Mata Mada

10/10/2016 04:15:00 PM

Ini masih ada hubungannya dengan post sebelumnya; Bulan di Kuburan. Hanya lupa nama tokohnya kak.
Kenyataan bahwa Bulan sudah tidak ada menampari pipi Mada kencang. Kencang sekali sampai benar-benar terasa bahwa kenyataan itu tidak nyata.
"Sadarlah Tuan!" Suster mengguncang sekaligus menumbag sebuah pohon utopis dalam kepala Mada.

Setelahnya Mada jatuh tertidur sembilan belas jam. Itu bukan pingsan, bukan koma apalagi mati suri. Proses menuju mati rasa iya, proses mendaur ulang ingatan akan pesakitan dan pencarian tak berujung. Kasihan sungguh. Kasian laki-laki tampan ini, roman durjanya penuh derit-derit kesepian, kejemuan, juga harapan dan kerinduan. Orang-orang menyebutnya gila. 

Taulah, siapapun yang memiliki rambut acak-acakan, baju lecek dengan aroma keringat, asap, kecoak dan selokan bercampur jadi satu, juga mata yang menatap kosong kemana-mana, tanpa alas kaki pula. Disebut gila. Mada berkeliaran sejak dari sejak penghujung senja, dari sebelum putri sandyakala duduk di kursi biru-putihnya hingga ia menebar pewarna jingga di langit manusia. Sampai gemintang lelah bergelantungan pada tiang-tiang imajiner yang tak membeti harapan, dan fajar menjelang. Kembalilah dia pulang, tidur, mengistirahatkan keentahannya yang tak pernah kabur. Sekedar ngelindur mungkin.
"Lan" Mada memanggil Bulan, nadanya seperempat merengek. Mereka berdua, sedang duduk di teras rumah milik orang tua Mada.
"Sudah cukup kau mencari aku, aku ini adalah sebuah ketiadaan"
"Mana mungkin, kita berjanji menikah kan Bulan?"
"Mana mungkin," tiru Bulan dengan nada sama, "aku di langit sudah, kau di tanah!"
"Bagi tau aku bagaimana cara agar bisa menggapaimu. Ayo masuk Lan, masak sesuatu untukku."
"Berhenti mencariku biar kau temukan aku." Bulan menyergah dan tersenyum indah, wajahnya cerah dan ahh, gulir-gulir angin yang nakal membelai helai demi helai rambut panjang si Bulan. Cantik betulan rupanya dia.
"Selain itu apa?"
"Hmm... Lepaskan seluruh isi kepalamu." Itu kalimat terakhir Bulan sebelum dia berjalan mundur, berganti sinar matahari sudah. Ahh.


Silau, mata Mada jadi kaget gara-gara suster seenaknya menarik korden ke tepian jendela. Matahari mencambuki bola-bola mata si Mada. Tau rasanya? Terbangun dari yang kemudian orang bilang hanya mimpi tersebut membuat mata Mada ingin melantahkan air mata. Air mata yang tak pernah lantang memahami kenyataan yang tak pernah nyata. Dada yang rebah macam dibelah-belah oleh entah apa, angin mungkin.


Kosong yang dialami Mada menyisakan sesak, bedanya kali ini dia tidak merasa sesat dalam tanya, cari, bimbang, rindu jemu, beku dan bisunya waktu. Padahal yang sebenar-benar, waktu sudah mengetuki Mada untuk sadar. Sampai waktu itu lelah sendiri dan mengutuki hati dan pikiran bujang galau itu. Gilalah Mada. Sembilan belas jam tertidur, otaknya semacam dicuci bersih. Digilas sampai 
hilang semua noda oleh daya magis ajaib yang entahlah, tak bisa diejawantah.


Suster membawakan nampan berisi makanan. Mada tak lapar benar, tapi doa tetap harus makan bukan. Heran, mengapa Mada masih hidup, sepekan belakangan ia banyak makan sampah di jalanan. Bahkan di pantai tempo hari Mada menelan ubur-ubur kebiru-biruan yang terdampar di tepian. Mengapa dia tidak keracunan, harusnya Mada sudah mati dikerubuti bakteri! Dan virus.
"Setelah sembilan belas jam bermimpi, apakah kegilaanmu sudah sembuh Tuan?"
"Aku tidak pernah gila, aku hanya terus mencari kekasihku"


Hakikat melepaskan, Mada sejak awal mula bahkan sebelum dirinya benar-benar kehilangan apa yang tak pernah hilang, dirinya larut dalam pencarian akan Bulan. Sungguh, dia terus memikirkan sesuatu yang tak ada dalam pikiran, dia Bulan. Cukup. Mada melepaskan semuanya. Ingatan, kejenuhan, rindu dan semua pelarian. Bulan memang sudah tidak ada, tapi sebenarnya Bulan abadi. 

Bulan tak pernah terkubur, tapi jasadnya ada di bawah tanah sekarang dan selamanya. Ya, rasanya lebih ringan saat menerima dan paham tentang kenyataan yang menyatakan dirinya di permukaan. Membiarkan ini-itu semaunya Tuhan membuat Mada mendapat kembali Bulannya. Terus hidup dalam lembaran masa lampau, pun hati, ini Bulan versi yang berbeda berasa sama. Tak meletup macam yang sudah-sudah.
"Sudah ketemukah Tuan?" Suster itu menuangkan air untuk Mada.
"Kenapa harus menemukan? Dia tak pernah hilang!"
"Baguslah. Kau tau, seminggu yang lalu aku melihat suamiku tidur dengan perempuan yang lebih muda"
"Hah lalu?" Mada terhenyak.
"Keesokan harinya dia pergi tanpa sepatah kata pun, tak kembali sampai sekarang" Demi Tuhan, ketika mengucapkan kalimat itu, sedikitpun tak terbentuk kaca air mata di wajah sang Suster. Atau mungkin kaca itu pecah sudah, berserakan di rumah.
"Laki-laki bajingan!" (Bersambungs...)


You Might Also Like

0 komentar

Tersenyumlah!

Popular Posts