Kawan, maaf aku selalu menyuguhkan yang mentah. maaf aku selalu menampilkan yang kurang renyah. rangkaian kalimatku penuh kehampaan, maaf.
SREEKK ... ahh silau. Seperti biasanya Ayah bangun lebih pagi dari
aku. Setiap harinya bahkan di hari minggu sekalipun ayah selalu berhasil
membuatku terbagun dengan suara singkapan tirai di jendela yang disusul oleh
tembakan cahaya matahari yang kelewat silau. Entah suatu kesialan atau apa,
jendela kamarku menghadap timur. Ditimpa langsung oleh matahari pagi. Ayah
nampak sangat bersahaja, senyum adun tergambar di mukanya. Percayalah padaku,
aku seperti melihat malaikat kedamaian saat ayah berdiri menghalangi sinar
matahari yang berpendar-pendar menembus kaca jendela dengan punggungnya yang
lebar. Ayah pasti menyerap sinar matahari pagi itu, lantas ia pancarkan lagi
sinar itu menyertai aura kerupawanannya. Kubayangkan ayah memiliki sepasang
sayap yang indah seperti bulu angsa, ayah sungguh bersinar.
Suara berisik menyusul menyusupi menabuh-nabuh gendang telingaku.
Adik bayiku menangis. Baru beberapa saat yang lalu ia terlahir ke dunia,
kulitnya masih merah sekali. Adikku cantik, mirip ibu. Aku memiliki mata yang
sama persis dengan mata adik. Coklat bening. Hening.
“cup ... cup ... cup ... anak cantik jangan menangis ya” tutur ibu
sambil menimang-nimang adik.
Entah mengapa, ketika aku melihat ibu berdiri di depan kamarku,
menggendong erat dan hangat adik dalam pelukannya, aku seperti melihat maria
yang menggendong yesus. Ada sinar halus yang menyelubungi tubuh ibu. Andai
nyanyian dewa-dewi melatari apa yang dilihat mataku pagi ini, aku akan yakin
kalau aku telah berada di taman firdaus, surga.