Tamat - Berputih Tulang

3/31/2016 06:20:00 PM



Kawan, maaf aku selalu menyuguhkan yang mentah. maaf aku selalu menampilkan yang kurang renyah. rangkaian kalimatku penuh kehampaan, maaf.

SREEKK ... ahh silau. Seperti biasanya Ayah bangun lebih pagi dari aku. Setiap harinya bahkan di hari minggu sekalipun ayah selalu berhasil membuatku terbagun dengan suara singkapan tirai di jendela yang disusul oleh tembakan cahaya matahari yang kelewat silau. Entah suatu kesialan atau apa, jendela kamarku menghadap timur. Ditimpa langsung oleh matahari pagi. Ayah nampak sangat bersahaja, senyum adun tergambar di mukanya. Percayalah padaku, aku seperti melihat malaikat kedamaian saat ayah berdiri menghalangi sinar matahari yang berpendar-pendar menembus kaca jendela dengan punggungnya yang lebar. Ayah pasti menyerap sinar matahari pagi itu, lantas ia pancarkan lagi sinar itu menyertai aura kerupawanannya. Kubayangkan ayah memiliki sepasang sayap yang indah seperti bulu angsa, ayah sungguh bersinar.
Suara berisik menyusul menyusupi menabuh-nabuh gendang telingaku. Adik bayiku menangis. Baru beberapa saat yang lalu ia terlahir ke dunia, kulitnya masih merah sekali. Adikku cantik, mirip ibu. Aku memiliki mata yang sama persis dengan mata adik. Coklat bening. Hening.
“cup ... cup ... cup ... anak cantik jangan menangis ya” tutur ibu sambil menimang-nimang adik.
Entah mengapa, ketika aku melihat ibu berdiri di depan kamarku, menggendong erat dan hangat adik dalam pelukannya, aku seperti melihat maria yang menggendong yesus. Ada sinar halus yang menyelubungi tubuh ibu. Andai nyanyian dewa-dewi melatari apa yang dilihat mataku pagi ini, aku akan yakin kalau aku telah berada di taman firdaus, surga.

Kupejamkan mataku sekali lagi sembari meliat-liatkan badan di atas ranjang. Ketika ku buka mata, semua mematung. Ayah kaku dengan senyum rupawannya, lantas tangis adik tak terdengar membahana lagi, ia mematung dalam pelukan ibu yang juga menjadi reca. Apa-apan ini, pipiku basah. Kanan-kiri sama basahnya, dan mataku, rasanya sembab seperti habis menangis penuh hayat.
WIIUUUW ... WIUUW ... suara sirine apa itu, menimbulkan kegaduhan yang diikuti gemerisik suara-suara teriakan manusia. Ada apa sih? Pekikku terusik. Badanku terlonjak dari ranjang, akalku memaksa sepasang kaki melangkahi petak-petak lantai yang terasa dingin menyesapi ujung-ujung jari kaki. Sejenak terlupakan ayah, ibu dan adik yang tiba-tiba terpatung. Sinar sempurna tertangkap oleh bola mata saat pintu depan rumah terbuka. E C N A L U B M A. Tulisan terbalik itu terpampang besar di bodi depan sebuah mobil berwarna putih, sirine yang menggaung terpasang di atasnya. Warnanya merah. Sepasang ambulan datang di depan rumah. Sinar sempurna matahari membelalakkan mataku lebar-lebar, para tetangga memasang muka duka. Sesaat kemudian dua petugas berpakaian putih-putih mengangkat masuk sebujur yang tertutup kain batik coklat muda, jarit. Begitu saja aku di lewatinya tanpa permisi.
“apa-apaan ini? Mayat siapa yang kalian bawa masuk ini?”
***
“ayah di rumah sakit, Van. Ibumu sudah mau melahirkan ini. Kamu cepat kesini” ujar ayah di ujung telfon. Terdengar dari nada suaranya, ayah panik.
Aku akan punya adik perempuan yang lucu, sorakku dalam hati. Tak sabar aku mendengar tangis baru dari adik bayi yang selama sembilan bulan ini menghuni rahim ibu. Kupandangi foto USG yang ditempel dengan magnit di kulkas, ahh tak langsung paham aku mana kepala, mana perut, mana kaki. Yang pasti, ayah bilang kalau adik bayi ini akan lahir perempuan. Dan aku sebagai kakak laki-lakinya harus menjaga serta ikut merawatnya dengan penuh kasih dan cinta. Sudah besar begini, aku baru punya adik.
Kecil dulu aku selalu bermain sendirian di rumah, ditemani ayah kalau ayah tidak sedang capek selepas kerja. Keluar bermain, ibu marah-marah. Katanya kalau pergi main keluar nanti aku di culik orang memakai topeng hitam, lalu di jual di pasar. Sejak saat itu aku meminta adik baru sebagai teman bermain dirumah, selalu setiap harinya menanti ayah pulang kerja lalu menanyakan mana adik yang kuminta, yah?. Baru saat umurku delapan belas tahun lewat ini, keinginanku terkabul.
Aku bergegas mengambil jaket dan helm yang tersimpan di lemari kamarku. Bergegas mengambil kunci motor lalu menyalakan mesin motor matic-ku. Suaranya yang tak begitu menderu, malah nyaris merdu ku bawa melaju menyusuri jalanan kota, terus ku tarik gas yang melajukan roda kuda besi tungganganku, turut serta kuboncengkan rasa rindu akan adik baruku yang menyeruak dalam kalbu.
***
WIIUUUW ... WIUUW ... suara sirine apa itu, menimbulkan kegaduhan yang diikuti gemerisik suara-suara teriakan manusia. Ada apa sih? Pekikku terusik. Badanku terlonjak dari ranjang, akalku memaksa sepasang kaki melangkahi petak-petak lantai yang terasa dingin menyesapi ujung-ujung jari kaki. Sejenak terlupakan ayah, ibu dan adik yang tiba-tiba terpatung. Sinar sempurna tertangkap oleh bola mata saat pintu depan rumah terbuka. E C N A L U B M A. Tulisan terbalik itu terpampang besar di bodi depan sebuah mobil berwarna putih, sirine yang menggaung terpasang di atasnya. Warnanya merah. Sepasang ambulan datang di depan rumah. Sinar sempurna matahari membelalakkan mataku lebar-lebar, para tetangga memasang muka duka. Sesaat kemudian dua petugas berpakaian putih-putih mengangkat masuk sebujur yang tertutup kain batik coklat muda, jarit. Begitu saja aku di lewatinya tanpa permisi.
“apa-apaan ini? Mayat siapa yang kalian bawa masuk ini?”
Tak digubris tanyaku sama sekali. Dua orang berseragam putih-putih itu lantas meletakkan sebujur tubuh kaku itu di lantai. Datang lagi dua orang berseragam putih-putih yang lain, sama, mereka juga mengangkat sebujur mayat yang kali ini penutupnya berupa kain berwarna putih tanpa motif, polos.
Mayat itu tergeletak sejajar, berdampingan. Para tetangga menyerbu masuk masih tetap memasang muka duka.
“malang benar nasibmu, Van” kata seorang diantara mereka, menggunakan nada duka.
Apa? Apa maksudnya ini, dua mayat di gotong masuk kedalam rumahku. Siapa dua yang terbujur kaku itu.
“Ayaaahh ... Ibu ...” suaraku parau berteriak memanggil ayah dan ibu. Kembali aku masuk menyusuri ruangan rumah, mencari ayah dan ibu.
Lhoo!! Ayah sudah tak ada lagi di kamarku, senyumnya yang barusan sudah menghilang. Ibu yang menggendong adik di depan pintu kamar tadi, kemana pula?
“ayaahhh ... ibuuu ...” terulang kembali teriakan panggilan atas mereka dari suara parauku.
Mengelilingi semua ruangan di rumah, dapur, kamar mandi, kamar ayah, ruang kerja. Sudah kulakukan namun tak ada orang tuaku dimana-mana. Air mata yang menjura dari sepasang netra menuntun langkah-langkah kakiku kembali ke ruang tamu. Ya Tuhan, adakah raga kedua orang tuaku yang mematung beserta tangis adikku yang terhenti tadi adalah pertanda. Lalu, mataku yang sembab seperti habis menangis hebat ini. Isyarat.
Gemetar. Sungguh aku gemetar. Tulang-gemulangku yang tersusun membentuk rangka badan ini mungkin bisa buyar terpencar-pencar kemana-mana ketika aku menyibak kain batik coklat muda serta kain putih yang menutupi dua mayat berjajar itu. Mungkinkah ... ahh aku tak berani melihat wajah mayat yang terbujur berdua di ruang tamu. Aku hanya menangis pilu, terduduk sendu di sudut 90 derajat petak ruang tamu.
***
“Irvan, kamu sudah dimana nak? Ayah terjebak di lift ini, mau mengurus administrasi rumah sakit. Ibumu susah melahirkan. Lift yang ayah naiki ini kok tiba-tiba macet, ayah jadi takut kalau liftnya jatuh” ujar ayah di ujung telfon.
Ahh sial, lampu merahnya lama sekali. Aku tidak bisa menunggu untuk 108 detik. Terlalu lama.
“iya yah, Irvan segera kesana nyusulin ayah” jawabku di sisi lain telfon.
BREEEMM ... kuterjang lampu merah yang tak kunjung berganti hijau. Aku tak sabar untuk segera tiba di rumah sakit, melihat adik baruku. Mendekapnya, menciumnya. Arus jalan sangat ramai di depan mata, traffic light itu menyetopku tepat di perempatan raya. Tak peduli. Gas kutarik hebat dari setang kemudi.
Lalu ...
***
Gemetar. Sungguh aku gemetar. Tulang-gemulangku yang tersusun membentuk rangka badan ini mungkin bisa buyar terpencar-pencar kemana-mana ketika aku menyibak kain batik coklat muda serta kain putih yang menutupi dua mayat berjajar itu. Mungkinkah ... ahh aku tak berani melihat wajah mayat yang terbujur berdua di ruang tamu. Aku hanya menangis pilu, terduduk sendu di sudut 90 derajat petak ruang tamu.
“yang satu ini rumahnya bukan disini” kata salah seorang petugas berbaju putih.
Diangkat kembali keluar mayat yang berpenutup kain putih tadi. Yang tinggal ini, satu mayat ini mayat siapa?
“ibuu ...” tangisku pecah tak terbendung. Tak peduli dengan rasa bingung atas kejadian apa yang terjadi pagi ini.
***
BRAAAAKKKK!! Motor yang kukendarai terbang ke selatan, di tabrak oleh lamborgini kuning di sisi kanan. Atau aku yang melanggar markah jalan sehingga lamborgini itu tak ada pilihan lain untuk tidak menabrakku. Sakit tidak. Tidak sakit rasanya. Sama sekali tak sakit.
***
“yang satu ini rumahnya bukan disini” kata salah seorang petugas berbaju putih.
Diangkat kembali keluar mayat yang berpenutup kain putih tadi. Yang tinggal ini, satu mayat ini mayat siapa?
“ibuu ...” tangisku pecah tak terbendung. Tak peduli dengan rasa bingung atas kejadian apa yang terjadi pagi ini.
“Irvan anakku ...” jerit seorang wanita, memecah kegilaan tangisku.
Dua orang yang ku kenali masuk menyerbu mayat kaku di depan pintu ruang tamu. Satu berbadan kekar dengan wajah rupawan yang tak pernah pudar, satu lagi wanita anggun berwajah teduh dengan bayi mungil dalam gendongannya.
“seharusnya ayah tidak perlu memintamu datang ke rumah sakit nak” ratap laki-laki kekar itu. Terduduk menangkupkan kedua tangan menutupi muka.
“ini adik baru yang kamu minta, nak. Jangan pergi”
Ternyata yang aku tangisi ialah diriku sendiri. Berputih Tulang.
***

You Might Also Like

0 komentar

Tersenyumlah!

Popular Posts