Mencari Jovi

5/18/2019 08:52:00 PM

Katanya Jovi, semua probabilitas atau kemungkinan itu sama dengan satu.
“Misalnya, di depan ada perempatan. Kita berpisah di situ, kamu ambil kiri dan aku ambil kanan. Kemungkinan kita bertemu lagi sedikit-sedikitnya ya satu,” kata dia, ada 2 lipatan di dahinya. Artinya dia sedang serius.
Aku dan Jovi mencoba untuk berpisah, mengambil jalan yang berbeda dengan harapan akan bertemu lagi diujung jalan. Entah ujung yang mana dan dengan jalan yang mana, aku tak paham. Sampai saat ini, aku masih belum bertemu lagi dengan Jovi. Aku rindu.
Kami tidak saling berkirim pesan, padahal sekarang adalah tahu 2019 dan kami berada di kota yang, ya tidak pelosok-pelosok amat. Jogja itu kota yang modern kan? Ah ya, aku kadang tidak sadar apakah aku sedang berada di Jogja atau di Sleman. Intinya Jogja, aku dan Jovi berpisah di sini, bertemu juga di kota ini. Dua bulan silam.
Jovi, dengan gaun selutut yang imut. Manis dan terlihat lembut sekali, bibirnya merah seperti selai stroberi yang dioleskan pada roti. Rambutnya diterbangkan angina dan membelai-belai wajahnya yang halus. Waktu itu, ketika aku pertama kali melihat Jovi di bawah beringin kembar, sepertinya aku belum suka padanya. Aku baru kagum saja, dadaku belum membara dan belum deg-degan seperti saat aku harus berpisah di perempatan jalan dengan dia. Benar memang, untuk tau arti seseorang, berpisah itu perlu.

Masa sih aku tidak bisa menemukan Jovi di Jogja? Aneh sekali, dia tidak ada di kafe tempat dia biasa menghabiskan waktu sendiri. Dia tidak ada di sekretariat tempat kami dan kawan-kawan bercanda tawa bersama. Kostnya, aku tidak tau, nomor hpnya aku tidak punya.
“Aku nggak punya hp, kamu kan tau bisa nemuin aku di mana,” Kata Jovi di suatu mendung yang menjelma hujan.
Aku biasa menemukan Jovi sedang membaca buku sendirian di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai di tengah kota. Kopinya mahal, milkshakenya mahal, kudapannya mahal. Semua mahal, aku saja tidak mampu kalau setiap hari dalam sebulan harus kesitu. Tapi, Jovi suka tempat itu. Aku langsung ajak Jovi ke suatu tempat begitu aku sampai sana dan menemukan dia. Jovi tidak suka pantai, dia suka lembah tinggi yang sejuk. Jovi juga tidak suka naik gunung, nafasnya tidak kuat. Jovi suka aku tidak ya?
Kalau dia suka balik ke aku, kenapa dia menghilang seperti ini?
“Santai aja, kalau menurut alam ternyata kita jodoh. Kita pasti bakal ketemu lagi kan?,”
“Kalau enggak?,”
“Tetep jodoh dong, berjodoh sebagai kenangan,”
“Aku sedih dong, Jov”
“Jangan sedihlah, yang hilang dari kamu pasti bakal diganti yang lebih baik,”
“Kamu ada rencana hilang dari peredaranku po?,”
Lalu Jovi tertawa, aku jadi ikut tertawa juga. Senang sekali mengenang percakapan terakhir kami itu, tapi perih juga dalam waktu yang bersamaan.
Apakah ada waktu yang terlalu cepat atau terlalu lama untuk jatuh cinta? 60 hari sejak pertemuan kali pertam mungkin adalah waktu yang sedikit untuk terpana pada seorang perempuan yang membuat aku jadi sayang. Hati kecilku berkata, tidak ada patokan waktu untuk jatuh cinta dan suka, tidak ada patokan waktu juga untuk membenci dan saling murka. Waktu yang paling singkat bahkan bisa menjadi yang paling membahagiakan dalam seluruh hidup seseorang.
Jovi masih kemana ya?
Sudah mau 14 hari tidak menyusuri lekuk bola matanya yang kuning-ke-kuningan. Seperti mata kucing itu.
Jovi main tebak-tebakan bukan? Jangan-jangan dia hanya ingin memberi aku sebuah pertanyaan untuk aku temukan jawaban.
Aku hanya ingin tau, Jovi kemana.
Pada suatu lapar di pagi hari, aku melihat seorang perempuan muda menenteng tas belanjaan di pasar. Ekor mataku tidak sengaja menangkap raut wajahnya ketika aku mengendarai sepeda motor di sepanjang jalan Gejayan. ITU JOVI. Sialan. Jalanan yang padat dan memusingkan menghambatku melakukan sebuah pengejaran.
Satu peluangku terlewatkan. Aku jadi makin sedih saja. Makin penasaran juga. Atau rasa penasaran ini malahan mengalahkan rasa penasaran yang aku miliki. Pokoknya antara dua itu, sedih dan penasaran. Jovi kini menjelma rahasia misterius, hanya aku yang terjebak dalam rahasia itu. Rasanya seperti menyusuri labirin hidup raksasa yang terus memanjang, melebar dan membuat lorong-lorong baru. Lorong-lorong itu bernama Jovi.
-------BERSAMBUNG HALUS-------

You Might Also Like

1 komentar

Tersenyumlah!

Popular Posts