Gadis cantik yang ada di hadapanku ini, namanya Fani. Parasnya yang
jelita masih dihiasi titik-titik butir tirta hening, yang beberapa saat lalu
masih berbentuk sekelompok tirta suci yang mampu menyejukkan raga serta melibas
seluruh jelaga yang melekat di atas indra peraba. Mahkota kepalanya berkilau
kelam, panjang sebahu serta beraroma mayang. Masih basah bersimbah rinai tirta
serupa dengan yang menghiasi rupa ayunya. Dari ujung-ujung rambut kepalanya,
titik tirta satu persatu menitiskan rupa, lalu hilang ditelan sepanjang tuala
yang melilit apik di raga Fani yang teramat jenjang menjulang. Cantik. Gadis
ini cantik betul. Dahulu kala ia masih alit, ia tak se-elok seperti saat ini.
Pipinya gempal, menjadi sasaran cubit orang, macam mencubit kue bakpao sajalah.
Jasadnya masih alit, seringlah ia di gendong-gendong ibunya, menatap pandang
lekat ke arahku, lantas berkata halo, aku Fai. Hahaha ... bicara gadis
kecil itu dahulu belumlah calak. Sangatlah menggemaskan kau, Fan.
“sana ganti baju, Fan. Sudah kubilang kau ini cantik. Berpakaianlah
yang bagus biar makin cantik” titahku.
Tirta hening yang menempel di kulit pualamnya, hampir musnah semua
sudah. Badan Fani sudah kering sehabis merapal jelaga dengan buih sabun
beraroma mayang di kamar basah tadi. Tiga puluh menitlah sudah ia mematung diri
di hadapanku. Selama itu pula sudah ku madahkan bilamana ia sungguh jelita.
Baru setelah gendang telinganya bosan mengindahkan kata-kataku yang mendendang,
ia melenggang pergi dari hadap mukaku. Sesaat lagi, pastilah Fani kembali
kehadapanku. Mematut diri lantas bertanya sudah cantikkah aku?
Gadis cantik, kau memang cantik. Bak batu pualam cendayam di ujung
malam. Kau Fan, bersinar bayan di naungi pendaran rembulan. Ahh jelita, Cuma kata
jelita yang tertawan dalam setiap sambang pandang pada engkau Fan. Ibumu dulu
bahkan tak seayu dirimu. Aku tiada akan pernah jengah, mengamati polah keletah
geliat ragamu. Berapa kali kau menodongkan tanya soal rupa? Berapa kali aku rapalkan
jawab soal jelita. Cantik.Cantik.Cantik. Itulah kau, Fan. Sekalipun dari
zaman ibu bahkan ibu pertiwi dulu, tak pernah ada gadis jenjang secantik mayang
seperti kau yang pernah aku tatapi. Setiap hari, setiap waktu.
Gadis ini, pagi ini memakai gaun merah meriah. Riasan celak
memperdalam catatan buram di netranya, pipinya di polesi perona lantas
bibirnya. Ahh, merah menggoda seperti strawberry.
Tahukah kau, Fan? Ada satu pertanyaan yang selalu mengiang dalam
kilat pandang atas engkau sepanjang waktu. Sebenarnya yang cantik itu kau atau
aku, kau kan juga aku Fan. Wajahmu yang jelita itu ada di dalam ragaku. Pancaran
ayumu tak lain tiada bukan karena ada aku. Aku yang senantiasa menuntunmu
menorehkan riasan serta membantumu berdandan. Tanpa aku kau mana tampak jelita
macam pelita di tengah gelita seperti sedia kala. Pantulan ayumu semata karena
aku yang memantulkan kepercayaan diri pada jiwamu. Yang cantik kau atau aku;
cermin kesayanganmu.
***
"Bercermin, berkaca sepanjang waktu tanpa sadar dan malah terlena akan kecantikan semu. Aduhh, bahaya!!. Bercermin, sadar, lalu keburukan dipudar itulah baru bersahaja." - Nannov S.