Kebohongan Jovi
4/09/2019 11:09:00 PM
Rasanya sangat tidak nyaman sekali
membohongi diri sendiri. Entah bohong itu adalah kebohongan yang disengaja atau
tidak, berbohong adalah hal yang tidak nyaman bagi orang yang punya hati. Apalagi
membohongi diri sendiri. Muak sudah, Jovi berguling ke kanan kemudian ke
kiri, ke kanan lagi lalu ke kiri lagi di atas tempat tidurnya. Berpindah
pandang dari satu tembok ke tembok lain di dalam kamarnya, kemudian memandang
bola lampu yang sedang tidak menyala. Cahaya matahari sore menelusup lewat
jendela kacanya. Kuning dan nampak hangat, namun hati Jovi lebih dari hangat.
Mendidih.
“Aku tak ada rasa, percuma saja”
Bathin Jovi.
Rasa-rasanya Jovi ingin
membatalkan temu yang terlanjur janji malam nanti. Percuma saja ada pertemuan
demi pertemuan, yang ada di dalamnya hanya kebohongan. Kebohongan yang berkedok
buaian dan bualan proses pembukaan rasa yang sangat dinanti-nanti. Membuka hati
bagi kisah yang baru tak semudah mengikat tali sepatu menjadi simpul kupu-kupu.
Cinta saja tak cukup, apalagi cinta semu yang begitu mudahnya diucapkan. Bukan cinta
itu barangkali, namun kagum semata. Atau mungkin ledakan rasa akibat kesepian
yang terlalu lama. Kadang-kadang, cinta memang bukan cinta bila berdiri sendiri
tanpa diiringi perasaan dan pembukaan atas hal yang lainnya. Ada penerimaan dan
juga kerelaan atas banyak hal agar dua kepala dapat memilin kasih bersama. Itu
tidak mudah bila hanya diikat dengan kata cinta. Kadang-kadang cinta yang
diutarakan memang bukan cinta.Baca Juga : Mencari Jovi Mencari Jati
Jovi bangkit, duduk bersila
seperti petapa di atas ranjang. Menyambar gawai yang sebenarnya sedari tadi
berkelap-kelip akibat belasan panggilan tak terjawab yang memang sengaja tidak
dijawab oleh dirinya.
“Aku tidak bisa bertemu malam ini”
Ungkap Jovi melalui ketikan jari, tertuju pada si pemanggil tak terjawab yang
telah berupaya memanggil sebanyak enam belas kali.
“Aku sangat minta maaf sekali, di tempatku
bekerja masih hujan” Tambah Jovi.
“Kita sudah janjian kan?” Pesan
Jovi terbalas.
“Aku masih menunggu hujan, aku
minta maaf ya”
Selanjutnya, kata bernada kecewa
yang dibuat seolah tidak apa-apa dikirimkan kepada Jovi. Tak enak hati
sebenarnya, namun Jovi akan lebih tidak enak hati lagi bila bertemu tatap dan
bercerita banyak hal dengan orang yang dia bohongi, orang yang Jovi bohongi
perihal hati.
Kita memang tidak bisa memilih
akan jatuh cinta dengan siapa, kita juga tidak bisa memaksa diri untuk lupa
begitu saja dengan apa yang sudah-sudah. Beberapa rasa timbul begitu cepat dan
beberapa ingatan menetap begitu rapat. Jovi pernah jatuh cinta, ia merelakan
hatinya pada seorang laki-laki yang lumayan tampan, bermata sipit, berkulit
putih dengan rambut yang agak bergelombang. Tampan namun menyakitkan. Saking sakitnya,
Jovi sampai lupa kenapa hubungan asmaranya bisa berakhir sedemikian rupa dengan
si laki-laki tampan tersebut. Itu sudah dua tahun lalu dan sekarang Jovi sudah
merasa baik-baik saja dengan semuanya. Kecuali satu hal, Jovi tak bisa membuka
hati setelahnya, Jovi belum bisa membukakan pintu hatinya selebar dua tahun
lalu ketika jantungnya berdebar karena sebuah ungkapan cinta.
Debar di dalam dada Jovi sekarang
tidak ada, semua hati terasa tawar dan biasa saja.
“Kasihan aku, kasihan dia” Jovi
kembali rebah pada tubuhnya yang lemah.
Seorang laki-laki begitu saja
datang dalam kehidupan Jovi. Ia bemata sipit, rambutnya juga agak bergelombang,
namun kulitnya tidak seputih kekasih hati Jovi di masa dua tahun lalu. Ia tiba-tiba
duduk di hadapan Jovi yang sedang meminum secangkir kopi dingin. Padahal Jovi
sedang ingin sendiri dan mengerjakan beberapa hal yang memang harus dia
kerjakan. Jovi lebih tak ingin berbincang panjang tentang hal-hal basa dan
basi.
“Hai” Laki-laki itu menyapa, “Aku
boleh duduk di sini”
“Sudah terlanjur duduk, lanjutkan
saja” Kata Jovi dingin, sedingin malam dan secangkir kopi Jovi.
“Aku Ari, kamu Jovi kan ... ?”
Kemudian percakapan pendek-pendek saling sambung di malam itu. Jovi malas
berbincang sebenarnya, namun karena Ari bermata sipit, Jovi jadi senang
memandang-mandangnya. Seperti ada cemisthri yang entah datang dari mana,
Jovi betah berbincang dengan Ari, dengan mata Ari yang sipit. Selanjutnya Jovi
dipesankan kopi panas bergambar kelinci oleh Ari. Kopi itu lama-lama cair
menjadi hangat.
Berikut-berikutnya, Ari sering
mengikat Jovi dalam janji untuk bertemu. Sudah terlanjur janji, tidak enak bila
tidak dipenuhi. Dalam satu bulan, mereka bisa bertemu delapan kali. Hanya delapan
kali adalah angka yang cukup banyak bagi orang yang berusaha sibuk seperti
Jovi. Bagi Ari, delapan kali masih belum cukup. Sangat sedikit sekali.
Tidak mudah bagi Jovi untuk
menjadi tawar dan menjalani hari-hari secara normal seperti sebelum mengenal
Ari. Prosesnya panjang dan menjemukan. Jovi melakukan banyak hal setiap
harinya, dari mulai membuka mata hingga menutup mata. Satu prinsip Jovi, yang
penting tidak sendirian di dalam kamar. Karena kalau sendirian, apalagi di
dalam kamar, kegalauan Jovi akan kambuh. Kalau sudah kambuh, butuh waktu berhari-hari
untuk sembuh. Itu sangat melelahkan dan membuang waktu. Sayang sekali kalau
masa muda di usia dua puluhan dihabiskan untuk galau dan berdiam diri. Langit saja
tak selalu mendung dan hujan, lalu kenapa membiarkan hati dalam keadaan
dirundung nestapa dan lara?
Jovi bekerja, Jovi bergabung di
komunitas pecinta anak-anak yang membahagiakan, Jovi menulis, Jovi melukis,
Jovi menangis, Jovi berkunjung ke tempat-tempat baru. Semua itu adalah upaya
untuk mengusir sepi dan menyembuhkan hati yang kadung lara. Jovi cukup bahagia
dengan semua hal itu.
Sebelum Ari, sudah ada banyak
laki-laki yang mendekat kepada Jovi. Semuanya mental, Jovi belum bisa membuka
hati. Tidak ada niatan dalam hati Jovi untuk menyakiti, namun bila ia
benar-benar tidak ada rasa, Jovi bisa apa? Kadang Jovi berpikir, apakah dirinya
berdosa bila membuat laki-laki sakit hati akibat penolakan yang ia lakukan. Setelah
upaya membuat dirinya jatuh cinta, ternyata Jovi tawar. Tidak ada debar seperti
debar dua tahun lalu yang membuat Jovi lemas, gugup dan meledak bahagia di
dalam hati.
Ari mengirimkan banyak hal, ia
mengirimkan bunga, ia mengirimkan boneka beruang coklat, Ari mengirimkan puisi,
Ari memberikan waktu dan telinganya untuk Jovi.
Hal-hal seperti itu memang
menyentuh hati, Jovi malah jadi canggung dan semakin merasa bersalah telah
membohongi diri dan juga Ari. Awalnya Jovi merasa terhubung dan tersambung
dengan segala hal yang ada di diri Ari. Jovi senang ketika Ari bercerita
tentang ibunya. Jovi senang mendengarkan cerita tentang masa kecil Ari. Jovi senang
mendengarkan keluh kesah tidak jelas yang lebih terdengar sebagai basa-basi untuk
memulai sebuah obrolan. Apa itu cinta? Jovi tak tau.
“Jovi aku mencintaimu” Kata Ari
setiap pagi, di setiap Jovi membuka layar gawainya.
“Aku belum” Balas Jovi singkat.
“Ya aku tunggu, aku akan berusaha
untuk mendapatkanmu”
Jovi semakin muak, kalau ingat
pesan-pesan manis itu.
Muak
Muak
Muak
Dan muak. Jovi muak pada dirinya
sendiri yang ternyata bohong. Cahaya matahari sudah padam, berganti petang yang
remang. Jovi harus segera menyalakan lampu. Klik.
1 komentar
Bingung mau ngapain? mendingan main games online bareng aku?
ReplyDeletecuman DP 20rbu aja kamu bisa dapatkan puluhan juta rupiah lohh?
kamu bisa dapatkan promo promo yang lagi Hitzz
yuu buruan segera daftarkan diri kamu
Hanya di dewalotto
Link alternatif :
dewa-lotto.name
dewa-lotto.com
Tersenyumlah!