Ada
robekan besar menganga di kepalaku, kau lihat? Dari kening berderet ke atas
kuping sampai ke kepala bagian belakang. Sakit bukan main rasanya, aku selalu
menunggu saat kapan kepala ini akan sembuh. Entah kapan itu, saat di mana luka
robekan ini akan menutup dengan baik-baik saja. Aku tidak tau harus bercerita
dari mana, aku jadi lupa bagaimana caranya mengeja A B C D sampai Z.
Huruf-huruf itu seperti memanjang serupa benang-benang baja karatan di dalam
kepalaku, benang-benang itu bahkan jatuh ke usus dan lambungku. Semoga tubuhku
tidak kenapa-kenapa akibatnya ya.
Ada mawar tergenggam di tangan kiriku, cantik sekali, merah
warnanya, batangnya selalu hijau. Bunga plastik sayangnya. Ada racun tikus di
tangan kananku, pahit, baunya saja menyengat, ada sensasi rasa enek di
tenggorokan begitu aku mendekatkannya pada hidungku. Aku tergeletak pada sebuah
lubang memegang keduanya. Dengan sebuah bantal mengganjal kepala dan ingatan. Dingin
atau tidak, tak aku rasakan. Aku mengunci diri dalam sebuah ruang, sebuah benda
persegi panjang bergagang menjadi jembatan antara aku dan dunia nyata yang
mengerikan. Matahari bersinar di luar, namun entah, di dalam tubuhku seolah tak
pernah terkena cahaya. Maksudku, aku pernah, namun saat ini redup redam. Mungkin
tak akan pernah tersinari lagi. Mana yang lebih baik, mawar plastik yang selalu
cantik atau racun mematikan di tangan kanan?
Suaramu serupa pita warna-warna yang mengikat sebuah kotak
berwarna biru, apa isinya? Aku pun tak tau, bisa jadi hanya kotak kosong saja.
Ah ya, debu isinya dan bakteri yang mengakibatkan sakit di dada akibat membuka
dan melihat kekosongan di dalamnya. Aku tidak terlalu berharap bahwa kotak yang
kau ikat dengan pita suaramu itu ada isinya. Namun entah mengapa yang kudapat
malah nestapa ketika menebak-nebak mengenai sebuah isi yang sampai saat ini tak
pernah aku tau pasti.
sumber : viva.co.id |
Pada beberapa hal dalam hidup ini, tak ada yang namanya
pilihan. Perkara yang satu ini tidak seperti ketika hendak pesta, bisa memilih
baju warna apa, sepatu yang mana dan model riasan seperti apa. Tidak! Yang menggantung
di atas danau itu apa?
Ada yang mengganjal, namun tak
tahu dia apa. Perasaan segan pada kehidupan tiap kali membuka mata dan
merasakan udara mengalir melalui hidung, melewati tenggorokan lalu jatuh entah
ke mana. Ke mana memang? Tentu saja ke paru-paru. Bukan, udara yang dia hirup
jatuh pada bagian yang lebih dalam, terlalu dalam dan gelap untuk dia jangkau. Pemandangan
entah apa yang ia lihat, sehingga seringkali enggan ia untuk membuka mata. Harusnya
aku tidur dan tidak bangun lagi, begitu batinnya berbicara. Apa yang ia
lihat di pagi hari memang? Langit-langit, dinding, jendela, pintu, buku-buku,
apa? Lebih dari itu, ia melihat langit malam yang dipenuhi bintang dalam satu
pandangan. Lenyap sudah ketika ia berkedip, pada kedipan selanjutnya yang ada
hanya dunia kasar. Bagaimana cara agar bintang-bintang dan malam itu tidak
hilang? Jangan berkedip sudah. Pedih, konyol sekali! Tidak usah bangun. Apa pula,
tubuh dia otomatis, seperti tarikan nafas yang keluar masuk paru tanpa permisi,
matahari dan bulan yang silih berganti. Tau tidak, taulah pasti kalau hidup ini
serba otomatis. Ada semacam roda bergerigi yang saling saut menyaut dan
berputar, seperti tamiya. Kalau begitu, lalu dinamonya dimana?
Siksa apa yang paling sakit di
dunia? Kandisa bertanya-tanya dalam hati, entah pertanyaan itu datang dari
mana. Ia lalu menjawab tanya itu sendiri, siksa itu kadarnya berbeda-beda,
sengsara pun begitu. Mau contoh, segala contoh sudah ada di dalam kepala
Kandisa, tanya saja pada dia. Kandisa tersiksa, mengapa? Karena perasaan
mengambang yang ia rasa tiap kali membuka mata di pagi hari.
Kandisa bimbang dan tersiksa
dengan kesendirian. Bukan ia tak punya kawan, laki-laki yang suka dengan
Kandisa banyak pula. Kalau semua dijejerkan, tinggal pilih saja dia mau yang
mana. Yang tampan, yang kaya, yang tampan dan yang kaya atau yang apa? Sayangnya,
satu pun di antara yang ada, tiada yang dia suka. Kasihan yang suka dia,
bertepuk sebelah kaki, berjalan sendiri, pincang.
Ada lagi yang menambah siksa dan
kebingungan dalam dirinya
“Wow.” Ucap si tukang mimpi yang
semalam menginap di kamarku, ia bangun lalu menceracau tentang mimpi-mimpinya
yang banyaaaaakkkk sekali. “Aku seperti mendapat pencerahan ini.” Katanya lagi.
Pantas saja bangunnya siang,
dengan arti lain aku bangun setengah jam lebih awal daripada dia. Tidak siang-siang
amat, jam setengah 6 ia bangun, aku jam 4.52. Pada titik 4.52 itu, perasaan
enak menyapaku, aku tidak bermimpi apa-apa memang, hanya gelap saja. Ataukah
gelap itu juga mimpi, aku tidak tau, anggap saja mimpi supaya aku juga
dikatakan bermimpi. Mimpiku itu yang gelap barusan, isinya dari awal sampai
akhir hanya hitam. Kau pernah tidur dengan kondisi lampu yang mati? Aku juga
pernah, namun gelap di dalam kepalaku ketika aku tidur jauh lebih gelap dari
kamarmu ketika kau tidur.
Hujan
bulan November kan lebih romantis daripada hujan bulan Juni. Orang bulan Juni
itu bulan gersang, mana ada hujan. Ada pun itu kalau orang Jawa bilang, udyan salah mongso. Jelas, dari namanya saja sudah Nov-Ember, ember kan tempat air. Hujan kan ya air, paslah kalau turun hujan. Atau mau setiap hari
dalam setiap bulan dalam setiap tahun turun hujan, Kak? Nanti cucianmu tidak
ada yang kering, datang ke nikahan mantanmu yang jumlahnya ratusan itu mau
pakai apa. Pakai daun pisang? Oalah, di sana dekat rumahmu kan adanya sawit ya.
Mau pakai daun sawit? Atau tak usah pakai apa-apa, kwaaakks.
“Saya
dak punya mantan kelles” Kau bilang suatu hari Kak, memakai logat ala-ala
sanalah.
Dalam
hati ku pikir-pikir, masa sih? Sok banget ini orang. Mentang-mentang cakep,
banyak yang naksir jadi ngomong begitu. Tapi, begitu adanya. Kau itu memang sok
kok, sok cool.
“Suatu
hari, pada hari ulang tahun Saya, saya ditembak oleh 57 orang laki-laki”
Katamu, tahun lalu kalau aku tidak salah ingat.