Szali

5/14/2018 02:59:00 PM

Ksatria wirang, tidak cocok.
Kata pamanku begitu saja, kerut di keningnya menandakan keraguan dan ketidak percayaan ata apa yang sudah dia hitung.
Bukan hanya ksatria wirang, pegat dan juga gonto. Imbuhnya lagi, dahinya semakin mengerut-ngerut tidak jelas.
Szali tidak peduli dan tidak mau tau apa itu ksatria wirang, gonto dan pegat. Tau untuk mau pun tidak sama sekali. Bahkan bila ia tau maksud dan arti dari semua itu, ia akan tetap melanjutkan niat baiknya. Szali laki-laki, ia tak perlu kehadiran wali ataupun orang tua dalam akad nikah. Hanya meghadirkan diri sendiri pun, semua akan tetap sakral dan sah!

Kata-kata tidak cocok yang dilontarkan pamannya membuat Szali gelisah. Ya, ia tetap gelisah meskipun begitu. Dari mananya tidak cocok itu? Hati dan fisiknya sudah sepenuhnya merasa cocok dengan pilihannya itu. Paman Szali bukan guru matematika, tidak pernah mempelajari matematika, pelajaran formal sejenis Bahasa Indonesia atau PPKN pun tak pernah di dapat. Hanya pelajaran madrasah, mengaji dan juga menelaah kitab kuning bersampul warna-warni, kebanyakan berwarna hijau.
Kalau kamu tetap lanjutkan, maka kamu akan dalam keadaan yang sulit. Tidak bisa kaya, tidak bisa makmur.
Darimananya? Pikir Szali, selama ini ia selalu merasa segala kesulitannya hilang hanya dengan dekat dengan pilihannya. Mana mungkin yang mendatangkan kedamaian di hatinya malah membawanya dalam keadaan yang sulit. Tidak logis itu, tidak masuk di pikir.
Pelik memang, Szali jadi merasa menyesal mengapa ia terlahir di lingkungan Jawa. Padahal dia dulu sangat bangga sekali terlahir dari latar belakang keluarga yang kental akan budaya Jawa. Semuanya dihitung, semuanya direncanakan dengan matang. Hari, jam, tanggal sampai posisi matahari adalah kunci. Szali berbangga pada keragaman budaya yang ada di Jawa, tari-tariannya, upacara adatnya, semuanya. Entah mengapa ketika dirinya memiliki niat baik, justru perhitungan jawa tidak berpihak baik kepadanya.
Bukankah semua hari adalah baik, menurut Tuhan. Eh, dalam ajaran agama kan tidak boleh percaya pada yang namanya ramalan. Kalau begitu Szali masih memiliki peluang untuk tetap menikah dengan perempuan pilihannya.
Akan sering bertengkar, rawan perselingkuhan.
“Mana mungkin ada perselingkuhan, cinta kami begitu besar dan kuat” Szali berkata pada dirinya sendiri. Sudah berapa tahun ya, 4 tahun kira-kira. Selama itu Szali dan kekasihnya memupuk asmara hingga begitu erat dan tak akan terpisahkan. Di daerah asal kekasihnya, tidak ada yang namanya hitung-hitungan weton, tidak ada! Menikah ya menikah saja. Mapan, mau dan saling suka. Belum mapan pun asal saling suka dan mau sama-sama berusaha boleh-boleh saja. Masa cinta dihalang-halangi oleh angka? Sontak Szali jadi ingin tertawa.
“Mana mungkin paman, coba hitung lagi” Pinta Szali pada pamannya yang masih mengerutkan dahi. Hidungnya kembang kempis seperti gula kapas yang dijual di pasar malam.
Kekasih Szali orang Melayu, Melayu asli. Cantik parasnya, memiliki mata berwarna cerah seperti mata kucing, kuning-kuning bening semacam itulah. Tiap kedipan matanya adalah tiupan angina yang menyegarkan bagi Szali. Kekasih Szali tidak bisa berbahasa jawa sama sekali, tidak paham dia soal weton, soal neptu, soal ganjil genap dan semacamnya yang ada di dalam lingkungan Jawa, lingkungan hidup Szali.
Gonto, susah punya anak.
“Pamanku, tidak adakah sedikit saja kebaikan dalam hitungan pasaran aku dan kekasihku? Sedikit saja tidak adakah?”
Lungguh, dalam kehidupan rumah tangganya akan kokoh dan selamat.
Ada tata cara tersendiri dalam menghitung weton bagi orang yang akan menikah. Ada yang namanya jumlah pasaran yang merupakan hasil pertambahan dari nilai weton masing-masing orang kemudian dibagi dengan angka tertentu pula. Szali juga tidak terlalu paham, ia hanya kagum dengan kebudayaan jawa. Sekedar kagum saja tanpa pernah larut dalam kepercayaan yang katanya ada.
Szali selalu menyukai yang namanya aroma dupa, dupa yang seringkali dibakar oleh kakeknya yang kini sudah tiada untuk berbagai macam ritual dan acara. Sejak kecil Szali sering diajak kakeknya ke punden, ada makam tetua kampong di sana. Sambil membacakan do’a tahlil yasin dan semacamnya, ada dupa yang dibakar dan juga beberapa petik bunga kantil yang diletakkan. Aromanya wangi sekali, wangi dupa. Bau-bau dupa yang semacam itu, sudah jarang sekali Szali dapatkan. Ketika ada sedekah bumi misalnya, baru Szali tiba-tiba mencium aroma itu kembali. Bersamaan dengan pagelaran wayang, ketoprak dan larung sesaji serta hasil bumi ke laut. Sayuran dan segala macamnya itu ketika di laut siapa yang memakan ya? Apa ikan-ikan doyan?
Szali terdiam, masih ada celah kebaikan dalam perhitungan tanggal lahirnya dan tanggal lahir kekasihnya. Handphone Szali kemudian berbunyi, ada pesan dari kekasihnya nun jauh di sana. Bunyinya seperti ini ‘Jangan lupa makan sayang, oh ya Abah menunggu di rumah’.
Apa hanya karena hitungan yang katanya tidak baik maka niat baik sepasang manusia yang ingin menuju baik itu harus gagal? Rasa-rasanya tidak. Ayah dan ibu Szali juga dulunya dikatakan tidak boleh menikah sebab berasal dari desa yang saling bertentangan, ada sesauatu entah apa yang mengutuk dan tidak memperbolehkan penghuni dari masing-masing kampong tersebut untuk tidak saling menikah. Ketika itu dilanggar dulu, tentu banyak yang tidak setuju. Katanya A ini, B itu, C anah! Namun ketika itu dilanggar, toh sekarang biasa saja, lahir Szali dan dua adiknya yang sehat dan waras-waras.
Ada banyak pula yang melanggar adat, hitungannya tidak pas, harinya tidak sesuai, di tengah perjalan rumah tangga yang dibangun timbul pertengkaran, perceraian, perselingkuhan, kemelaratan, tidak punya keturunan dan lain-lain. Ada yang belum satu bulan menikah, lalu tiba-tiba salah satu orang tuanya entah itu bapak atau ibu malah meninggal. Yang begitu itu namanya kebo Gerang, kerbau yang marah. Kerbau siapa yang marah memangnya sehingga menyeruduk sana-sini sampai membuat orang mati? Tetangga Szali saat ini sudah jarang yang pelihara kerbau di rumah, ada yang punya peternakan satu dua. Itu pun letaknya jauh di mata, jauh sekali di sana.

Hitungan Szali jatuh sebagai ksatria wirang katanya, ksatria yang malu. Malu-malu begitu dia tetap ksatria bukan? Seberat apapun kalau yang namanya ksatria pasti akan dijalani dan dilalui dengan teguh. Masa bodoh, angka bukan takdir. Szali kemudian pergi meninggalkan pamannya dengan sopan dan permisi, pergi ia ke rumah kekasihnya nun jauh di sana. Sementara pamannya masih dengan gurat-gurat keraguan yang kian melipat-lipat di keningnya, pulpen di tangan kanan dan kertas di tangan kiri turut bergetar.

You Might Also Like

0 komentar

Tersenyumlah!

Popular Posts