu bahwa aku merasa semakin takut pada kakak.
Lulus SMK
Kakakku, sudah lulus SMK. Walau pada akhirnya kau tak pernah
mendapatkan apa yang dia ingini untuk bersekolah di SMK 2, hanya bersekolah di
SMK biasa, swasta dan berbasis islami. Nampak bahwa semangat kakakku untuk menamatkan
sekolah amatlah minim. Sering tak masuk, sering bolos, datang setelat-telatnya.
Yang istimewa dari bolos kakaku adalah, dia tidak meninggalkan sekolah untuk bersenang-senang
bersama teman di tempat ramai semisal warnet ataupun kedai playstation, tidak
pernah. Malah kakak bolos untuk pulang ke rumah, tidur.
“aku ingin kuliah buk” ujar kakak seusai menerima hasil ujian
nasional yang berisi pernyataan lulus.
“ingin kuliah yang bagaimana, nak? Akan ayah dan ibu usahakan
uangnya” jawab ibu, hati-hati nada bicaranya.
“kuliah jurusan sistem informatika buk di STMIK”
Keinginan kakak yang satu itu terkabul setelah serentetan keinginan
yang tak terkabul sebelumnya. Bukan hanya tak dapat masuk di SMK 2, laptop,
motor, dan hape pun tak terlakui. Pemenuhan keinginan kakak yang tak terlaksana
itu membuat hati keras kakakku terlukai.
Hantaman atas kuliah kakak datang saat ia hendak menggenapi
semester tiga. Aku terjangkiti penyakit yang tiba-tiba terdeteksi sudah parah
dan harus diambil tindakan pembedahan, operasi besar. Aku terkena tumor di
kepala, hanya tumor saja syukurnya. Pantas saja aku sering pusing tak beralasan,
lalu pingsan, rupa-rupanya ada penyakit bersarang di dalam kepalaku.
Terpaksa kuliah kakakku harus berhenti sejenak, ayah mengusulkan
untuk cuti barang satu semester. Namun kakak, lebih memilih untuk berhenti
selamanya dan tak berniat untuk aktif kembali di kampus.
Tertegun aku mendengarnya. Gara-gara aku yang sakit, kakak lelakiku
yang terkena dampak penyakitnya. Kakak pasti akan sangat membenciku dan semakin
mengacuhkanku, dalam pandangan matanya aku sama sekali tak ada. Aku takut pada
kakakku, ketakutan itu membuat tensi darahku tak stabil yang mengakibatkan
jadwal pembedahan kepalaku di undur-undur.
“jangan takut, nggag akan terjadi apa-apa. Operasinya tidak akan
sakit, dik” Hibur kakakku. Ia tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang opname-ku,
menyemangatiku. Hal yang yang tak pernah aku duga-duga, ia berubah menjadi
selembut agar-agar biru.
Kakakku, dia berubah tak lagi sekeras batu.
***
“bagaimana kuliahmu, dik?” tanya kakak, masih sibuk mengemas barang
pesanan orang.
“sulit kak, sebentar lagi UAS tapi aku belum paham betul materi
kuliahnya” jawabku, menaruh perhatian penuh pada setiap gerak-gerik kakakku.
“kuliah yang benar, lulus yang benar juga. Nanti biar dapat kerjaan
yang benar. Tua nanti, ibu, ayah, adik bahkan aku akan meminta bantuanmu saat
kami kesulitan. Kaulah harapan ayah dan ibu sekarang”
“kok gitu, kak?” tanyaku heran.
“ya karena kamu yang paling banyak menghabiskan uang ayah dan ibu.
Selain itu, aku tak bisa di harapkan untuk membantu penghidupan”
Kakakku, meski tak lagi sekeras batu, ia berubah menjadi kayu. Luka
dalam batinnya.
**Pati, 27 Desember 2015**
Kak, baik-baik ya!
0 komentar
Tersenyumlah!