Bulan Jatuh di Selokan

1/25/2016 02:11:00 PM





masih berkutat dengan cerpen amatir. cerpen ini sudah pernah di ikutkan lomba.
dalam seminggu lebih sehari ini, saya sudah mengikuti 6 lomba menulis cerpen. satu diantara enam tersebut sudah keluar hasilnya. hasilnya cerpen saya yang berjudul "Memori Pertigaan Jalan" berhasil masuk sebagai naskah cerita yang ikut di bukukan, ya walau tidak meraih juara 1 atau 2. dari 977 naskah cerita yang masuk, hanya diambil 158 cerita untuk di bukukan. insha Allah, antologi ketiga saya akan terbit, kalau tidak salah, judul antologinya "Di Balik Senja". dulu sekaliiiii entah tahun berapa (lupa), antologi pertama temanya tentang ayah, dan yang kedua soal secret admirer. saya sampai apa judul cerpen saya yang berhasil masuk dalam antologi harfeey itu.
do'akan saya selalu agar menjadi penulis yang terus produktif, terus aktif, dan semakin bagus. tahukah anda? menuliskan sebuah cerita adalah "passion" yang ada dalam diri saya, sejak kecil. dan baru saya sadari hal itu ketika SMP.
Tuhan selalu bersama kita. 

“dimana Bulanku? siapa yang menyembunyikannya, dia hilang dari singgasananya.” Amad berteriak-teriak ditengah keramaian pasar, meneriaki setiap wajah yang ia temui untuk ditanyai. “siapapun yang melihat Bulan, tolong kembalikan pada Langit”
Amad, malang benar nasibnya. Pemuda yang lumayan tampan, dari badannya nampak kegagahan meski terbalut dalam kelusuhan. Setiap memandangi langit, syair-syair indah keluar melantun dari mulutnya. Saat matari yang menjulang ia untaikan syair pencarian, pesakitan dan kehilangan. Namun ketika rembulan yang bertengger di kaki langit, Amad teriakkan syair kasih, cinta dan kerinduan.
Jangan pedulikan pemuda itu, dia kurang waras bisik ibu-ibu pengunjung pasar merentet dari satu mulut ke mulut lain. Pemuda yang terlalu memuja cinta, begitulah jadinya kata salah seorang lagi di tengah-tengah kerumunan yang seolah tak mempedulikan suara Amad yang terjerik sakit.
***
“Lan, kasihku. Lihat aku yang sangat mencintaimu ini” teriak Amad kepada kekasihnya, Bulan Novitari yang terduduk cantik memakai riasan cindai di puadai nikah bersama danawa asmara yang di pilihkan Ayahandanya.
Amad di tarik-tarik oleh orang-orang yang menjaga perkawinan itu, di lempar keluar dari gedung berhias serba emas yang meremas-remas jantung hati si Amad dan kekasihnya, Bulan. Maafkan aku, Amad. Ini pilihan Ayahanda. Jerit Bulan dalam hati, air mata tertahankan di sudut kaca dunia dalam wajahnya. Bulan tak ingin meniti air mata, ia taulah setiap tetes air mata yang jatuh dari matanya, lalu membasahi gaun pengantin dan puadainya yang indah akan menjatuhkan harga diri ayahnya pula. Bulan patuh, sayang serta pada ayahandanya, ia tak ingin membuatnya malu.
“larilah bersamaku Bulan, kau hanya boleh bersanding dengan aku...” amad terus berteriak hingga parau. Tak jelaspun kalimat yang ia luap.
Amad di bawa ke tempat jauh, ia terus meronta-ronta. Sejauh-jauhnya dari lokasi pesta perkawinan Bulan. di bungkam hatinya terasa mati setengah memandang takjub pada kenyataan bahwa jantung hatinya, kekasih yang sungguh-sungguh ia cinta telah dinikah pria lain di depan matanya. Kisah liku yang ia perjuangkan sesungguhan itu kini menjadi sembilu yang menusuk sanubari jiwa Amad. Luka pilu mengiang bertalu-talu di kiri dan kanan telinganya. Amad terjatuh, tenggelam dalam luka kehilangan mendalam
Laki-laki tampan, Amad Ramadhan. Paras dan kelakuannya patut menjadi teladan. Jika dipandang-pandang parasnya, miriplah dengan artis ternama yang sholih dan tampan, Hamas Syahid. Amad juga merupakan orang yang rajin, semenjak kecil, dari ibunya masih hidup hingga ibunya telah tiada, ia tetap rajin dan berlapang dada. Pekerjaannya berjualan minyak wangi di pasar. Tak heran banyak perempuan dari yang berupa biasa hingga cantik luar biasa naksir pada dirinya, mereka para perempuan itu sering mampir ke toko Amad untuk membeli minyak wangi. Sering diantara mereka memiliki tujuan utama bukan untuk membeli wewangian, namun untuk bertemu dan sekedar berbincang basi dengan Amad.
“aroma minyaknya wangi ya” kata seorang perempuan yang mampir ke toko Amad.
“iya, namanya juga minyak wangi mbak” jawab Amad, senyum selalu terpatri di wajahnya.
“wanginya sampai masuk ke kalbu, membuat aku selalu memipikan pernikahan setiap malam”
Entah kesialan atau keberuntungan, Amad sering mendengar gombalan dari perempuan-perempuan genit yang ramai berdatangan ke tokonya. Kebanyakan dari mereka berparas cantik rupawan, namun pintu hati Amad tak berderit sedikitpun barang kepada seorang perempuan. Hingga ia melihat perempuan manis yang kecantikannya berbeda dari kebanyakan perempuan yang ia lihat. Perempuan itu Bulan Novitari yang kemudian hari membuat Amad gila. Hampir tiap malam ia tak dapat tidur mengingat Bulan. tidurpun wajah dan suara bulan terbawa kedalam mimpi.
“mas ada wangi mawar?” tanya Bulan. Amad tertegun memandang Bulan sekali pandang. Kala itu perjumpaan pertama mereka, ada sesuatu yang aneh berdesir di bawah kulit Amad kala mendengar suara lembut Bulan. “mas, halo. Ada nggag?” tanya Bulan sekali lagi.
“ada aroma kasih yang berhamburan di udara” jawab Amad begitu saja. Kepandaian bersayairnya terlontar tanpa ia sadari.
***
Malam menjelang, siang sudah tergantung di kalang bumi bahagian lain diluar sana. Sepanjang hari, sepanjang menit demi menit ingatan Amad selalu melafalkan kenangan tentang Bulan. Detik waktu yang berdentang-dentang di jam raksasa yang menempel di ujung tugu di tengah kota menyiksa batin Amad pula. Sepanjang siang ia menatap jam itu, mendongak tanpa terasa pegal. Kadang berdiri sambil bersyair tentang kesakitan, kadang duduk pula melamun memandang ke awang-awang. Memperhatikan gerak-gerik tiga jarum jam raksasa yang sudah tua.
“Bulanku, masih lamakah kepergianmu?
Duhai Bulan purnama, berapa purnama lagi yang kau mau
Sudah puluhan purnama kau tak kembali jua
Malamku tiada bersinar Bulan seperti sedia kala
Aku merinduimu purnamaku
Oohhh Bulaaaann...”
Amad kembali meneriakkan syair kerinduan diparu malam yang telah menggantikan siang. Amad berjalan pergi menjauhi jam raksasa yang menjadi temannya bicara selama ini. Agaknya Amad bosan berbicara pada benda mati itu, tiap Amad bersyair menceritakan kerinduannya akan Bulan kekasihnya, jam itu hanya menjawab dengan detak-detik serta dentang lonceng yang membunyi tiap jamnya saja. Amad yang kurang waras menjadi semakin tak waras tiap kali bertanya pada jam raksasa. Batin, jiwa serta akal pikirnya resah menunggu jawaban dari jam itu. Pertanyaannya selalu sama, kapan Bulan kembali padaku wahai jam temanku? Dan sama pula tak pernah terjawabi.
Amad tertunduk, berjalan tak tentu arah, sesiapa yang ada di depannya tak ia pedulikan ia tabrak saja dan ia terus berjalan. Ia tak mendongak ke atas memandang langit yang di dalamnya bulan purnama menggantung cerah nan indah.
Bulan... Bulan... Lan kasihku.. Rintih Amad sepanjang jalan. Orang-orang yang tertuju pandang padanya merasa kasihan, selain terlihat kacau dan nampak benar-benar tak waras, Amad juga kelihatan sangat lapar. Dasar orang gila, orang lain mau berbaik hati memberinya sepotong makanan, Amad tak pernah menoleh apalagi menyauti suara orang-orang baik yang peduli pada dirinya.
“ya Tuhan, Bulan” kata Amad histeris.
Ia berjalan menjauhi jam sampai di seberang jalan raya. Amad melihat bayangan bulan purnama di dalam air yang mengalir di selokan itu. Memang dasar orang gila, ingatan tentang Bulan kekasihnya tiba-tiba datang tak terkendalikan. Amad melihat wajah Bulan dalam pantulan bulan purnama di permukaan air selokan itu.
“aku akan menolongmu naik, Lan. Kau tenag saja” teriak Amat pada bayangan bulan dari tepian selokan. Ia ulurkan tangannya, namun tak sampai.
Selokan itu lumayan tinggi, kira-kira satu setengah meter dengan genangan air yang mengarus deras pula. Tolong tolong, seseorang tercebur di selokan dan membutuhkan bantuan. Toloong... teriak Amad sambil menangkupkan kedua tangannya di sekitar mulut untuk memperebesar volume suaranya. Biarpun orang gila, suara Amad yang keras itu menarik perhatian warga sekitar, dikiranya ada sesuatu apa yang benar-benar serius.
“mana, siapa yang tercebur?”
“bagaimana keadaannya, masih bernafas kan?”
“jangan kebanyakan tanya, ayo tolong kekasihku cepat” ujar Amad sambil menunjuk-nunjuk kedalam selokan, nada suaranya menandakan kalau ia panik dan khawatir “lihatlah, kekasihku Bulan jatuh dalam selokan!!”
Orang-orang geram dan sebal mendengar jawaban Amad, sadarlah mereka kalau Amad ini kurang waras. Ada juga yang tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Amad yang konyol.
“GILAA, itu Cuma bayangan bulan. Bulan yang asli masih ada dilangit sana!!!” kata salah seorang yang geram pada Amad.
“kenapa masih diam saja, ayo cepat tolong kekasihku. Dia bisa mati tenggelam di dalam selokan” ujar Amad berkeras hati.
Orang-orang tak mempedulikan Amad, meskipun ia menarik-narik tangan mereka meminta pertolongan, tetap saja Amad diacuhkan. Sudah, jangan pedulikan orang gila ini. Kata orang-orang yang berlalu lalang. Amad tergopoh-gopoh kesana-kemari menghampiri selokan, pergi mengambil sesuatu lalu kembali lagi ke tepian selokan.
Amad lemparkan tali, bulan dalam selokan itu tak mau menggenggam. Amad jatuhkan tangga, bulan itu juga tak mau naik menitinya. Amad sodorkan kayu pegangan, bulan itu lagi-lagi tak mau mengulurkan tangan karena sebenarnya bulan itu hanya sebuah lingkaran cahaya semu, tak bertangan.
“harus dengan benda apa lagi agar kau mau naik, Lan, kekasihku?” tanya Amad bersedih. “apa kau ingin aku menggendongmu naik?”
BYUUUURR
Amad menjatuhkan dirinya dalam aliran air selokan. Payah, ternyata airnya tinggi dan bukan hanya agak deras. Memang deras. Amad lupa kalau ia tak pandai berenang, tentu saja ia tak ingat, Amad memang sudah tak waras.
Amad tenggelam, terseret arus air selokan, terseret akan ingatan tentang Bulan.
“Lan, kekasihku... Tolong aku”
*

(Nannov S- di tulis di jogja pada 12 Jan. 15 23.39 dan selesai di pati pada 15 Jan. 16 22.18)

You Might Also Like

0 komentar

Tersenyumlah!

Popular Posts