A T A P
1/19/2017 10:35:00 PM
Aku bersaksi aku melihatnya, jelas
sekali. Mana mungkin aku berbohong, aku sudah berada lama di sana bahkan sejak
sebelum si sulung dan si bungsu melihat matahari terbit. Sejak mula Darto
tinggal hanya berdua dengan ibunya yang renta, lalu Darto menikah hingga
jadilah mereka hidup bertiga di bawah naunganku, hidup yang makin terarah namun
juga makin susah. Pangan susah, sandang apalagi, aku saja sampai lusuh tak
terurus. Lantas ibu Darto meninggal akibat rentanya. Empat bulan kemudian,
sulung lahir. Dua tahun kemudian menyusul kelahiran si bungsu. Darto dan
istrinya terbiasa memanggil sulung dengan sebutan Nduk, sementara mereka
panggil bungsu dengan sebutan Nang.
“Nduk, ambilkan bapak minum.”
Perintah Darto pada anak sulungnya yang belum kelihatan batang hidungnya.
Siang itu, Darto pulang ke rumah
dengan wajah semprawut. Mata merah. Ujung bibir masih ditempeli busa sisa mabuk
minuman. Darto kalah lagi, uang di kantongnya raib semua, ayam kesayangannya
yang lebih disayang dari kedua anaknya pun mati. Duh sedih nian hati Darto.
Sang istri sudah setahunan ini jadi TKW di Hongkong, tiap bulan kirim uang.
Tapi, ya tapi uang itu habis di tempat judi. Judi ayam, kartu, dadu,
semuanyalah. Sulung dan bungsu jadi agak kurang terawat, makan seadanya,
belajar tidak ada yang memperhatikan. Meski kadang jika Darto tengah senang
hatinya, makanan enak-enak dibawanya pulang, banyak-banyak pula. Rumah, ah
siapa lagi yang urus kalau bukan si sulung. Gadis yang sudah menginjak kelas
dua SMP itu yang tiap pagi dan sore menyapu lantai, merapikan perabotan,
memasak sebisanya. Semua-semua pokoknya, kecuali aku yang sudah renta tak mampu
di rawatnya. Bila hujan tiba, aku tak lagi mampu membendung tetesan air.
Satu-satu rembes ke lantau, becek-beceklah sudah. Akhirnya ketika hujan usai,
sulung kadang bungsu harus repot mengepel seisi rumah. Andai Darto mau
meluangkan waktu untuk merawatku, mengobati lubang-lubang di badanku, ahh dia
sibuk judi-mabuk-judi-tidur.
“NDUKK!!” Panggil Darto geram,
pengaruh minuman.
Sulung tak lekas keluar meski
bapaknya itu berteriak memanggil. Darto akhirnya bangkit dari sofa kempet di
ruang tamu mungil rumahnya, gegas langkahnya menuju dapur, Sulung tidak ada.
Selanjutnya Darto menyibak korden kamar putrinya, oh Sulung sedang tertidur
rupanya. Masih mengenakan seragam SMP putih-biru, kasihan, tampak bahwa si
putri sulung amat lelah. Bagaimana tidak, bangun subuh untuk mengurus rumah dan
sarapan adiknya. Padahal malam sebelumnya dia belajar sampai larut, pagi-pagi
di sekolah mata pelajaran pembukanya olahraga volly, setelah itu dilanjut
matematika. Lelah betul si sulung.
Mata merah Darto membelalak jebab
melihat anak perempuannya, Sulung tidur dengan manis, sementara bapaknya
memandanginya dengan bengis. Rok seragam si Sulung agak menyingkap ke atas,
menampakkan paha mulu seorang gadis belia kelas dua SMP. Kepala Darto yang masih
dikuasai minuman tergugah mendapati pemandangan seperti itu, naluri
kelaki-lakiannya bangkit, tersulutlah nafsu yang menyambung pada keinginan
hitam akan hasrat, ya hasrat seorang laki-laki yang sudah satu tahunan
ditinggal istrinya. Darto tidak jadi marah dan memaki-maki Sulung seperti
biasanya. Justru Darto malah membiarkan Sulung tetap dalam tidurnya, Darto
mendekat, pelan langkahnya tanpa suara hingga sampailah pada tepian dipan tua
tempat Sulung memejamkan mimpi dan asa. Dibelailah wajah polos si putri Sulung.
Percampuran wajah Darto dengan istrinya, menghasilkan sulung yang berambut
tipis ikut ibunya serta kulit yang agak coklat sedikit ikut bapaknya, Darto.
Tanpa sungkan, bibir Darto
mendarat di bibir putri sulungnya, tersentaklah sulung, tak lekas mengerti apa
yang akan terjadi selanjutnya. Berguling ke kanan ia, menjauhi bapaknya yang
seolah sudah buta tuli bisu nuraninya akibat minuman.
“Bapak ngapain?” Pekik Sulung
dengan roman muka linglung.
Tak menjawab, Darto malah cepat
meraih badan mungil putrinya. Sulung hendak menjerit namun keburu dibekap oleh
tangan kasar bapaknya. Sempat tergigit tangan itu, menyisakan bekas deretan
gigi gemeligi yang kemerahan di telapak tangan Darto.
“Sialan” Maki Darto, nafsu
bercampur amarah akibat digigit Sulung membuat hasratnya semakin menjadi.
Ditariklah rambut Sulung yang
hendak kabur, mulut yang hendak berteriak itu kembali dibungkam. Kali itu lebih
kuat. Meronta-ronta, meronta terus meronta, seluruh daya yang Sulung punya ia
kerahkan agar terbebas dari terkaman bapaknya yang sudah menyerupai hewan buas.
Tak sadarkah bahwa yang Darto dekap dengan nafsu bejat itu adalah anak
kandungnya sendiri, darah dagingnya, penerus kehidupannya. Bagaimana mau sadar,
pikiran dan hatinya sudah ambyar akibat minuman keras. Diciumnya bibir si
Sulung, di kulum, di gigit, badan kecil Sulung rasanya macam tertimpa bom atom.
Sulung meledak saat bom itu menghancurkan dirinya, masa depannya, harga dirinya.
Sulung pingsan, hilang kesadarannya
atas apa yang terjadi padanya siang itu. Sementara Darto, ah tak peduli dia
pada apa yang putrinya rasakan. Ia sibuk menikmati kepingan surga dunia yang
jelas menggiringnya ke jurang neraka. Hanya desah yang bagai nafas naga di
neraka yang ia luap-luap. Sulung setelah kembali dibekap mulutnya dengan tangan
kasar hewan berwujud manusia tadinya hanya bisa merintih, mengaduh, menjerit
tanpa suara. Yang terjadi kemudian, ia benar-benar tak bersuara lagi. Sulung pingsan
dalam kesakitan. Fisik dan psikis. Badan dan bathin.
Alamak, apa yang aku perbuat
ini. Ya Tuhan, aku telah mengoyak putriku sendiri. Darto tersadar dalam
ujung perbuatannya, putrinya tergolek lemah akibat perbuatannya. Paniklah ia. Bukannya
setan telah meninggalkan kepala Darto. Aku pasti akan dipenjara akibat
melakukan ini. Ya Tuhan, aku tidak mau dipenjara. Setanlah yang menjadi
Tuhan dalam kepala Darto, ketika mabuk. Sulung yang masih pingsan dicekik
lehernya, tanpa ronta, tanpa perlawanan, tanpa suara. Aih, Sulung pejahlah
Sulung, berangkatlah ia ke alam baka akibat gelap mata bapaknya.
Darto kalap-kalap lagi, Apa
yang harus aku lakukan untuk menghilangkan kejahatanku. Selanjutnya, Darto
menyelimuti tubuh putrinya itu, sampai malam heranlah Bungsu mengapa kakaknya
tak keluar-keluar dari kamar. Sibuk main seharian, Bungsu baru pulang menjelang
petang.
“Kakakmu sedang tidur, sedang
capek” Kata Darto dingin.
Dalam pekat malam, diam-diam
was-was Darto menggendong mayat si putri Sulung, anaknya. Dibawanya ke kebun
belakang rumah, sudah digalikan lubang sedalam dua meter. Sulung dibaringkan di
dalamnya, diselimuti bapaknya dengan tumpukan tanah.
Sungguh, sebagai atap rumah yang
tak pernah kemana-mana, aku menyaksikan itu semua. Sebagai atap rumah yang tak
pernah kemana-mana, mana mungkinlah aku berbohong. Sungguh, aku menyaksikan
pemerkosaan sekaligus pembunuhan itu, perbuatan keji dan tercela seekor hewan
bernama Darto. Sungguh, sebagai atap rumah yang tak pernah kemana-mana, aku
menyaksikan itu semua.
Rumah, 19 Januari 2017, 22.28
4 komentar
darto helm suka bikin ulah
ReplyDeleteprihatin juga dengan fenomena yang terjadi dg keluarga darto. dan saya yakin fenomena itu banyak terjadi di sekitar kita
ReplyDeleteBenar..kisah2 semacam ini banyak terjadi disekitar qta..neraka petaka dunia yg digali iblis berwujud manusia...alur cerita dan penyajian bagus..dng klimaks surprise saksi bisu sang atap...sukses mas !
Deletengeri dah
ReplyDeleteTersenyumlah!