Ada dua
kemungkinan ketika manusia hampir mencapai ujung dari sesuatu. Kemungkinan yang
pertama adalah sangat antusias dan bersemangat atau yang kedua bosan dan
kebingungan. Ada dua tipe mahasiswa tingkat akhir yang sudah tidak ada SKS lain
selain skripsi yang mau tidak mau harus digarap sampai selesai, yang pertama
sangat bersemangat ingin segera menyelesaikan pendidikan, melanjutkan kehidupan
entah itu bekerja, berkeluarga atau mungkin kuliah lagi. Tipe kedua adalah
mahasiswa yang bosan dan kebingungan, dari kebosanan itu kemudian muncul sebuah
sentakan, kira-kira bunyinya seperti ini, aku
sebenernya kuliah ini ngapain sih? Setelah lulus selanjutnya apa? Terdengar
putus asa ya?
Ada banyak banget hal-hal lucu
yang kejadian sama aku belakangan ini. Hal-hal itu jadi bikin aku semakin punya
motivasi. Sempet mikir dan bingung, kok bisa
sih hal-hal dari A, B, C dan seterusnya itu datengnya berbarengan. Yang sedih
tapi lucu ada, yang lucu tapi konyol juga ada, yang lucu dan menyedihkan juga
ada. Pokonya semuanya lucu deh karena seumur 21 tahun aku hidup, baru kali ini
hal-hal itu datang bareng-bareng.
Mulai dari penghasilanku sebagai
freelancer yang anljog parah, judul penelitian skripsi yang harus ganti
(alhamdulillahnya masih proposal sih), skincare yang pada abis, HP yang
mendadak rusak, temen-temen yang halu dan masih banyak lagi pokoknya deh.
Katanya Jovi, semua probabilitas
atau kemungkinan itu sama dengan satu.
“Misalnya, di depan ada
perempatan. Kita berpisah di situ, kamu ambil kiri dan aku ambil kanan. Kemungkinan
kita bertemu lagi sedikit-sedikitnya ya satu,” kata dia, ada 2 lipatan di
dahinya. Artinya dia sedang serius.
Aku dan Jovi mencoba untuk
berpisah, mengambil jalan yang berbeda dengan harapan akan bertemu lagi diujung
jalan. Entah ujung yang mana dan dengan jalan yang mana, aku tak paham. Sampai saat
ini, aku masih belum bertemu lagi dengan Jovi. Aku rindu.
Kami tidak saling berkirim pesan,
padahal sekarang adalah tahu 2019 dan kami berada di kota yang, ya tidak
pelosok-pelosok amat. Jogja itu kota yang modern kan? Ah ya, aku kadang tidak
sadar apakah aku sedang berada di Jogja atau di Sleman. Intinya Jogja, aku dan
Jovi berpisah di sini, bertemu juga di kota ini. Dua bulan silam.
Jovi, dengan gaun selutut yang
imut. Manis dan terlihat lembut sekali, bibirnya merah seperti selai stroberi
yang dioleskan pada roti. Rambutnya diterbangkan angina dan membelai-belai wajahnya
yang halus. Waktu itu, ketika aku pertama kali melihat Jovi di bawah beringin
kembar, sepertinya aku belum suka padanya. Aku baru kagum saja, dadaku belum
membara dan belum deg-degan seperti saat aku harus berpisah di perempatan jalan
dengan dia. Benar memang, untuk tau arti seseorang, berpisah itu perlu.
“Setan!! Apa kau
memandangi aku begitu? Tidak pernah lihat orang cakep apa? Haha...” Supat
mengumpat sosok yang sama tinggi dengan dirinya.
Ya laki-laki juga.
Entah dari mana datangnya lelaki itu, sudah seringkali tiba-tiba dia berdiri mematut
di dalam kamar Supat. Mengagetkan! Bagaimana, dari mana, lewat mana masuknya
dia ke kamar Supat. Perasaan nyamuk seekor pun tiada yang bisa menembus
barikade pertahanan kamar Supat. Jendela juga pintu selalu ia kunci
rapat-rapat, kalau mau melongok ke atas, lihatlah, plavon sampai gentengnya
digembok dengan baja 24 karat.
“Ei, masih lihat
juga kau!?” Supat melotot.
Laki-laki kurang
ajar di hadapannya juga ikut melotot, lebih besar malah matanya. Supat jadi
takut sendiri menatap mata tajam yang dalam setajam pecahan kaca itu. Supat, ia buru-buru-borat-barit membuka pintu kamarnya yang kuncinya rangkap tiga. Kunci gagang,
gembok dan grendel. Lalu supat menghambur keluar.
“Namanya Adit, tiba-tiba aku
naksir dia” Kata Jovi padaku.
Heran aku kenapa Jovi bilang dia
naksir seseorang. Seseorang yang baru dia lihat dan tidak dia kenal selain nama
dan wajahnya saja. Jovi pergi lagi berganti tatap antara satu lukisan
ke lukisan lainnya. Lukisan yang merah, yang putih, yang hitam, yang bercorak,
yang abstrak, yang yang semua lukisan di dalam ruangan itu ia amati satu
persatu.
Pada suatu bising di dalam kepala,
tiba-tiba kami sudah ada di Surakarta. Sebuah kota damai yang tak seramai
Yogyakarta pada waktu itu. Ceritanya aku dan Jovi mau liburan singkat,
memanfaatkan angka berwarna merah yang ada di kalender. Begitu singkatnya untuk
sekedar jatuh naksir, entah itu naksir betulan atau naksir kagum. Entah Jovi
itu memang, aneh.
Yogyakarta, 11 April 2019
“Re, Aku dulunya terlalu sering merasa tidak enak pada orang
lain. Sekarang ya masih, tapi tidak sesering dulu. Aku jadi pemilih mana orang
yang pantas untuk dirasai dan mana yang tidak. Sekarang pikirku begini, masa
aku harus minta maaf pada seseorang atas kesalahan yang tidak aku lakukan.

Ya memang meminta maaf itu tidak harus ketika kita
bersalah (kata kakakku sih begitu). Tapi apakah tidak lucu ketika seseorang
terluka bukan hasil dari perbuatan kita, merasa sakit hati dan kemudian benci
terhadap diri kita, padahal itu juga di luar kendali kita. Lalu kita meminta
maaf dan menghasilkan rasa bersalah, rasa tidak enak yang mengganggu sekali.
Lucu tidak?? Itu baru contoh kecil sih, contoh besarnya
sadar tidak sadar pasti sering kita alami juga dikehidupan masing-masing.
Melelahkan, tapi itu sudah kebiasaan.