“Apakah aku berpotensi mati muda?”
Pertanyaan terakhirku.
LALU HENING … yang
selanjutnya mata peramal itu mencari-cari mataku dan ia pun mendapatkannya.
Mata yang tajam, hidung yang tajam dan ramping pula, dagunya juga. Jelita. Ini
kali kedua aku dibaca masa depannya oleh peramal kartu tarot. Pertama dulu
sekali saking isengnya aku, sekitar tahun 2017 kalau tidak salah. Sore itu adalah tahun yang berbeda, kebetulan
seorang teman mengajakku datang ke pameran lukisan, ada stand ramal-meramal
gratisan disana. Kalau ditakar, sungguh keisengenku hanya 30% di kali kedua itu.
Bukan kesenangan
atau pencerahan yang aku dapat, aku justru makin gelisah. Ditambah air hujan
yang menghujam-hujam tubuhku menuju pulang, mataku yang basah jadi semakin
basah. Aku tidak mengerti perasaan apa ini, perasaan yang aku dapat dari hasil
merenung-renungkan perkataan sang peramal. Golak dan kecamuk yang
sungguh-sungguh aku hindari dan berhasil aku jauhi selama sebulan ini. Sayang,
ia kambuh lagi.
“Pertama aku
bukan Tuhan, aku tidak punya kuasa untuk menjawab pertanyaan seputar kematian”
Peramal itu membuka omongan, “Aku keluar dari gedung ini pun, kalau waktuku
sudah habis, maka aku akan mati. Semua orang berpotensi lho”
Wayang adalah simbol keseluruhan hidup manusia dan semesta.
Pagelarannya terbagi 3 tahap. Pathet Nem (6), bermakna enom, muda. Tergambar
pada gendhing yg di mainkan Cucur Bawuk. Pathet Songo (9), kematangan laku. Di
simbolkan dengan gending yang bernuansa nglangut, tenang dan stabil. Adegan biasanya
pertapaan atau Brahmana di hadap ksatria.
Hidup ngapain lagi ya? Ini pertanyaan
dulunya sekitar 2 tahun lalu terdengar sangat menyebalkan sekali di telingaku. Menyebalkan
karena dipertanyakan oleh seorang teman (sebut saja Bunga), hampir setiap malam
menjelang tidurku. Makin menyebalkan lagi, pertanyaan tersebut kini aku alami,
terulang dalam hari-hariku dan aku menjadi bingung pada akhirnya. Eh belum berakhir,
hidupku belum berakhir, dan aku tidak ingin berakhir dalam kebingungan. Seperti
orang kebanyakan, aku ingin meninggal dengan damai dan Khusnul Khotimah, mengucap kalimat syahadat di tempat tidur serta
dikelilingi orang-orang yang aku sayang.
Pertama, aku
bukan hantu
Kedua, aku bukan
dukun
Ketiga, aku bukan
Tuhan
Yang sesungguhnya
aku ini Manusia dengan M besar, itu artinya Manusia sungguhan. Aku tidak habis
pikir kenapa banyak orang selalu bermain kode (yang akhirnya aku jadi
ikut-ikutan main kode-kodean dalam kehidupan). Apa susahnya sih mengatakan
maunya apa, inginnya apa, pengennya gimana?
Aku adalah salah
satu cucu simbahku yang peka(k), susah dibilangin tapi sekali dibilangin
langsung ngerti (kalau yang mbilangin pakai metode yang tepat :D). Sebagai Manusia
biasa yang banyak dosa, kepekaanku rasa-rasanya sama dengan orang kebanyakan. Kadang
berada di momen yang tidak tepat untuk bicara dan kadang juga salah suasana
dalam melontarkan sudut pandang. Normal bukan?
Aku tidak tahan
untuk tidak menuliskan hal ini, sebab ini berputar-putar di kepalaku sampai aku
tidak bisa kembali tidur setelah menunaikan sholat subuh pagi ini. Perbincangan
semalam terus terngiang, sayangnya hanya berupa penggalan kisah, aku akan menuliskan
semampu yang aku ingat saja.
Entah mengapa,
berbincang dengan orang yang lebih tua selalu lebih berisi ketimbang berbincang
dengan yang seumuran. Atau mungkin aku hanya belum menemukan orang seumuranku
yang memiliki cipratan gelembung cinta dalam setiap omongan yang ia torehkan.
Bukan berarti bercakap dengan teman sebaya tidak menyenangkan, sama
menyenangkannya sebenarnya.