Sepasang kekasih yang bertengkar
dalam diam, yang laki-laki bingung ingin berkata apa, memecah suasana tak bisa
dia. Si perempuan, ujung-ujung matanya basah, melirik serempak ke kiri,
memandangi kaki-kaki meja sebelah yang tidak bisa berlari. Air mata si perempuan
lalu jatuh padaku, bukan asin tapi pahit. Tak sekali ini saja air mata seorang
perempuan jatuh kepada aku, sengaja aku tangkap sebab aku tak tega, siku
tangannya menempel pada aku sebagai topangan agar tangannya tetap tegak
menyangga kepala. Sudah kubilang sering-sering, jangan menangis sayang. Tapi
biarpun tidak menangis itu mata-mata perempuan, hatinya yang menangis. Bagaimana
bisa sih hati menangis, padahal hati tidak ada matanya. Oh mata hati kan ada,
fungsinya untuk melihat yang lembut-lembut seperti debu-debu beterbangan yang
bikin bersin-bersin. Selain itu, ada banyak lagi yang dilihat oleh mata hati,
yang pasti mata hati bila bertemu hati yang satu frekuensi, ya paling
lihat-lihatan, lalu saling sayang, kalau bosan lalu benci-bencian.
Kamu bilang kamu sudah baca setiap kata yang aku ketik? Kamu bilang sudah baca semua-semua puisi yang aku tulis di instagram, baik yang sudah aku hapus maupun yang memang tak pernah tertulis. Lalu kamu jatuh cinta.
Kamu bilang kamu memperhatikan aku dari jauh? Kamu lihat terus setiap gambar yang aku posting di sosial media, kamu membaca rasa-rasaku yang tertangkap kamera dan yang tak sempat tertangkap. Lalu kamu jatuh cinta.
Kamu bilang kita satu kota, aku di utara kamu di selatan. Aku di kaki gunung kamu di dekat pesisir. Kamu tau tetangga-tetanggaku, yang bahkan aku tidak tau semua-semua. Kamu tau nama danau di dekat rumahku. Lalu kamu jatuh cinta.
Katamu kemarin, kamu kali pertama tau aku lewat tulisanku di sebuah media. Kamu terkesan dengan perasaan yang aku tuangkan dalam tulisan. Lalu kamu stalking soal aku di dunia maya, tiba-tiba ketemu instagram, blog dan segala yang macam-macam. Tiba-tiba saja kamu jatuh cinta.
Kok bisa? Jatuh cinta lewat tulisan, tak pernah bertatap-tatapan. Sekali pandang jadi, padahal membuat sebuah keputusan penggusuran yang bikin gusar saja harus berbulan-bulan. Aku jadi takut.
Kamu panggil aku Anna, padahal namaku Novita. Aku tanya kenapa? Kamu jawab karena aku adalah Anna. Aku tanya, Anna bagaimana? Kamu malah berpuisi
Anna, diriku
Setiap akar memiliki cahaya terang di dalam cabang-cabangnya
Cahayaku terang benderang, serupa bulan jelita di tengah malam
Anna, diriku
Kau adalah kata dalam sela-sela tenggorokanku
Detakmu ialah detak angin di tengah padang
Menggoyangkan rerumputan yang diam-diam dalam kesedihan
Anna, diriku.
Bersambung.
Kenapa bersambung, aku bertanya. Kamu jawab, karena kita akan selalu bertemu, menyambung hari-hari panjang yang tak kan pernah usai. Berapa episode, aku tanya? Kamu jawab tak terhingga. Kok bisa sih? Kamu jatuh cinta, tapi aku belum? Ataukah rupanya, kamu hanya jatuh cinta pada kata, bukan pada Anna, pada Novita. Kamu diam, lalu berpuisi.
Bersambung.
Kamu bilang kamu memperhatikan aku dari jauh? Kamu lihat terus setiap gambar yang aku posting di sosial media, kamu membaca rasa-rasaku yang tertangkap kamera dan yang tak sempat tertangkap. Lalu kamu jatuh cinta.
Kamu bilang kita satu kota, aku di utara kamu di selatan. Aku di kaki gunung kamu di dekat pesisir. Kamu tau tetangga-tetanggaku, yang bahkan aku tidak tau semua-semua. Kamu tau nama danau di dekat rumahku. Lalu kamu jatuh cinta.
Katamu kemarin, kamu kali pertama tau aku lewat tulisanku di sebuah media. Kamu terkesan dengan perasaan yang aku tuangkan dalam tulisan. Lalu kamu stalking soal aku di dunia maya, tiba-tiba ketemu instagram, blog dan segala yang macam-macam. Tiba-tiba saja kamu jatuh cinta.
Kok bisa? Jatuh cinta lewat tulisan, tak pernah bertatap-tatapan. Sekali pandang jadi, padahal membuat sebuah keputusan penggusuran yang bikin gusar saja harus berbulan-bulan. Aku jadi takut.
Kamu panggil aku Anna, padahal namaku Novita. Aku tanya kenapa? Kamu jawab karena aku adalah Anna. Aku tanya, Anna bagaimana? Kamu malah berpuisi
Anna, diriku
Setiap akar memiliki cahaya terang di dalam cabang-cabangnya
Cahayaku terang benderang, serupa bulan jelita di tengah malam
Anna, diriku
Kau adalah kata dalam sela-sela tenggorokanku
Detakmu ialah detak angin di tengah padang
Menggoyangkan rerumputan yang diam-diam dalam kesedihan
Anna, diriku.
Bersambung.
Kenapa bersambung, aku bertanya. Kamu jawab, karena kita akan selalu bertemu, menyambung hari-hari panjang yang tak kan pernah usai. Berapa episode, aku tanya? Kamu jawab tak terhingga. Kok bisa sih? Kamu jatuh cinta, tapi aku belum? Ataukah rupanya, kamu hanya jatuh cinta pada kata, bukan pada Anna, pada Novita. Kamu diam, lalu berpuisi.
Bersambung.
KKN udah, magang juga udah.
Mau bikin rencana buat bikin skripsi
nih, baru rencana tapi, itu pun rencana di dalam rencana. Tapi ini serius ya,
tadi siang baru aja ngechat dpa minta ngajakin ketemuan, ceritanya mau
konsultasi judul. Dikit-dikit di dalam ini kepala udah ada rancangannya tau. Jam
10.54 ngechat, sekarang jam 23.17 kok belum di balas. Ngedrop sih, dikit aja
tapinya.
Sebelum-sebelumnya mah cuek sama
begitu-begituan. Gara-gara pada bahas mulu sih, akunya jadi kepikiran. Di kosan,
di tempat kerja, di tempat makan, di kampus apalagi. Nambah-nambahin beban
pikiran aja, alah kayak punya pikiran berat aja.
Aku kira semester 7 bakal bahagia,
aku bisa fokus bekerja dan mengumpulkan uang buat beli iphone X yang sekarang
udah keluar seri XS-nya. Kandas lagi deh, dari dulu pengen iphone nggak pernah
kesampaian. Moga-moga skripsinya kesampaian kelar, wajiblah! Jangan
moga-moga, nanti malaikat kalau denger malah bahaya.
Santailah baru semester 7 kok,
yang semester 11 dan masih bikin skripsi tapi nggak jadi-jadi juga ada. Tapi masa
iya harus nunggu sampai semesternya belasan gitu? Sek, sek. Sekarang umurku 20
tahun, target skripsi jadi, lulus, wisuda umur 21. Itu dalam hitungan 8
semester, kalau sampai 11 semester masih bikin skripsi aja, hitungannya aku
udah 23. Mengejutkan burung-burung merpati yang pada tidur siang nanti, masa
iya umur 23 masih belum lulus. Merugikan diri sendiri wah, yang pertama ibuk
sama bapakku nanti jadi ikut tekanan bathin, yang kedua jadi nggak bisa full
fokus nyari duit, yang ketiga nanti jadi lupa menerka-nerka si calon jodoh. Heuhue,
nggak jelas semua alasan kerugiannya ya, intinya kalau lulus cepet kan orang
tua tanggungannya lepas satu, itu pokoknya jelas. Bagi diriku sih, bagi orang
lain mah karep-karepnya sendiri saja. Barangkali memang orang tuanya sawahnya
lebar, usahanya lagi berkembang bagus, warisannya banyak, tinggal ngelanjutin
kerjaan turunan yang sudah ada, atau memang males aja. Haha.
Tapi bener juga sih, lulus cepet
apa lulus nggak cepet bukan patokan masuk surga kok. Bahkan yang nggak lulus
pun juga nggak dijamin masuk neraka, dijamin masuk surga buat yang lulus juga
enggak. Malaikat penjaga kubur bakal nanya gitu, apa rumusan masalah yang kamu bikin di dalam sekripsimu? Sambil pakai toga sama topi yang talinya udah dipindah ke kanan? Bisa jadi sih, kan segala sesuatu bisa terjadi to.
Kebahagiaan tidak diukur dari yang begitu-begitu, kebahagiaan itu di
mana-mana ada, di kolong dispenser juga ada. Ada debunya. Kebahagiaan itu di
hati, kalau lulus lama rasanya nyaman, sah-sah aja bagi yang mau. Aku sih
nggak, heuheu.
Besok aku ke
Jogja, tapi hatiku mendadak gelisah.
Kenapa selalu
seperti itu, mendadak tidak karuan rasanya. Apakah karena aku terlalu main rasa
dan tidak banyak pakai logika? Masalahnya, gelisahnya tidak beralasan. Bukan,
masalahnya adalah tidak tau gelisahnya karena apa. Jadi aku gelisah karena tidak punya masalah begitukah?.
Aku sering
bolak-balik dari Jogja ke rumah ibu, pernah dalam satu minggu 3 kali pergi. Ketika
aku merasa benar-benar kesepian, aku memutuskan untuk pulang saja. Di jogja
juga mau apa kalau sedang sepi-sepinya. Di rumah pun aku tidak melakukan
apa-apa, yang aku pikirkan ketika aku sedih galau sepi merana di Jogja itu
begini ‘enak di rumah, tidur, menghalau galau’.
Pencerahan dari tuhan memang bisa datang dari mana saja ternyata, bagi yang sadar dan butuh pencerahan, dan aku mendengar pula suara tuhan dalam sebuah lagu ini.
karena aku bukan bapakmu, bukan pula ibumu. aku tidak akan pernah mengikhlaskan apa yang sudah kuberikan padamu, Tuhan bilang dalam kitab-kitabnya, hutang itu harus dibayar tuntas. sudah ku kode-kode tapi kamu tidak peka, sudah kutagih langsung kamu bilang belum ada padahal diam-diam ngopi-ngopi di kafe. aku harus apa atau kamu yang harus bagaimana?
Janji bukanlah hutang kecuali menjanjikan membayar hutang. dalam janji-janji adalah tidak ada yang pernah disaling pinjamkan bukan? mengenai janjimu yang ABCZ ya sudah, namanya juga omongan tidak bisa dipegang.
karena aku bukan bapakmu, bukan pula ibumu. aku tidak akan pernah mengikhlaskan apa yang sudah kuberikan padamu, Tuhan bilang dalam kitab-kitabnya, hutang itu harus dibayar lunas. aku tidak ingin hubungan pertemanan kita rusak, putus akibat persoalan ini. tapi aku bukan malaikat maha pemberi, aku memberi maka aku menerima. aku meminjamkan maka kau kembalikan.
mungkin aku lupa kadangkala, tapi rokib dan atid tidak pernah lupa.HAHA.
aku yang harus berbuat apa atau kau yang harus bagaimana? sengaja tidak lagi kubahas supaya kamu peka, kalau masih belum peka. aku tunggu kamu di depan pintu lauh mahfudz, sekalian kita bahas masa-masa indah pertemanan kita, persahabatan kita, tali kasih kita.
Bersambung...