Hidup ngapain lagi ya? Ini pertanyaan
dulunya sekitar 2 tahun lalu terdengar sangat menyebalkan sekali di telingaku. Menyebalkan
karena dipertanyakan oleh seorang teman (sebut saja Bunga), hampir setiap malam
menjelang tidurku. Makin menyebalkan lagi, pertanyaan tersebut kini aku alami,
terulang dalam hari-hariku dan aku menjadi bingung pada akhirnya. Eh belum berakhir,
hidupku belum berakhir, dan aku tidak ingin berakhir dalam kebingungan. Seperti
orang kebanyakan, aku ingin meninggal dengan damai dan Khusnul Khotimah, mengucap kalimat syahadat di tempat tidur serta
dikelilingi orang-orang yang aku sayang.
Pertama, aku
bukan hantu
Kedua, aku bukan
dukun
Ketiga, aku bukan
Tuhan
Yang sesungguhnya
aku ini Manusia dengan M besar, itu artinya Manusia sungguhan. Aku tidak habis
pikir kenapa banyak orang selalu bermain kode (yang akhirnya aku jadi
ikut-ikutan main kode-kodean dalam kehidupan). Apa susahnya sih mengatakan
maunya apa, inginnya apa, pengennya gimana?
Aku adalah salah
satu cucu simbahku yang peka(k), susah dibilangin tapi sekali dibilangin
langsung ngerti (kalau yang mbilangin pakai metode yang tepat :D). Sebagai Manusia
biasa yang banyak dosa, kepekaanku rasa-rasanya sama dengan orang kebanyakan. Kadang
berada di momen yang tidak tepat untuk bicara dan kadang juga salah suasana
dalam melontarkan sudut pandang. Normal bukan?
Aku tidak tahan
untuk tidak menuliskan hal ini, sebab ini berputar-putar di kepalaku sampai aku
tidak bisa kembali tidur setelah menunaikan sholat subuh pagi ini. Perbincangan
semalam terus terngiang, sayangnya hanya berupa penggalan kisah, aku akan menuliskan
semampu yang aku ingat saja.
Entah mengapa,
berbincang dengan orang yang lebih tua selalu lebih berisi ketimbang berbincang
dengan yang seumuran. Atau mungkin aku hanya belum menemukan orang seumuranku
yang memiliki cipratan gelembung cinta dalam setiap omongan yang ia torehkan.
Bukan berarti bercakap dengan teman sebaya tidak menyenangkan, sama
menyenangkannya sebenarnya.
Perbincangan : Mendengar Suara Tuhan Sebentar (Jangan Dianggap Serius-serius Amatlah)
me 10/04/2019 02:07:00 PM
Aku menuliskan
ini sebagai gelas kosong yang lama didiamkan dalam lemari, aku adalah gelas
berdebu yang lama tidak dihampiri. Sampai tiba masaku untuk dibersihkan,
dicuci, pecah dan menjadi butiran kaca, aku terus tergelatak di dalam lemari
bersama jaring laba-laba, semut dan hantu yang kadang-kadang ikut bersembunyi.
Malam itu adalah malam yang mengejutkan bagi aku, aku tiba-tiba diambil,
kemudian dicuci, di lap sampai bersih dan diisi dengan air panas yang dicampuri
perasan jeruk dan gula.
Tik ... air hujan satu persatu menitik, merintik jatuh ke bumi.
Tanah lapang yang penuh ditanami kenangan-kenangan akan orang tersayang alhasil
jadi tergenang. Payung hitamku membentang, kaca mata hitam yang aku kenakan
menceritakan bahwa sepasang bola di baliknya sedang muram. Langit berubah
kelam, hujan mendera hati yang menganga, mata yang menangis cerminannya. Perasaan
apa ini? Seperti sebuah angin yang memukul-mukul relung hati, bukan angin
biasa, angin yang telah mampu memporak-poranda tiang-tiang rasa di dalam jiwa.
Hatiku hancur tak terukur.