Monolog Kepala Robek
5/09/2018 06:42:00 PM
Ada
robekan besar menganga di kepalaku, kau lihat? Dari kening berderet ke atas
kuping sampai ke kepala bagian belakang. Sakit bukan main rasanya, aku selalu
menunggu saat kapan kepala ini akan sembuh. Entah kapan itu, saat di mana luka
robekan ini akan menutup dengan baik-baik saja. Aku tidak tau harus bercerita
dari mana, aku jadi lupa bagaimana caranya mengeja A B C D sampai Z.
Huruf-huruf itu seperti memanjang serupa benang-benang baja karatan di dalam
kepalaku, benang-benang itu bahkan jatuh ke usus dan lambungku. Semoga tubuhku
tidak kenapa-kenapa akibatnya ya.
Benang-benang
baja itu bisa tidak ya dipintal atau dirajut menjadi jembatan saja. Supaya aku
bisa menyeberangi rasa tidak enak dan tidak karuan yang aku rasakan. Sudah mau
setahun tapi rasanya baru kemarin. Aku masih ingat seberapa beratnya bahkan,
ketika perut orang itu menempel di perutku dan ketika dia menghujam-hujam dada
dan dudukku. Jantungku di ambil, dia main-mainkan sampai akhirnya tangannya
dipenuhi oleh darah, merah warnanya. Tidak hanya tangannya saja, mulut, mata
dan seluruh badannya dipenuhi darah. Darahku! Tau tidak rasanya seperti apa?
Tidak terasa apa-apa sebenarnya, hahaha.
Pada
waktu itu aku, seperti ditiupi ilmu sihir hingga memikirkan apapun aku tak
bisa. Coba saja kau rasakan sendiri, barangkali memang waktu itu aku di bawah
kendali raja gula-gula. Sehari setelah itu, baru aku sadar rasanya seperti apa.
Sakit rupanya, pertama-tama aku merasakan sakit pada dadaku. Sakit atau sesak,
aku tak bisa bedakan yang mana. Lalu sakit itu menjalar ke tangan, kaki, punggung,
pinggang, seluruh tubuh dan akhirnya mencapai kepala. Terdengar suara yang
berdenging, aku kira itu kumpulan nyamuk yang akan menggigitku. Rupanya itu
lebih dari sekedar nyamuk, itu adalah mahluk atau hal yang pada akhirnya
menggerogoti kepalaku sampai saat ini. Aku lalu meledak, dan angina pun
tertawa.
Darah
masih sering mentes dari robekan di kepalaku ini, darah itu menutupi mata,
menyumbat telinga, dan membelit-belit tangan serta kakiku hingga aku tak
berdaya. Luka itu sekarang infeksi malah, hii ada nanah di sana, hii
menjijikkan sekali. Kalau aku biarkan saja, bisa-bisa belatung lompat-lompat
tumbuh subur sampai beranak pinak di dalamnya. Dengan percaya diri mereka nanti
berpesta dengan iringan music remix di sana. Sementara aku yang punya kepala,
terikat tak bergerak di kolong-kolong langit.
Supaya
tidak berkarat, benang-benang baja itu harus diapakan ya? Harus disiram minyak
tanah apa? Atau harus diapakan sih? Aku coba miring ke kanan, benang-benang itu
tumpah dan jadi awul-awulan di tanah. Aku miring ke kiri, benang-benang itu
masuk lagi. Kembali ke posisi kusut sama persis seperti semula di dalam kepala.
Sumpah
ya, aku ingin sekali bercerita. Tapi pada siapa? Nanti aku malah dikatawai
gara-gara melukai harapan dan prinsip hidup beragama yang diajarkan orang tua.
Besok bagaimana ya caranya aku menjalankan kehidupan kalau robekan di kepala
ini tetap menganga, nanti kalau tetangga dan calon jodohku melihat ke dalamnya
bagaimana? Pasti mereka akan merasa kejijikan. Kalau sudah begitu, ketika
mereka muntah maka aku harus membersihkan muntahan-muntahan mereka yang juga
menjijikkan satu persatu-satu dong? Ketimbang menjadi cleaning service dadakan,
aku ingin kembali pada masa setahun silam saja. Saat umurku masih 19, aku
sedang diterpa-terpa asmara. Saking kencangnya terpaan itu, semua yang aku
pelajari di sekolah dan di rumah ibu jadi terhempas. Kepalaku jadi kosong dan
diisi oleh benang-benang keasyikan. Wuwuwuwu, sekarang benang itu menjadi baja
karatan. Ditambah lagi benturan keras pada kepalaku yang membuatnya menjadi
ternganga-nganga. Bisa tidak ya? Ya tidak bisa! Harus ada mata pelajaran baru
di sekolah kalau begitu, berjudul ‘Belajar
dari penyesalan’. Mana mungkin itu terjadi, biar kawan-kawannya orang-orang
saja yang mengajarkan yang begitu-begitu.
Ya
Tuhan, semoga besok jodohku menerima aku dan luka di kepalaku apa adanya.
Syukur-syukur kalau ternyata dia punya ramuan ampuh untuk merekatkan kembali
robekan menganga yang memanjang sampai ke belakang ini. Konyol sekali ya do’aku
ini, eh Tuhan masih mau mendengar do’aku tidak ya? Aku juga sudah melukai isi
kitabnya. Santai, santai! Tuhan kan maha maklum. Perut yang bergesekan dengan
perutku setahun lalu itu kepunyaan siapa? Kepunyaan pacarku, sekarang sudah
mantan. Oh, mantan kekasihku jangan kau
lupakan aku!
0 komentar
Tersenyumlah!