Wayah Mangir [CERPEN]

7/05/2017 09:24:00 PM


Tiang mikropon berdiri tegak, disamping pangimaran terpampampang mozaik kusut berlafadz Muhammad. Seorang lelaki tua berumur sekitar Delapan puluh tahunan, mulutnya gemetar, tubuhnya bungkuk. Gulungan sorban bercorak hitam putih menempel di pundaknya. Didekatkannya benda bulat panjang ke mulut, berkelumitlah bibirnya. “ Allahuakbar.. Allahuakbar’’ ibarat nyanyian lama, kumandang panggilan ummat tertanda waktu sembahyang menghampiri. Di kampung ini nuansa islam tradisional amat kuat, orang-orang masih sering mengadakan tumpengan untuk sekekedar memanjatkan syukur pada sang pencipta, lain dari itu tidak ada maksud untuk melestariakan budaya ataupun warisan leluhur.

***
Mentari nyalang pagi ini, di halaman depan si Mbok menarik selang, sudah pasti mau menyiram tanaman-tanaman kesayangan Ayah. Jam beker menyala merah, 08.00 berkelap-kelip, meja bergetar. Aku masih malas beranjak dari kasur, bantal lembut ini, tak mau kepalaku lepas rasanya.
"Faris bangun, ayo cepet turun, cepetan mandi.’’ Suara perempuan, memanggil-manggil Aku.
"iya, Bu aku bangun. Tunggu..tunggu, bentar’’ jawabku malas
Faris turun dari lantai dua, langkah gontai malas, wajah kusut kurang berwarna, berusaha sadar agar tak jatuh dari anak tangga, satu persatu kaki mulai menapaki turun. Ruang tengah rumah yang begitu luas serta ornamen-ornamen dinding yang pasti tidak murah untuk mengumpulkannya. Hanya orang kelas atas yang punya selera pajangan seperti ini.

Perempuan bertubuh bulat menghamiri Faris, agak menundukan tubuh, kain lap kecil di pundak menempel manja seperti hewan kecil yang tak mau enyah. Perempuan itu berhenti di depan anak tangga terakhir, menunggu faris sampai berhenti tepat di hadapan wajahnya.
“Pagi den Faris, eh mau langsung bibi masakin air buat mandi atau..’’ Belum sempta perempuan itu habis bicara.
“Gak usah bi, aku mandi pake air biasa aja, aku udah gede bi. Masa pake air anget terus kaya bayi aja’’ jawab Faris dengan malas, rada jengkel
“oh, nggeh den. Kalau gitu bibi ke belakang dulu ya, masih ada yang musti diberesin’’ Setengah menundukan kepala perempuan bertubuh bulat itu mundur perlahan
“ok, bi” Balas faris masih dengan keadaan malas
***
Kampung ini begitu tenang dan tenteram, suara tonggeret melengking membaur dengan angin sayup menggoyangkan daun-daun pepohonan. Sebuah surau reot dengan bilik bambu yang sudah usang terdengar dari dalamnya suara tua melantunkan puji-pujian. “robbana..ya..robbana’’ suara itu dibarengi isak tangis sayu “dolamna anfusanna wailamtaghfirlana watarhamna..” Suara itu terhenti, terbius sunyi.
Tak jauh dari surau itu, rumah sederhana yang tampilannya sudah tidak baru lagi, jelas menunjukan bahwa ia sudah lama dihuni
“Euis panggilin abah sana, ini makanan sudah mateng, kasian perutnya belum diisi apa-apa dari tadi pagi’’
“Iya mak, paling abah lagi wiridan di surau. Biarin aja atuh, nanti juga pulang sendiri’’ Euis enggan berangkat dari posisi duduknya.
“Eleh-eleh, kamu teh mau kalau abah kenapa-napa, gitu” Nada perempuan tua itu mulai naik, ia marah
“Iya, iya atuh mak, Euis berangkat ini’’ Jawab Euis dengan ketusnya
“Bilangin juga sama abah, Ririn mau dateng’’ Tambah perempuan tua itu.
“Mbak Ririn mau kesini, wah sama Faris gak Mak’’ Euis sumringah.
Melihat wajah perempuan tua itu, seperti ingin cepat dituruti  kemauannya  Euis segera menuju surau yang tak jauh dari rumahnya.
***
Sementara Faris sibuk mengemas baju-bajunya, tak sengaja tumpukan buku-buku koleksinya semasa awal kuliah dulu terbuka. Faris memang tipe kutu buku, khususnya buku-buku barat dan keislaman. Ia pun banyak mengenal wawasan barat dan keislaman dari buku-buku yang dimilikinya. Berdebat tentang wawasan sejarah barat ia hampir tak pernah kalah, baginya baca buku itu perlu kalau tidak, bagaimana pengetahuan bisa didapat. Tanpa itu semua manusia akan kolot dalam berpikir salah dalam bertindak, ketajaman pikiran itu nomer satu. Terlalu lama ia memerhatikan buku-bukunya hampir saja lupa ibu sudah menunggu di halaman depan.
“Wah, ibu bisa nyerocos lagi nih’’ dengan tergesa-gesa Faris segera turun, sebelum ibunya ngomel.
***
Dari pintu terlihat, di dalam lelaki tua itu sedang duduk bersila, menundukan kepala. terus memuji dan meminta pengampunan pada Sang Hyang Tunggal. Euis sejenak memerhatikan setiap bulir tasbih berjuntai jatuh disentil ibu jari, suara lantunan kalimat-kalimat tasbih terdengar sayup sampai lawang surau tempat dimana Euis tepat berdiri. Perlahan suara itu membuat Euis menghela nafas ringan, “Subhanallah..Subhanallah.”
Angin serasa berhenti berhembus yang ada hanya lantunan lembut kalimat tasbih. Seorang gadis berparas ayu dengan pakaian putih, rok terjuntai menutup lutut, senyap tanpa kata. Lelaki tua itu menghentikan kegiatannya. Perlahan ia menoleh ke belakang, ternyata Euis anak bungsunya sekaligus orang yang masih tinggal menemani ia dan isterinya.
Neng, entong na lawang panto atuh. Cikaya naon?[1]” Lelaki tua itu bertanya maksud kedatangan Euis.
Hah...” Euis kaget tersadar dari lamunannya “punten, abah, saur emak hayu urang tuang bareng[2].” Dibalik rasa malunya Euis langsung melontarkan maksud ia datang ke surau
Enya, sakedap abah bereskeun heula[3] Di depannya beberapa buku usang sampulnya sudah robek-robek, berisi bait-bait aksara arab. Satu-persatu ditata diatas rak kecil lapuk yang menempel pada pinggir mimbar yang sama lapuknya. Sekarang lelaki tua itu berdiri, berjalan menuju arah pintu surau, Euis nampak semakin dekat di mata.
Hayu enggal, abah ge kaleresan tos peurih beteng[4]Kaki keriput coba menjangkah sendal jepit di depan batas suci surau, lelaki tua itu mulai melangkah dengan tangan dilipat kebelakang, langkah lelet menunjukan usia yang tak muda lagi, decit sendal jepit mengiringi langkah si lelaki tua. Euis menyusul dari belakang, meski langkahnya mampu lebih cepat tapi dia berusaha tetap dibelakang. Dirasa tak sopanlah  bila yang muda mendahului yang lebih tua.
Rumah kecil nan sederhana hanya tinggal hitungan Sepuluh langkah. Perempuan tua nampak dari depan rumah sedang duduk diatas bangku kayu, sambil mengorek-ngorek sebuah wadah.
“Mak, lagi apa? Tanya Euis, belum mendapat jawaban dari pertanyaannya. Euis terhenyat lupa ada sesuatu yang lupa disampaikan pada bapaknya itu. Sementara bapaknya langsung masuk ke dalam rumah, tanpa sepatah kata pun terucap.
“Aduh, Mak Euis lupa, kabar mbak Ririn mau datang belum disampein ke abah” Euis nampak gugup, sudah berpikir ibunya pasti akan marah.
Ihh, ari Euis ngora keneh geus pohoan[5] Perempuan itu berubah kesal, sontak perempuan tua itu menyusul si lelaki tua, rupanya ia sedang mengganti pakaian. Dipandanginya tubuh keriput suaminya yang dulu kekar, sekarang tidak lagi. Lelaki tua itu menoleh ia melihat istrinya yang berdiri di sampingnya.
mak, kunaon nempokeun abah[6]Tegur lelaki itu.
“Teu nanaon abah. Bah, Ririn bade datang[7]Si Emak seperti takut untuk menyampaikan. Seketika lelaki tua itu terdiam.
***
Dua puluh tahun yang lalu
Kerumunan warga memenuhi halaman depan rumah Jalal seorang veteran masa revolusi kemerdekaan, ia juga dikenal sebagai pribadi yang taat beragama karena semua warga kampung sudah tahu jalal lahir dari keluarga muslim tulen. Bapak dan ibunya dulu aktif dalam organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama. Jalal berdiri menahan warga kampung yang berkerumun di depan rumahnya, tubuhnya berdiri tegar, di kepalanya peci hitam tengger, sarung tergulung kuat di pinggang seakan memperkokoh tubuh Jalal.
Mana si Ririn, urang paehan!! Tong sok ngahalangan sagala jalal, nanaonan sagala kawin jeung jelema anu beda akidah[8]” Seorang lelaki berperawakan tinggi garang membentak, seolah mewakili lidah warga yang berkerumun. Jalal bukannya ciut malah semakin yakin, tak sampailah ia rela darah dagingnya dihakimi orang. Sementara di dalam ruangan kecil, Ririn mengigil ketakutan, tangannya dingin, keringat dingin bercucuran, hanya ada seorang perempuan disampingya yang coba menenangkan. Menguatkan.
“Mak, Ririn takut mak” suara Ririn, pelan mengarah pada perempuan di sampingnya.
Perempuan itu merangkul kepala Ririn mendekapkan ke dadanya.
“Sudah, berdo’a saja Rin. Do’akan tidak terjadi apa-apa pada Abah di luar. Emak yakin Gusti Allah pasti melihat mana yang benar dan tidak. Biar orang mau beranggapan apa soal pernikahanmu” perempuan itu tak bisa menyembunyikan perasaan sedihnya, matanya berkaca-kaca. Hanya tuhan yang tahu akan apa yang ia rasakan.
Tenang, tenang dulur sadaya, urang anggeuskeun sacara kakaluargaan[9]Tegas Jalal.
Teu bisa!! Pokokna bawa kadieu si Ririn, dasar kafir[10] Sontak mendengar kata kafir pada anaknya, bukan main darah jalal mendidih naik ke ubun-ubun, dadanya terbakar, batas kesabaran Jalal sudah habis, tidak ada alasan lagi baginya untuk menahan amarah. Satu pukulan melesat menghantam muka salah seorang lelaki dalam kerumunan, Jalal sudah di luar kendali. Ia meloncat,  menduduki tubuh lelaki yang terbaring terkena pukulannya, dengan mata melotot tangan Jalal menjambak kerah baju lelaki itu, satu tamparan keras mendarat di muka lelaki itu, tubuhnya gemetar seperti melihat hantu di siang bolong.
Semua mata yang melihat berhamburan, ada yang lari tunggang langgang, mungkin baru tersadar, bahwa walaupun Jalal sudah tua tapi dulunya dia pernah merasakan medan pertempuran melawan penjajah. Mendengar gemuruh orang berlarian dari dalam rumah, istri Jalal keluar dari persembunyiannya, betapa kaget bukan main perempuan itu menyaksikan suaminya yang biasanya diam sekarang seperti kesurupan.
“Ku aing di sabaran beki ngalunjak, sagala nyebut anak aing kafir, coba sebutkeun deui, ku aing paehan sia!![11]”  Jambakan Jalal semakin kuat, lelaki dibawah dudukan Jalal itu semakin ketakutan.
Tiba-tiba dari belakang, “Eling, bah eta batur bisi paeh, lepaskeun[12]” Tangan jalal gemetar lemas hilang tenaga, dalam keadaan seperti itu, lelaki barusan yang dipukul oleh Jalal menggeserkan tubuhnya, cepat berdiri dan langsung lari.
Tubuh Jalal tersungkur ke tanah, matanya berubah sayu menatap kosong. Perempuan di belakangnya memeluk erat tubuh lelaki di hadapannya itu, berharap setelah semua ini berakhir keadaan akan membaik. Jalal bangkit, membalik tubuh melingkarkan tangannya pada perempuan di hadapannya. Keduanya saling terisak seperti anak kecil, hanya masing-masing diantara kedunyalah yang mereka butuhkan saat ini. Tiba-tiba suara tangisan lain terdengar, memecah suasana hening, “Duh, Euis” Keduanya terhenyat langsung beranjak, belum sampai pada sumber suara, Ririn muncul dari dalam rumah sambil mengendong bayi mungil yang masih merah baru berusia sekitar tiga bulan. Jalal dan istrinya buru-buru ingin menenangkan bayi kecil mereka.
***
“Sebenarnya aku sudah menantikan saat ini tiba. Ya, berkunjung ke rumah kakek dan nenek. Sudah  lama tidak bertemu dengan mereka, aku baru dua kali bertemu dengan mereka terakhir saat aku duduk di bangku SMP kelas dua dan yang pertama saat aku kecil, itu pun aku tahu dari si Mbok. Faris membathin, terpaku kearah jendela mobil sambil termenung.
Sejauh mata memandang hamparan, sawah membentengi jalan, pemandangan yang tak biasa ia lihat di rumah, yang ada hanya kemacetan. Seorang perempuan di bagian kursi depan fokus melihat ke depan, jalan yang dilalui lumayan berlobang kalau tidak hati-hati mudah saja ban mobil masuk, lantas perjalanan terhenti. Ia melirik ke kaca di atas kepalanya, ia menemukan Faris dengan wajah melamun, entah apa yang ada dalam batin Faris, ia hanya mampu menebak-nebak.
“Faris kok ngelamun, mikirin apa? Kamu gak seneng kita ke rumah kakek nenek” Tanya perempuan itu, dengan itu dia bisa melihat ekspresi Faris, barangkali bisa tahu apa yang sedang Faris pikirkan.
“Eh, gak papa bu, aku cuma kagum lihat pemandangan saja, lagipula kan jarang lihat yang kaya gini di rumah” Jawab Faris, “Masih jauh gak bu, soalnya ini sudah jam dua, takutnya keburu sore”  Lanjut Faris, mengalihkan topik pembicaraan. Mudah-mudahan ibunya tidak tahu kalau ia sedang dibuat penasaran sekaligus rindu ingin segera sampai dan bertemu kakek dan neneknya, ia tahan perasaan itu sedari dulu.
Sudah deket kok, habis ini ada pertigaan mungkin sekitar tujuh menit lagi sampai “.
***
Satu-persatu kotoran dan kerikil kecil dicomot, jari lentik Euis cekatan memisahkan setiap kerikil dari butiran beras.Tak boleh ada satupun kotoran yang tertinggal nanti mengurangi rasa beras itu.Asyik Euis dengan butiran beras di wadah itu. Jalal mendekat dan memerhatikan Euis dari belakang, ia perhatikan betul rambutnya yang hitam dan panjang menjulur ke pinggang, jari-jari tangannya lincah menari menyeok-nyeok butiran beras di atas nyiru. Padahal seperti baru kemarin ia dipangku, baru kemarin ia merangkak jatuh. Sekarang ia sudah sebesar ini, cantik, perawakan menawan untuk gadis seumurannya.
“Euis, candak beasna ka pengker, Emak tos ngantosan, beasna kedah di asakan enggal-enggal kangge kin wengi dibaan.[13] Sekarang Euis berdiri, sembari membawa beras dengan wadah anyaman bambu, tanpa banyak tanya ia masuk ke dalam.
Jalal duduk coba menenangkan pikiran, ingatan peristiwa dua puluh tahun yang lalu masih tergambar jelas, ia megusap dadanya perlahan, tarikan nafas berhembus pelan, sebuah gulungan plastik kumal ia korek dari dalam lipatan sarung di pinggangya, ia buka perlahan plastik sebesar kepalan tangan itu, dikeluarkannya suiran tembakau lengkap dengan kulit daun aren untuk bungkusannya, jari-jari keriputnya memutar-mutar kulit aren itu. Ia bakar benda dijarinya itu, disodorkan ke mulut peotnya, pipi kempot tertarik ke dalam, asap putih halus keluar pecah di udara.
Hhm.. Sudah sampai rupanya Dahinya mengerut melihat sesosok perempuan dari kejauhan.
***
Sebuah mobil berhenti di lapang terbuka yang tidak terlalu luas, dari pintu depan keluar seorang perempuan mengenakan kerudung hijau muda yang biasa saja, kulitnya putih langsat, dengan bibir merah muda. Baju berkain biru, kilau pernak penik terpantul oleh terik matahari membalut lengan, menambah anggun sosok perempuan itu. Tak berselang lama dari pintu belakang seorang lelaki keluar dari dalam mobil.
“Ris ayo, kita sudah sampai, kamu masih ingat kan tempat ini, dulu waktu ibu kecil, ibu sering main disini’’ kata perempuan itu.
“Iya bu” Jawabnya singkat, walaupun sudah lama ia tidak pernah datang ke tempat ini tapi tidak ada yang berubah, jadi tidak begitu asing baginya untuk mengingat tempat beberapa tahun lalu ia pernah kunjungi.
Masih persis seperti dulu ya” Bibir si Perempuan bergumam, langkanya semakin pasti. Dua langkah dibelakang Faris mengikuti, dengan mata terpaku menatap lelaki tua, searah lurus di depanya, lelaki itu menatap balik, seakan sudah tahu siapa yang akan hadir. Lelaki tua itu berdiri, rokok diapitan jarinya mengepul halus.
Assalamualaikum Terucap salam dari sang perempuan. Faris hanya memperhatikan
Walaikumsalam” Lelaki tua itu akhirnya menjawab salam.
Tiba-tiba perempuan itu bersimpuh memeluk lutut lelaki tua itu, suara isak tangis kecil terdengar hingar.
Abah, Ririn nyuhunkeun hampura[14] Lelaki itu merangkul perempuan yang bersimpuh di kakinya.
Tong sagala menta hampura, bae tong sagala di inget-inget. Geus tibaheula abah jeung emak ngadago-dago, iraha rek balik, unggal peuting abah teu elat ngadoa ka Gusti Allah mugi-mugi Ririn sing aya dina kasalamatan, ayeuna ning jawabanna ti Gusti Allah. Ririn datangg oge[15]
Lalu mereka masuk ke dalam rumah, di dalam suasananya tidak berbeda seperti di luar, setelah sekian lama tak bertemu mereka bisa saling melepas rindu satu sama lain, di dalam rumah sederhana itu, kebetulan Ririn dan Faris langsung membantu menyiapkan persiapan untuk nanti malam acara dibaan rutinan pada setiap rabu malam. Di dalam acara dibaan setiap orang bergantian membaca teks syair pujian pada dituju pada nabi Muhammad.
Jalal yang sedang berbahagia hati berkumpul kembali dengan keluarganya, ia mengajak cucunya membereskan bagian tengah rumah yang tidak terlalu luas, untuk tempat berkumpul saat malam tiba. Sementara dibelakang Ririn beserta ibu dan adiknya sibuk membuat hidangan untuk suguhan warga kampung yang hadir nanti malam. Faris terlihat senang bisa terlibat kesibukan bersama kakeknya.
Tapi tetap saja batin Jalal masih berkecamuk, yakinlah ia Faris cucunya belum mengetahui apa yang terjadi Dua puluh tahun yang lalu, ia berharap Ririn tidak pernah menceritakan itu pada anaknya itu. Belum terbayang apa reaksi Faris ketika mengetahui semuanya.
Faris, pangnyandakeun barjanjina di kamar abah[16] Titah jalal.
“Maksud Abah gimana?” Faris kebingungan, tak paham apa yang disamaksudkan kakeknya.
“Oh maaf” Jalal baru sadar cucunya itu tidak mengerti bahasa Sunda, “Tolong ambilkan barjanji di kamar abah, kitab-kitab yang warnanya hijau, bawa semuanya kesini” Jelas Jalal.
Oh, iya Bah Faris manggut tanda ia sudah paham maksud kakeknya.
Faris berjalan ke tempat yang dimaksud, tangannya menyibak kain berwarna hijau tua seperti pengganti pintu, sebuah meja pendek diatasnya penuh tumpukan dengan kitab-kitab bertuliskan arab gundul yang tak ia pahami artinya. Barjanji yang dimaksud kakeknya berdempetan dengan kitab –kitab itu, Faris mengambilnya satu persatu, menyusun supaya mudah mengangkatnya, tiba barjanji terakhir diambilnya. Sebuah kitab dengan sampul berwarna coklat, dikiranya kitab yang sama bertuliskan arab gundul. Ia mengambilnya.
Apa ini?” Bathin Faris, dibukanya kitab yang tidak tebal tersebut, tebalnya hampir sama dengan barjanji-barjanji itu, ia langsung membuka pada bagian tengah kitab di tangannya itu.
23 Oktober 1945, Soebang
Ini hari akoe bersama santri-santri dari Tjiandjoer, Karawang, Bekasi, dan Soebang berangkat ke Soerabaja memenoehi seroean jihad, boeat bela bangsa. Moga-moga Gusti Allah memoedahkan niat moelia kami sekaliyan.’
“ini, bukan kitab” Faris kaget ternyata benda di tangannya bukan kitab bertuliskan arab gundul, melainkan buku harian, ia lanjut membuka beberapa halaman selanjutnya.
02 Janoeari 1960, Kalidjati Soebang
‘Malam ini akoe sedang bersama sahabat dekatkoe namanja Jusuf, Jusuf sengaja datang dari Karawang, katanja ingin menghadiri acara besok hari. Esok bakal jadi hari paling paling mendebarkan dalam hioepkoe, akoe akan menikahi wanita jang selama ini koeidamkan. Namanja Tini dia orang poenya boedi baik, itoe mungkin hal jang memboeatkoe memilihnja toek jadi pendamping hidoepkoe.Akoe soedah tjukoep lama mengenalnja, rumahnja tak jauh dia dari Paboearan masih masoek daerah Soebang.’
Faris tersenyum kecil, membaca bagian dimana kakek dan neneknya menikah, betapa romantisnya orang tua jaman dulu. Ia lanjutkan halaman berikutnya, halaman yang dibuka semakin tebal, lebih tebal dari lembaran lembaran sebelumnya. Ia berharap bisa langsung pada lembaran terakhir buku itu.
10 September 1974, Rengasdengklok Karawang
Lima hari yang lalu semenjak ia mengirim surat wasiat, firasatku sudah tidak enak, entah apa yang akan terjadi. Ternyata ini jawaban dari firasatku, tubuhmu terkujur kaku tak bernyawa lagi.Kenapa semua ini harus terjadi padamu, padahal sudah kubilang dari dulu jangan ikut-ikut PKI, begini jadinya, sekarang bagaimana caraku memenuhi wasiatmu, bagaimana dengan Irfan nantinya besar tanpa seorang bapak.Selamat jalan sahabat semoga amal ibadahmu diterima disisiNYA.
PRAAKKK. Buku itu jatuh dari tangan Faris.
ke..kenapa ada nama ayah disini, lalu PKI. Apa hubungannya dengan ayah? Faris terbelalak, bukan main kagetnya, tak percaya dengan apa yang ia temukan dalam buku harian itu, mendadak dibuat bingung ia.
“Ris ada apa? Kok lama, ketemu tidak barjanjinya? Tanya Jalal dari balik bilik kamar.
Iya bah, sebentar Faris buru-buru mengembalikan buku harian itu ke tempat awalnya, terlalu lama ia di dalam kamar akan mengundang curiga sang kakek. Walaupun dia ingin sekali membuka lembaran-lembaran berikutnya dari buku itu. Tapi mau bagaimana lagi rasa penasarannya harus ia tahan dulu.
“Yang ini kan bah” Mata Faris menunjuk-nunjuk barjani di tangannya, ia berusaha menyembunyikan perasaan kagetnya atas apa yang ia temukan barusan.
Iya betul, letakkan disitu saja, sekalian susun rapi
“Iya bah Faris meletakan satu demi satu barjanji, rasa penasarannya bertambah makin besar, ia sangat yakin kakeknya menyimpan rahasia besar.
“Ris Abah mau ke surau dulu, bentar lagi ashar kamu tolong bereskan sisanya, kalau sudah nanti bantu Emak dan Bibimu di dapur” Sebentar lagi waktu ashar, Jalal harus pergi ke surau bukan hanya sekedar sholat, tapi adzan dan jadi imam. Memang dialah yang dipercaya masyarakat kampung sekitar untuk mengurusi suraU dan memimpin praktek keagamaan di dalamnya.
Iya bah, percayakan saja” Faris mengcungkan jempol pada Jalal.
Jalal bergegas menuju surau, sementara Faris berusaha mengendap-ngendap masuk ke kamar kakeknya itu
“Harus kulanjutkan, kalau tidak catatan itu bisa membuatku mati penasaran”
Belum sempat Faris sampai di lawang kamar, “ayo, ikut emak ke dapur, bantu emak sama bibi bikin tumpeng  dengan wajah optimis, Tini menepuk pundak Faris.
Emak hampir saja aku jantungan
Sekali lagi Faris harus gagal mengobati rasa penasarannya, ada ganguan rupanya. Ia ikut ke dapur membantu membuat tumpeng dan segala keperluan nanti malam. Raja siang tenggelam, malam tiba warga berdatangan, tua muda bersarung duduk merapat bersila memenuhi tepian dinding ruangan sederhana. Dibaan dimulai gema puji-pujian terngiang “ya nabi salam alaika ya rasul ya habib salam alaika solawatullah alaika” suasana kidmat seperti ini bagi orang kampung menjadi momen untuk bercengkrama. Tawa lepas dan senda gurau hal yang lumrah dalam keadaan seperti ini. Berselang dibaan makan bersama jadi acara penutup. Jalal membaur dengan warga kampung yang hadir, jarum jam terus berputar membawa waktu semakin malam.
Abah, atos wengi hayu geura sare, Ririn sare di kamar emak wae jeung Euis tiluan[17]” Imbau Tini sembari menumpuk piring kotor.
Faris sama abah ya” Ajak Jalal.
Faris tampak senang diajak kakeknya itu. Jalal merebahkan diri beralas kasur kapuk tipis tanpa ranjang, Faris dengan posisi miring menunggu kakeknya tertidur pulas ia mencuri-curi kesempatan untuk membuka buku karian kakeknya itu. Tangannya ia goyang-goyangkan ke atas wajah kakeknya itu memastikan kakeknya sudah tidur. Dengan hati-hati ia ambil buku itu diatas meja sebelumnya, ia dekap perlahan buku itu di dadanya, posisinya berubah miring membelakangi Jalal.
“Sedang apa kamu Ris? Ternyata Jalal belum betul-betul terlelap.
“Hh.. Faris tak mampu menjawab, mati sudah ia ketangkap basah, buku ditangannya tak bisa ia simpan di meja lagi.
“Abah tahu, tadi siang kamu buka buku ditanganmu itu” Jalal sudah tidak bisa lagi menutupi apa yang dicatatnya dalam buku itu. Ia sudah harus jujur dengan apa yang disimpannya dibalik catatan itu. Faris mulai memberanikan diri, ketakutannya lebih kecil ketimbang rasa penasarannya.
10 September 1974, Rengasdengklok  Karawang. Apa yang sebenarnya terjadi? Faris langsung menunjuk pada salah satu catatan yang mebuatnya bertanya-tanya  “ dan kenapa ada nama ayah disitu? pertanyaan beruntun terlontar spontan dari Faris. Sekarang Jalal berdiri menatap Faris yang duduk bersila seakan yakin Jalal akan menjawabnya.
Abah bikin kopi dulu, tunggu sebentar Jalal menyikap kain penutup lawang kamar, di dapur diraciknya dua gelas kopi hitam. Lantas menggunakan nampan, dua kopi hitam dibawa masuk ke kamar, Jalal lngsung duduk berhadapan dengan cucunya. Mula-mula, Jalal menyruput kopi.
“Dulu ketika abah seusiamu, saat itu tahun 1945 Negara kita sedang berjuang hebat-hebatnya mempertahankan kemerdekaan. Belanda ketika itu mau balik ke Indonesia, kyai dan santri juga ikut turun ke medan perang, beruntung para kyai sepuh tahun 1944 membentuk barisan Hizbullah, abah bisa ikut andil dengan santri-santri dari Jawa Barat Perlahan Jalal mulai mengutarakan catatan dalam buku hariannya. Faris menyimak kata demi kata apa yang disampaikan sang kakek “Terus hubungannya sama ayah apa bah? Tuntut Faris
“Anak muda tidak sabaran Jalal tersenyum kecil. Ia membuka lintingan disarungnya dibakarnya lintingan itu, berhembus huuuhh’ ia lihat Faris, tatapan ke arahnya tajam serius.
“Berita kedatangan Belanda akan balik menjajah Indonesia semakin dekat, tanggal 23 Oktober 1945, abah serta santri se-Jawa Barat memenuhi seruan para kyai sepuh buat ikut bela tanah air, disitu juga pertama kali abah bertemu dengan Jusuf, santri dari Karawang. selama perang di Surabaya dia banyak membantu abah. Dari sanalah kami mulai bersahabat, abah masih hafal betul karakteristiknya, dia tipikal orang yang kukuh dengan pendiriannya sekali. Yaa, tapi.. Jalal terhenti ada bagian yang tak mampu ia katakan.
“Kenapa bah? Komunis? Terus apa hubungannya orang yang bernama Jusuf dengan ayah?” Faris sudah tak perduli siapa lawan bicaranya. Ia lempar umpan agar kakeknya melanjutkan jalan cerita.
“Iya Jusuf memang komunis!!” Nada bicara Jalal mulai menyentak, “Kamu tahu siapa Jusuf?!!” Faris gemeteran menyaksikan kakeknya yang awalnya tenang tiba-tiba naik darah “Dia itu kakekmu, nak!” Sergah Jalal masih dengan nada tinggi.
“Ka...kakekku” Faris terbata-bata.
“Astagfirullah” Jalal mengusap dada, coba menenangkan diri “Abah dan Jusuf sama-sama santri, kami berasal dari keluarga pesantren, kental akan nuansa tradisional. Tapi Jusuf orang yang selalu haus akan ilmu, dia selalu gelisah dengan keadaan kondisi yang stagnan, berangkat dari itu semua Jusuf mulai belajar berbagai macam pengetahuan bukan hanya ilmu-ilmu pesantren, khususnya ideologi-ideologi yang berkembang kuat di Indonesia. Pilihannya jatuh pada Markxis dan bukan hal aneh kenapa dia ikut PKI Jalal mulai menjaga ritmenya, agar kronologis cerita perjalanan Jusuf bisa dipahami Faris bukan hanya PKI-nya saja.
Lalu kenapa abah tidak mencegah, bukannya saat itu pertarungan golongan islam dan komunis sudah ada? Faris kembali memancing supaya kakeknya terus bercerita.
“Abah sangat senang memiliki sahabat seperti Jusuf bukan hanya baik, tapi juga dia orang yang terus berpikir. Saat abah tahu dia ikut PKI, sama sekali abah tidak takut Faris akan menjadi orang yang seperti rumor beredar hari ini
“Atheis bukan?” Faris menyangkal sebelum kakeknya selesai bicara.
“Ya betul, karena abah tahu betul alasan kuat Jusuf ikut PKI. Dia orang yang humanis tak kuat kalau melihat bangsanya ditindas penjajah, dan ketika itu PKI salah satu organisasi yang tidak bosan-bosannya meneriakan perlawanan terhadap kaum penjajah. Walaupun dengan itu  persahabatan kami sempat dibuat renggang. Tahun 1955 sejak pemilu pertama PKI gencar menyuarakan organisasinya terhadap rakyat. Satu partai yang masih terhitung baru mampu menyaingi PKI.” Jalal semakin serius menceritakan perjalanan hidupnya dengan Jusuf di masa lalu. Ia nyalakan lagi lintingan di hadapannya.
“Partai NU, di urutan ketiga dengan perolehan suara 6.955.141 dan PKI urutan keempat dengan perolehan suara 6.179.914 Tambah Faris.
“Haha Jalal tertawa mendengar Faris, “cucuku tahu sejarah juga rupanya Faris tersenyum tengil mendapat pujian dari sang kakek.
“Apa Abah juga ikut NU ketika itu?” Tanya Faris.
Jalal menghebuskan tarikan rokok lintingannya perlahan “Buyutmu, ayah Abah itu seorang kyai kampung, atau tradisionalis. Tentu saja dia NU tullen, Abah tidak pernah ikut struktur hanya kultur saja. Saat NU ikut politik praktis, Abah sadar walaupun tidak ikut NU tapi abah seorang santri harus takdzim sama kyai, jadi abah dengan santri-santri saat itu dukung partai NU dalam pemilu. Tambah Jalal dengan mantap, faris tertawa mendengar kakeknya itu.
Haha
“Lha kok ketawa, ada yang lucu dengan itu semua nak? Jalal terheran.
“Tidak ada bah, tak kira takdim sama partai
“Haha.. Haha kamu ini, bisa saja Jalal ikut tertawa mendengar jawaban Faris.
“Tapi apa mungkin hanya itu alasannya?” Keingintahuan Faris semakin besar tentang hidup kakeknya itu, ia semakin dalam menelisik.
“Oh, tentu tidak, ada hal yang lebih penting bukan hanya soal takdim saja. Ikut serta dalam konstelasi politik bukan semata-mata untuk kekusaan tapi pengaruh dari apa yang dibawa dan itu berlaku oleh semua golongan ketika itu. Dan begitu juga yang diperjuangkan Jusuf Jalal kembali teringat akan almarhum sahabatnya itu.
“Lalu bagaimana nasib Jusuf, eh kakek maksudku?” Faris sungkan lidahnya kecentot.
“Peristiwa berdarah tahun 65 menjadi awal kehancuran komunis di Indonesia, Abah sudah mewanti-wanti Jusuf jauh-jauh hari akan keikusertaannya dalam tubuh PKI. Tapi sekali lagi bukan karena soal atheis, tapi ikatan persahabatan kami menjadi suatu hal yang harus dipertaruhkan juga keselamatannya sendiri. Pasca peristiwa tahun 65 PKI seakan dibuat harus menanggung semua kesalahan. Jusuf menganggap pemerintah orde baru waktu itu yang berselingkuh dengan kepentingan barat biang dari gagalnya revolusi Indonesia, ia harus kucing-kucingan dengan militer demi menyelamatkan nyawa. Entah bagaimana nasib sial menghampirinya, tepat tanggal 10 september 1974 tubuhnya ditemukan tidak bernyawa disebuah kotakan sawah di Karawang. Masyarakat sekitar yang sudah terkena isu pemerintah tentang komunis tahu, kalau Jusuf adalah bagian dari partai yang dilaknat pemerintah, tak ada yang mau mengurusi kematiannya kecuali segelintir dari keluarganya yang merasa iba. Lima hari sebelum ia ditemukan tak bernyawa, ia mengirim surat pada Abah. Di surat itu ia minta buat abah merawat anaknya yang masih kecil, itu ayahmu Irfan.” Jalal makin tak kuasa menahan laju air mata, ia terisak pelan kedua tangannya menyeka butiran air mata yang menetes.
“Pantas ayah tidak pernah bercerita tentang masa lalunya, selalu saja mengelak kalau aku bertanya.” Faris tertunduk, ia memukulkan kepalan tangannya ke keningnya.
“Irfan yang masih kecil abah besarkan ia seperti anak sendiri bagi abah. Saat usianya lima belas tahun abah mengirimnya ke pondok di Cianjur sambil sekolah, hari-hari abah selalu gelisah abah takut kelak Irfan bertanya tentang orang tuanya. Abah dan emak selalu menutup rapat-rapat akan jati diri Irfan dari masyarakat kampung bahkan dari tetangga dekat. Tapi bagaimanapun rahasia ditutup-tutupi tetap saja ada cela dimana itu akan terbuka, lama-kelamaan Irfan semakin sering mempertanyakan asal-usul dirinya. Suatu waktu abah dan emak perlahan memberitahunya awalnya ia amat terpukul ia mulai menutup diri, omongan abah dan emak sudah tak masuk lagi, kecuali satu orang,” Jalal sejenak berhenti, ia seakan tak percaya mampu menceritakan semua gupalan hatinya pada orang yang baru beberapa jam ia jumpai, cucunya sendiri.
“Siapa orang itu bah Suara pilu Faris seakan memohon untuk dilanjutkan ceritanya
Ririn, Ibumu. Cuma dia yang mampu masuk sekaligus menghibur pahitnya hidup Irfan. Irfan seperti lupa akan kesengsaraannya saat disamping ibumu, begitupun sebaliknya Ririn tak pernah merasa berat untuk sekedar mendengar keluh kesah Irfan. Abah tak pernah luput memperhatikan mereka, sampai ternyata kedekatan mereka berubah jadi suka sama suka. Keduanya minta sama abah buat hidup bersama, abah dan emak tanpa pikir panjang menyetujui buat mereka menikah. Bagi abah itu semua sudah suratan dari Gusti Allah, apalagi abah selalu dibayang-bayangi almarhum Jusuf.” Jalal semakin dibuat seperti anak kecil air matanya kembali banjir. Belum, belum selesai cucunya masih harus diceritakan semuanya.
“Dua Puluh tahun yang lalu entah bagaimana setelah Irfan dan ibumu menikah warga kampung mengetahui jati diri Irfan yang sebenarnya, mereka datang bergerombolan seperti kesetanan ingin membunuh turunan PKI, abah tidak bisa menyalahkan warga kampung yang termakan sejarah kelam bangsa ini. Beruntung saat itu Irfan sedang di Cianjur sowan ke kyai pondoknya dulu, setelah itu abah tahu keberadaan mereka tidak akan pernah aman jika masih tinggal disini. Jadi abah minta sama Irfan dan Ibumu untuk pindah ke luar Tambah Jalal.
Faris terhening matanya terpejam. Ia coba ingat-ingat rupa ayahnya, selama ini ia selalu banyak mendapat teguran, sering pula ia tak menghiraukannya. Mana ia tahu kalau ayahnya anak dari seorang komunis.Ayah!!” Umpatnya dalam hati.
“Sudah sekarang kamu istirahat sana Jalal memecah keheningan.
“Bah, terima kasih banyak ya Faris angkat kepalanya ia raih tubuh Jalal, ia peluk tubuh tuanya.
“E..ee, iya sama-sama nak.” Sekarang Jalal bingung dengan persaannya sendiri, “perasaan apa ini, nyaman sekali,” gumamnya dalam hati, eh, Ris Faris melepaskan pelukannya.
“Sebentar Bah,” Faris berdiri, ia berjalan menuju kamar dimana Ibunya tidur. Ia perhatikan wajah ibunya sekarang ia sentuh tangan ibunya
“Eh, Faris. Kenapa? Kok belum tidur Ririn terbangun.
“Bu, aku rindu ayahFaris memeluk ibunya.
“Lho, kamu kenapa nak? Gak biasanya.” Ririn merasa ada yang aneh dengan perilaku Faris. Di lawang pintu kamar, Jalal berdiri sembari tersenyum lebar menyaksikan pemandangan cucu dan anaknya itu.
“Tadi Abah cerita nabi-nabi sama Faris, tiba-tiba Faris jadi keingetan Irfan Ungkap Jalal.
“Haha, kok bisa Ris. Ya sudah balik ke kamar sana Ririn sedikit tertawa mendengar pernyataan Jalal. Faris kembali ke kamar bersama kakeknya.
Ris, Jangan cerita sama Ibu dan Emakmu apa yang barusan kita bahas ya, nanti emakmu jantungnya kambuh. Biasa perempuan suka khawatir berlebihan” Jalal sekedar menghibur cucunya itu.
“Haha” Faris tertawa geli “Iya bah, Faris paham Faris mencoba untuk tidur sambil berharap untuk segera bisa bertemu dengan ayahnya, Irfan.

Tamat
Tulisannya Abdul Majid yang di kasih bedak oleh Uka.
Rabu, 5 Juli 2017




[1]Jangan di depan pintu. Coba ada apa?
[2] Maaf, abah, kata emak ayo makan bareng.
[3] Iya, sebentar abah bereskan dulu.
[4] Ayo cepet, kebetulan abah juga sudah lapar.
[5] Ihh, Euis masih muda sudah pelupa.
[6] Mak, kenapa lihatin abah.
[7] Tidak apa-apa abah, bah, Ririn bakal datang.
[8] Mana si Ririn, mau tak bunuh!! Jangan sok menghalangi segala jalal, apa-apaan segala kawin sama orang yang beda akidah.
[9] Tenang, tenang saudara sekalian, kita selesaikan secara kekeluargaan
[10] Tidak bisa!! Pokoknya bawa si Ririn kesini, dasar kafir.
[11] Aku berusaha sabar malah makin ngelunjak, nyebut anakku kafir segala, coba sebutkan lagi, kubunuh kamu!!
[12] Sadar, bah itu orang bisa mati, lepaskan.
[13] Euis, bawa berasnya ke belakang, Emak sudah nuggu, berasnya harus cepat-cepat di masak buat nanti malam dibaan.
[14] Abah, Ririn minta maaf.
[15] Sudah dari dulu abah sama emak nuggu, kapan mau pulang, setiap malam tidak pernah luput berdo’a  kepada Gusti Allah semoga Ririn ada dalam keselamatan, sekaranglah jawabannya dari Gusti Allah, Ririn datang juga.
[16] Faris, tolong ambilkan barjanjinya di kamar abah.
[17] Abah, sudah mala hayo cepet tidur, Ririn tidur di kamar emak saja sama Euis bertiga.

You Might Also Like

4 komentar

Tersenyumlah!

Popular Posts