Ngomong-ngomong soal adsense lagi. Pagi ini dapet email dari
adsense yang menyatakan bahwa ‘situs anda sekarang sudah terhubung dengan
Adsense’. Uwaw, kok asyik, nyenengin pula. Seneng bukan karena apa, bukan
karena terbayang uang jajan yang bakal keluar dari mainan baru ini. Tapi,
seneng sebab saya berhasil acc di percobaan pertama. Nah, banyak yang bilang
kalau mereka ditolak adsense berkali-kali, padahal juga, kakak saya bilang
kalau sekarang google itu sadis, susah nerima permohonan adsense. Nah saya
buktinya, acc di percobaan pertama. Ya walau agak lama proses reviewnya. Review
pertama Cuma sehari, yang lama itu review kedua. Berhubung akun saya itu
masuknya kategori hosted, tulisannya sih ‘we’re working on connecting your site’
dan di bawahnya tertulis lagi kalau proses ini biasanya memakan waktu 3 hari. Tiga
hari apaan, review ini 2 mingguan lamanya. Tapi, menurut cerita dari google,
ada yang sampai berbulan-bulan, bahkan 6 bulan digantungkan (taulah rasanya,
pasti tidak enak).
Tiang
mikropon berdiri tegak, disamping pangimaran
terpampampang mozaik kusut berlafadz Muhammad. Seorang lelaki tua berumur
sekitar Delapan puluh
tahunan, mulutnya gemetar, tubuhnya bungkuk. Gulungan sorban bercorak hitam
putih menempel di pundaknya. Didekatkannya benda bulat panjang ke mulut,
berkelumitlah bibirnya. “ Allahuakbar.. Allahuakbar’’ ibarat nyanyian lama, kumandang
panggilan ummat tertanda waktu sembahyang menghampiri. Di kampung ini nuansa
islam tradisional amat kuat, orang-orang masih sering mengadakan tumpengan untuk sekekedar memanjatkan syukur
pada sang pencipta, lain dari itu tidak ada maksud untuk melestariakan budaya
ataupun warisan leluhur.
***
Mentari
nyalang pagi ini, di halaman depan si Mbok menarik selang, sudah pasti mau
menyiram tanaman-tanaman kesayangan Ayah. Jam beker menyala merah, 08.00
berkelap-kelip, meja bergetar. Aku masih malas beranjak dari kasur, bantal
lembut ini, tak mau kepalaku lepas rasanya.
"Faris
bangun, ayo cepet turun, cepetan mandi.’’ Suara perempuan, memanggil-manggil
Aku.
"iya,
Bu aku bangun. Tunggu..tunggu, bentar’’ jawabku malas
Faris
turun dari lantai dua, langkah gontai malas, wajah kusut kurang berwarna, berusaha
sadar agar tak jatuh dari anak tangga, satu persatu kaki mulai menapaki turun.
Ruang tengah rumah yang begitu luas serta ornamen-ornamen dinding yang pasti
tidak murah untuk mengumpulkannya. Hanya orang kelas atas yang punya selera
pajangan seperti ini.
Ngomong-ngomong soal cari uang,
internet sekarang ini menjadi ladang yang subur untuk menghasilkan uang. Ngeblog
yang awalnya iseng-iseng, mengisi kekosongan waktu atau biasa disebut wasting
time juga bisa dibuat untuk menghasilkan rejeki. Blog yang kita miliki
tinggal disambungkan saja dengan google Adsense. Tapi kak, bukan hal mudah bagi
sebuah blog untuk bisa nyambung ke adsense. Blog ini saja tidak nyambung ke
Adsense, ya karena memang tidak pernah didaftarkan sih ya.
Keuntungan main adsense tentu saja ya ke finansial dan kepuasan bathin mungkin. Ambil contoh blog kakak saya, mas
Hasan. Dia membuat blog awalnya nurulhasan.blogspot.co.id itu di tahun yang
sama dengan blog ini, tahun 2012. Cuma saya membuat blog dulu baru kemudian
kakak saya, bahkan
Sudah H min sekian dan aku
belum pulang juga, tumben ibuku tidak menerorku dengan puluhan miscall serta
sms yang tak kalah banyaknya, nduk kapan pulang? Lupakah dengan ibumu ini? Nduk
kapan pulang? Kamu ini apa lupa jalan pulang? Nduk kapan pulang? Dan seterusnya,
dan seterusnya. Tumben sekali, wallahua’lam. Ibu sedang apa ya, aku
tiba-tiba saja rindu. Sayangnya aku Cuma punya satu ibu, kalau saja aku punya
dua, rindu kambuhanku tak kan sehebat ini.
Kecil dulu, ibuku sering
menyuruh-nyuruhku ini itu, sudah seperti pembantu saja. aku disuruh bangun pagi
sebelum sebelum bedug subuh dipukul, ayam saja pada waktu seperti itu belum
bangun, aku sudah harus bangun. Bahkan dihari minggu, aku tetap harus bangun
pagi. Aku jadi tidak bisa
“Bisa gagal nikah aku ini Mak”
Pekik Agus lesu, matanya sibuk menunduk kesana kemari macam ayam yang mencari
remahan padi.
Tidak hanya Agus, tapi juga
ibunya, bapaknya, saudara sepupu, om, tante, tetangga, semuanyalah yang ikut terlibat
dalam pesta pernikahan Agus sibuk mencari.
Cincin mbah Kasmi hilang. Wuh!!!
“Kok bisa sih mbah, bukannya
cincin itu selalu ada di jari tangan” Kata Om Ratman mencari di garasi, yang
ditemukannya malah mur baut.
“Apa mungkin dipatok ayam ya?”
Bapak malah bercanda.
“Hush bapak ini, cari yang betul
biar Agus jadi nikah besok” Wajah Agus membiru, nafasnya setengah memburu,
sambil menunduk-nunduk matanya mengitari kolong meja, tak ketemu-ketemu benda
bulat bolong yang dicarinya.
Hai,
Setelah melalui perenungan yang
kalau dibilang dalam ya gag dalam-dalam amat, tajam juga gag tajam-tajam
beneran. Oke, setelah melalui perenungan yang sedang-sedang saja, soal asal
usul aku. Kok bisa aku gag mirip sama Bapak Ibu, kakaku mancung kok aku enggag.
Adekku, sepupu-sepupuku kulitnya sawo matang kok aku putihan sih (Agak HOAX
sebenarnya, tapi ini REAL). Sejak kecil aku gag bisa membaur lebur sama
saudara-saudara, rasanya kek terjebak dan itu tidak nyaman. Atau memang aku
yang aneh. Pernah suatu hari aku terbangun dari tidurku, dan berpikir kalau aku
terbangun sebagai anak ayam, rupanya itu Cuma efek mimpi. Wuh, kalau aku anak
ayam beneran, tiap sebelum subuh aku sudah harus bejejer di atas pagar untuk
training berkokok. Eh, yang berkokok kan hanya ayam jantan, jadi aku amanlah
dari ritual bangun pagi.
Aku bersaksi aku melihatnya, jelas
sekali. Mana mungkin aku berbohong, aku sudah berada lama di sana bahkan sejak
sebelum si sulung dan si bungsu melihat matahari terbit. Sejak mula Darto
tinggal hanya berdua dengan ibunya yang renta, lalu Darto menikah hingga
jadilah mereka hidup bertiga di bawah naunganku, hidup yang makin terarah namun
juga makin susah. Pangan susah, sandang apalagi, aku saja sampai lusuh tak
terurus. Lantas ibu Darto meninggal akibat rentanya. Empat bulan kemudian,
sulung lahir. Dua tahun kemudian menyusul kelahiran si bungsu. Darto dan
istrinya terbiasa memanggil sulung dengan sebutan Nduk, sementara mereka
panggil bungsu dengan sebutan Nang.
“Nduk, ambilkan bapak minum.”
Perintah Darto pada anak sulungnya yang belum kelihatan batang hidungnya.
Kau sedang tertidur lelap ketika
kita melewati bukit jagung yang dibelah-belah guna membuka jalan. Ingat tidak,
sering kau pulang pergi lewat sini. Dalam kurun waktu tiga tahun, sudah berapa
kalikah kiranya kau melakukan perjalanan itu sendiri, ada seratus kali, atau
lebih? Tak usah gusar, ini aku lihat semua yang sering kau lihat dulu. Jalanan
ini dingin, sekarang mendung, pasti tidurmu sangat nyenyak.
“Kak mendung, momen yang pas buat
bobo siang” Katamu tiap kali bilur bergelayut di kaki langit.
Adikku sayang, mendung di atas
sana menular ke dadaku, ke mataku, ke dalam kepalaku. Jangan-jangan sebentar
lagi ada hujan badai. Kita harus bergegas cepat supaya tidak ada satupun air
yang sempat menyentuh kau. Aku memacu kuda besiku lebih kencang, melesat
membelah angin, menembus waktu.
Adengoo, ketika sampai di tempat
ini, aku tahu aku harus berhenti, hati-hati membangunkan kau. Membiarkan kau
bermain bersama kupu-kupu putih, kejar-kejaran di dedaunan jati, meninggi terus
sumpah, ini cerita pendek terpanjang yang aku karang. waktu itu, diikutin lomba AA Navis award di UN Padang. ehh cuma jadi nominator, belum jatahnya menangs kak.
Malam ini, dewi-dewi kayangan turun ke bumi untuk menungguiku.
Nawang wulan beserta enam saudaranya membentang selendang-selendang cendayam
yang akan menambah aura diri ini hingga makin cantik rupawan. Aku duduk di
patut berhiaskan puspa melati dan paes terpasang di atas kepala. Aroma bedak,
air mawar serta bunga melati bersatu padu tercerup manis dalam hangit mengepul
memenuhi seluruh jiwa.
“tiba-tiba saja kamu akan pergi dari ibu ya nduk” kata
ibuku, ia masuk kamar dengan membawa nampan berisi segelas minuman. “kamu sudah
besar” katanya lagi.
Senyum sumringah menghiasi bibir merah yang terpoles gincu, makin
cantik saja diri ini. Ibu lalu duduk di kursi sebelahku, kursi itu tadi
digunakan oleh tukang rias wanita setengah baya yang mendandani diriku. Ibu
lantas menyodorkan segelas minuman. Itu teh hangat yang sangat khas di
sanubari. Aromanya, rasanya, semua bercirikan racikan ibu.
Sudah akhir tahun rupanya, kalender 2015 di dinding rumah dalam
hitungan hari akan diganti menjadi 2016, cepat sekali waktu berlari. Kadang aku
bertanya-tanya, kendaraan apa kiranya yang di kendarai sang waktu? Kalau
kupikir-pikir, dalam rentang waktu yang terasa singkat ini banyak sekali
kenangan yang telah terpatri dalam tiap inchi detakku. Tetap saja, sebanyak itu
kenangan, mengapa waktu terasa amat singkat. Tiba-tiba saja umurku akan
menginjak delapan belas tahun di bulan Maret nanti. Rasanya baru kemarin aku
bermain-main sebagai anak kecil, yang takut akan keramaian.
Senangnya diriku, mendapat jatah hari tenang menjelang UAS semester
satu selama dua minggu lamanya. Tentulah aku pulang ke rumah, di tempat aku
lahir sekaligus tempat aku bermanja kasih sayang dari Ayah dan Ibu. Di kota
kecil ini, kota bernama Pati yang terletak di provinsi jawa tengah aku
dilahirkan pada dua puluh dua Maret seribu sembilan ratus sembilan puluh
delapan lalu. Ku beri tau, bahwa rumahku ini agak jauh dari alun-alun kota,
jika naik kendaraan roda dua, pernah kuhitung dengan melihat jam tangan, hampir
tiga puluh menit waktu yang dibutuhkan untuk melaju kesana. Rumahku ini
terletak di desa kecil yang tenang. Saat pagi menjelang suara serangga yang
entah apa namanya berderit-derit memainkan sebuah irama khas pedesaan yang
tergabung dalam orkestra alam, bersama suara dedaunan dan ranting yang ditiup
desau angin. Dan embun, datanglah embun bersama fajar.