Kotak dan Pita
5/05/2018 01:01:00 AM
Suaramu serupa pita warna-warna yang mengikat sebuah kotak
berwarna biru, apa isinya? Aku pun tak tau, bisa jadi hanya kotak kosong saja.
Ah ya, debu isinya dan bakteri yang mengakibatkan sakit di dada akibat membuka
dan melihat kekosongan di dalamnya. Aku tidak terlalu berharap bahwa kotak yang
kau ikat dengan pita suaramu itu ada isinya. Namun entah mengapa yang kudapat
malah nestapa ketika menebak-nebak mengenai sebuah isi yang sampai saat ini tak
pernah aku tau pasti.
sumber : viva.co.id |
Pada beberapa hal dalam hidup ini, tak ada yang namanya
pilihan. Perkara yang satu ini tidak seperti ketika hendak pesta, bisa memilih
baju warna apa, sepatu yang mana dan model riasan seperti apa. Tidak! Yang menggantung
di atas danau itu apa?
Tanyamu suatu ketika. Itu bulan purnama, warnanya merah semerah bibirmu yang memakai lipstik entah merek apa aku tidak paham. Yang aku pahami hanya saat itu kau dan aku bersisian memandangi kubangan air yang besar sekali. Aku masih ingat bulan purnama jatuh ke air, bayang-bayang sinarnya. Dulu, dulu sekali itu terjadi. Sekarang kalau kejadian bersisian itu terulang kembali, sebelum kau bertanya apa-apa, akan aku dorong kau jatuh ke air. Aku tenggelamkan sedalam-dalamnya agar kau tau bahwa air itu tidak dangkal. Seperti yang ada dalam dadaku.
Tanyamu suatu ketika. Itu bulan purnama, warnanya merah semerah bibirmu yang memakai lipstik entah merek apa aku tidak paham. Yang aku pahami hanya saat itu kau dan aku bersisian memandangi kubangan air yang besar sekali. Aku masih ingat bulan purnama jatuh ke air, bayang-bayang sinarnya. Dulu, dulu sekali itu terjadi. Sekarang kalau kejadian bersisian itu terulang kembali, sebelum kau bertanya apa-apa, akan aku dorong kau jatuh ke air. Aku tenggelamkan sedalam-dalamnya agar kau tau bahwa air itu tidak dangkal. Seperti yang ada dalam dadaku.
Malam ini, seorang kawanku menyeberang jalan raya bersama-sama
dengan aku di belakangnya. Caranya menyeberang jalan seolah mengajakku untuk
bunuh diri berjama’ah, dia imamnya aku makmumnya. Pada keadaan jalan yang
ramai, ia menggandeng ibu jari kananku lalu nyelonong begitu saja.
Percaya diri sekali tanpa toleh kanan kiri, aku jadi iri bahwa aku tak memiliki
kepercayaan diri seperti dirinya. Andai aku punya. Hampir saja aku tertabrak
mobil yang melintas, setelahnya aku jadi merasa dekat sekali dengan Tuhan. Lalu
teringat tentang kisah nabi yang sudah mengunjungi neraka dan surga.
Surga atau neraka juga tidak bisa dipilih katanya, apakah
itu sama seperti ketika aku memilih lupa namun malah makin ingat saja? Aku
melihat setiap mangkok dan gelas di rumahku seperti ceruk matamu, melihat pisau
seperti lidahmu, bunyi mesin cuci seperti suara langkah kaki milikmu dan lain
sebagainya. Dan ingatanku masih saja tertuju pada si kotak biru yang diikat
dengan suaramu yang serupa pita warna-warni, bergulung-gulung pada
ujung-ujungnya. Isinya apa? Sampai saat ini aku tak tau pasti.
Kau kemana sih? Di kolong meja tidak ada, di bawah selimut
tidak ada, di atas piring tidak ada, di kamar mandi tidak ada, di rumahmu juga
tidak ada. Lalu tiba-tiba mata dan telingaku bersajak begini, seumpama yang ada
di dalam dadaku ini kaca, maka kaca itu sudah remuk dan kemudian menjadi
remukan kecil. Dadaku debu kaca, sampai saat ini debu itu berserakan, apabila
aku atau orang lain menyentuhkan kulit kepadanya maka akan terluka. Selamat untukmu
yang sudah menemukan kaca baru untuk kau pecahkan kemudian.
Bila kotak biru itu kosong, aku boleh mengisinya tidak? Mari
duduk bersisian lagi, aku mohon sekali saja. Lalu kau bertanyalah yang
menggantung di langit itu apa? Selanjutnya ku jawab yang menggantung di langit
itu adalah aku yang tergantung dengan pita-pita suaramu menjerat leherku. Aha, aku tau sekarang apa isinya, sebuah pembelajaran dan ingatan. Terima kasih ya
kadonya, aku sedang tidak ulang tahun.
0 komentar
Tersenyumlah!