Selamat pagi Kak. Jelas ini pagi.
Matahari menelusup lewat celah-celah kecil jendela kamarku, dulunya kamar ini
ialah kamarmu. Jendela itu menghadap ke timur, mau tak mau harus bangun pagi
kalau menghuni kamar ini. Kak, kau bilang dulu tak suka bangun pagi, itu adalah
alasan kau bertukar kamar dengan aku. Bekas kamarmu ini, 2X lebih besar dari
kamarku yang seharusnya. Ada lemari besar, ranjang besar dengan 4 bantal
bersisian dan tembok yang berwarna hijau. Yang hijau ini adalah permintaanku
dulu. Ahh, satu-satunya ruang yang berwarna dalam rumah ini adalah kamarku.
Ruang lainnya, bahkan ruang keluarga pun semua berwarna putih. Putih itu entah
melambangkan kesucian ataukah kehampaan. Berbeda, aku selalu berbeda atau tepatnya
minta dibedakan. Anak kecil, anak manja! Kau menyebut aku begitu, dari dulu dan
mungkin sampai pada keadaan yang sekarang.
Pagi ini aku terbangun dengan rasa
sesak, rasa semacam hampa dalam dada. Rasa inilah yang membuat aku datang,
pulang ke rumah. Tak perlu pikir panjang, mendadak aku teringat Ayah dan kau
pula Kak. Aku tak paham apa sebabnya, apa masalahnya mengapa dadaku jadi segini
pilunya. Berat sangganya. Apa kau bisa menjelaskan padaku, aku ini kenapa Kak. Coba
jelaskan mengapa sekarang waktu seolah berjalan lambat, setiap detiknya
menghunus sembilu dalam detak-detakku. Tik-tok-tik-tok begitu bunyinya. Jika aku
adalah jam, jam yang kehabisan baterai, aku akan berhenti di angka bagian mana?
Di tik atau tok? Aku ini pulang kesekian kalinya, dan kau masih bermuram durja.