DUA ; Membaca Malam
7/13/2019 10:41:00 AM
Malam
dan Pikiran yang Nyaris Cemerlang
Malam
itu, malam rabu tanggal 10 April 2018, seorang perempuan berjalan-jalan menuju
arah selatan. Calon wartawan dia, perempuan itu hendak mencari berita liputan
sebenarnya. Tidak seperti biasa ketika ia mencari bahan liputan berupa aksi
demonstrasi ataupun mengenai polemik di dalam kampusnya sendiri. Kali itu, ia
mencari bahan untuk tugas kampus, lusa tugas itu sudah harus jadi. Perempuan berkacamata
tebal itu menuju ke arah selatan bersama salah seorang teman yang juga berjenis
kelamin perempuan.
Tujuannya
ke alun-alun selatan, namun karena begitu ramainya di sana, tak jadilah ia
untuk berkeliling mencari bahan. Putar arah ke Malioboro saja, begitu katanya
pada sang teman. Akhirnya pukul 10 malam lebih sedikit, sampailah mereka di
alun-alun utara. Kebetulan tugas yang hendak ditulis adalah sebuah tulisan
bebas, feature namanya. Tugas yang dinilai berat oleh banyak mahasiswa sebab
jumlah katanya yang amat banyak. Berat memang kalau dikerjakan mendadak dan
bukannya jauh-jauh hari, padahal sudah diberi waktu berminggu-minggu untuk
mengerjakan tugas tersebut.
Sang
perempuan berkaca mata tebal berkata ingin mengangkat sebuah tulisan mengenai
orang-orang dan malam. Tentang ibu-ibu yang masih berjualan meski sudah dini
hari, bapak becak yang tetap berada di becaknya meski gelap sudah menerjang,
pikir si perempuan, bapak becak itu apa tidak punya tempat tinggalkah?
Berhentilah kedua kawanan itu di pinggir-pinggir altar, di bawah lampu tiang
yang berwarna kuning. Berceritalah kemudian si perempuan berkacamata tebal,
mengenai realitas sosial yang ada di masyarakat terkhusus orang yang berada
pada posisi di mana ia tidak bisa memilih. Orang kalau dihadapkan pada
kenyataan hidup apalagi yang berbenturan dengan ekonomi, tentu saja apa pun
akan dilakukan demi memenuhi kebutuhan hidup itu sendiri. Pekerjaan apa pun
akan dijalani demi perekonomian yang terus jalan, karena makan itu harus setiap
hari dan orang lain apalagi pemerintah tidak akan menanggung itu. Misalnya
saja, seorang janda yang memiliki banyak anak untuk dihidupi, ditambah lagi ada
orang tua yang juga harus dihidupi dengan layak sebagaimana orang tua itu
menghidupi si janda sewaktu kecil. Si janda sudah mencoba berbagai macam
pekerjaan serabutan, menjadi buruh pabrik pun sudah juga. Namun dirasa hasilnya
ia bekerja masih tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, anaknya harus sekolah,
orang tua harus diberi makan dan beragam keperluan sehari-hari lainnya.
Akhirnya si janda memutuskan untuk menjadi pekerja malam, bahkan bekerjanya tak
hanya malam-malam saja, siang-siang juga ia bekerja, menjadi pelacur pemuas
nafsu lelaki yang kesepian. Cemerlang sekali pemikirannya, itu akibat saking
banyaknya buku-buku yang ia baca dan ia renungi. Semoga bukan hanya pikirannya
saja yang cemerlang, namun dalam kesehariannya juga cemerlang, bathin si kawan
perempuan.
Bukan
murni pilihan si jandalah menjadi seorang pelacur itu, kata perempuan berkaca
mata tebal. Sesungguhnya ada keterpaksaan di dalam diri sang janda, mau
bagaimana lagi yang namanya terpaksa itu. Jalan yang dikatakan orang lain lebih
bersih dan benar dengan menjadi buruh pun tidak cukup uangnya. Kata si
perempuan lagi, yang semacam itu harusnya kan tanggung jawab pemerintah, namun
pemerintah tidak ada andil sama sekali di dalamnya. Kawan perempuan berkaca
mata yang juga berjenis kelamin perempuan mendengarkan dengan seksama sambil
menimpali apa yang dibicarakan oleh kawannya itu.
Lalu
lagi, lihat itu ibu-ibu yang berjualan malam-malam, kata si perempuan, mereka
menanggung beban ganda. Malam bekerja dan ketika terang melakukan tugas
domestik seperti memasak, mengurusi rumah tangga dan sebagainya. Mengurus rumah
tangga itu tidalah ringan, masih lagi ditambah dengan beban ekonomi keluarga
yang tiada habis-habisnya. Berjualan makanan itu bukan satu hal yang mudah,
kadangkala petugas keamanan mengusir, kadangkala satpol pp yang mengusir.
Mengapa yang seperti itu harus diusir? Padahal mencari nafkah bukanlah hal yang
hina, merusak pemandangan dan kebersihan katanya. Pemandangan di negeri ini
sangat tidak indah sama sekali berarti, sebab banyak orang jatuh dalam
lingkaran kemiskinan dan sampai saat ini tidak ada perubahan nyata yang
dihasilkan oleh pemerintah. Mengenaskan!
Kecil-kecil
Minta-minta
Tiba-tiba
datang anak laki-laki, kecil badannya. Dia menyebut dirinya sebagai Rama,
umurnya 6 tahun dan dia sudah meminta-minta. Kulitnya kusam, dipenuhi debu,
nampak sangat kusam dan kotor sebab Rama mengenakan kaos abu-abu. Di tangannya
ada bungkusan makanan dan air minum, kata Rama itu diberi orang yang kasihan
padanya. Si perempuan berkacamata tebal merasa mendapatkan bahan untuk ia tulis
di dalam tugas kuliahnya. Sementara si kawan yang juga berjenis kelamin
perempuan merasa iba terlebih dahulu dan membelikan Rama somay. Rama bilang,
rumahnya di daerah Tamansiswa, ketika ditanya apakah besok sekolah atau tidak,
bocah itu menjawab dirinya belum sekolah. Si perempuan berkaca mata tebal
banyak menyimpan tanya sebenarnya, namun Rama keburu ilfil karena belum-belum
sudah diminta duduk dan ditanya ini itu, sementara Rama pada teman si perempuan
merasa biasa saja. Mata Rama celingukan ketika menerima somay yang dibelikan
untuknya, seolah ada yang mengawasi dari kejauhan. Apa iya orang tuanya
menyuruh Rama yang masih kecil itu untuk mengemis, atau ada banda tersendiri
yang memberdayakan anak semcam Rama untuk meminta-minta. Si perempuan dan
kawannya belum tahu sebab tidak cukup waktu dan belum ada kesempatan untuk
mencari tahu, semoga suatu saat dapat mencari tahu akan hal itu.
Rama
bilang, dirinya pulang ke Tamansiswa jalan kaki sendirian. Dua kawanan
perempuan berpikir mengenai kepulangan Rama, antara mungkin dan tidak mungkin.
Mungkin saja benar memang jalan kaki, mungkin saja ada yang menjemput atau
pulang bersama dengan Rama. Sudah, sebentar saja setelah diberi koin recehan
oleh si perempuan berkacamata, Rama pergi, pamitnya pulang. Namun anak kecil
itu masih saja menyambang orang-orang di sekitar dua kawanan, meminta-minta
jelas. Nada polos, sedikit mengayun dan terdengar memelas adalah senjata utama
selain daripada mimik muka yang tak kalah polosnya, dengan senjata macam itu,
Rama berhasil memperole simpati dari banyak orang. Terdengar banyak sekali
bunyi gemerincing di dalam kantong celananya sebenarnya, entah seberapa dalam
kantong itu.
Anak
kecil itu, seolah sudah diajari oleh seseorang yang mengharapkannya begitu.
Rama sudah diajari untuk tidak banyak bicara ketika ditanya kemana-mana, cukup
kata-kata meminta saja, diberi uang lalu pergi sudah. Si perempuan berkaca mata
jadi heran, begitu pula dengan kawannya yang tak kalah herannya.
Sudah
mulai malam, pukul 11 kira-kira, altar masih ramai saja. Penjual kopi keliling,
baik itu bapak-bapak ataupun ibu-ibu sempat lewat-lewat di depan dua kawanan
perempuan. Ingin mengobrol namun tidak memiliki keberanian untuk mengganggu
orang-orang yang sedang bekerja itu. Hendak membeli minum sekalian mengobrol
tentang kehidupan, namun ketika melihat kantong, rupanya hanya tersedia uang
yang pas untuk membayar parkir, sayang sekali, dua perempuan itu sedang tidak
beruntung.
Bosan
duduk, dua kawanan itu berkeliling altar, mencari apa yang bisa untuk dicari
sebenarnya. Berhentilah mereka di sisi jalan yang berbeda, ada deretan motor
CB, Vespa, dan motor sport yang berjajar sejauh mata memandang. Si kawan dari
perempuan berkaca mata sempat mengobrol dengan kawanan laki-laki di deretan
motor CB, jumlah mereka 3 orang. Percakapan itu mengalir begitu saja,
percakapan yang hanya berisi senda gurau ringan sambil selingi tawa, saling
bertanya asal muasal dan kesibukan apa yang dilakukan di kota istimewa. Namun
si perempuan berkaca mata, hanya diam saja ia, antara malas menanggapi dan
tidak terbiasa bicara dengan orang asing.
Dongeng
Masa Lalu
Karena
malam semakin larut, jam di layar smartphone menunjukkan hampir pukul 12 sudah,
beberapa menit lagi akan berganti hari. Terdesak tugas yang harus segera
dikerjakan, sementara untuk mengerjakan harus ada bahan. Kembalilah si dua
kawanan berjalan, di salah satu sudut terlihat ada nenek-nenek duduk menunggui
dagangannya. Si kawan perempuan berkaca mata tebal antusias langsung
menghampiri, begitu pun si perempuan berkacamata mengikuti di belakang.
Agar
sopan, dua kawanan duduk meleseh sejajar dengan nenek-nenek dan jualannya. Mereka
mulai bertanya harga-harga dari makanan yang dijual sang nenek, ada kacang, ada
snack warungan, ada air, ada kuaci. Harga kacang sangat pas sekali dengan uang
yang dimiliki dua kawanan tersebut, selembar 2000-an berpindah kantong sudah.
Sebuah cerita pun dimulai, nenek itu bernama Sumisriani, Asli Jogja beliau.
Rumahnya di Godean sana, tutur si nenek, beliau berjualan sejak ba’da isya
sampai tengah malam ketika anaknya menjemput.
Mengapa
nenek Sumisriani yang lahir pada tahun 1939 malah berjualan makanan di tahun
2018? Jawabnya sederhana saja, sebab bila hanya diam saja di rumah, beliay
merasa sepi, beliau merasa senang ketika melakukan suatu pekerjaan apa pun itu.
Dengan berjualan di alun-alun utara, nenek Sumisriani bisa berjalan-jalan, bila
beruntung bisa bercakap-cakap dengan orang baru yang menyenangkan seperti
halnya si nenek berbincang-bincang dengan dua kawanan tersebut.
Jumlah
anak yang dimiliki oleh beliau ada 12 orang, sementara itu cucunya sudah 17
orang. Dari 2 orang bisa menjadi 29 orang itu adalah hal yang luar biasa, kata
nenek Sumisriani. Berbeda dengan Rama, anak kecil yang meminta-minta, meskipun
si nenek itu sering pula dikira sebagai peminta-minta, namun beliau merasa
dirinya bukan pengemis. Berjualan makanan adalah pekerjaannya, bukan kedok agar
dikasihani oleh orang yang melihat.
Nenek
Sumisriani tidak merasa ada masalah dengan pakaiannya yang tipis, dingin tida
dirasakan sebab beliau sudah terbiasa susah sejak kecil. Berceritalah beliau
perihal pengalamannya berjualan, pernah diusir petuga keamanan kraton sebab
dinilai mengurangi keindahan dan membuat kotor. Namun si nenek tidak berkecil
hati, sudah biasa katanya. Berapa yang didapat dari hasil berjualan makanan
semacam itu? Tanya si perempuan berkacamata, jawabannya membuat dua kawanan
tercengang. Ketika ramai uang yang didapat bisa mencapai Rp. 300.000, ketika
biasa saja sekurang-kurangnya Rp.100.000, nominal itu dikalikan jumlah hari
dalam sebulan akan menghasilkan angka baru yang banyak jumlahnya.
Rejeki
nenek Sumisriani itu, semoga rejekinya terus lancar dan banyak, bathin kawan
perempuan berkacamata. Terlepas dari lakon berjualan di tengah malam yang
sangat dinikmati oleh si nenek, rupanya beliau sangat merindukan masa-masa
kecilnya dulu. Ketika pohon masih banyak sekali, ketika asap-asap belum
memenuhi udara, ketika orang-orang di tanah istimewa masih berbicara dengan
nada yang halus dan tutur yang bagus. Dari tahun 1939 sampai 2018, sudah 79
tahun umurnya, heran beliau mengapa begitu banyak mesin yang menghuni kota istimewa.
Dulu, andong dengan kuda sebagai penariknya saja sudah merupakan hal tercanggih
yang pernah ada.
Nenek
Sumisriani kemudian bercerita tentang masa kecilnya dulu, beliau masih ingat
betul bahwa di rumahnya Godean sana, ia terbiasa digendong dengan pemandangan 3
pohon besar, pohon beringin, pohon petai dan satu pohon lagi yang terlupa
namanya oleh si nenek. Suasana sangat sejuk, adem dan damai. Kala itu, orang
Belanda atau yang biasa nenek Sumisriani sebut dengan orang londo berkulit
putih masih ada banyak sekali dan bercampur dengan orang pribumi. Kala itu si
nenek masih kecil, ketika ada orang berkulit putih yang mampir atau berkeliling
di desanya, maka orang-orang akan berkata tabik ndoro tuan, yang artinya
salam hormat.
Dulunya
lapangan alun-alun utara adalah tempat parkir untuk bus, pengunjung dengan
sangat dekat dapat berjalan-jalan ke Malioboro. Jualan si nenek dulunya juga
sangat laris sekali kalau dibandingkan dengan saat ini. Sekarang ada taman
parkir ngabean dan lagi ada taman parkir abu bakar ali. Entah mengapa si nenek
dan kawan si perempuan berkacamata tebal itu malah asyik bercerita yang
bukan-bukan. Si nenek berkata, dulu banyak sekali orang sakti, baik tua maupun
muda. Ada pula yang dapat menyebrangi lautan parangtritis hanya dengan menggunakan
kerambil pohon kelapa. Ada pula ketika orang Belanda menyerang, kala itu
pasukannya sangat banyak. Senjata yang digunakan juga berbahaya, pistol yang
pelurunya dapat melesat kencang menembus dada, kepal, mata dan tubuh para
pribumi. Sementara senjata yang dimiliki orang kita hanya bambu runcing. Lalu
dengan ajaibnya, Sultan pada masa itu merubah dedaunan di 9 pohon beringin yang
ada di Jogja menjadi bala tentara. Si kawan perempuan merasa takjub sekali
dengan hal itu, bertanyalah ia pada si nenek, jangan-jangan simbah ini juga
orang sakti? Si nenek Sumisriyani hanya tersenyum saja.
Rupanya
tak semua orang yang terlihat susah itu menderita, justru kadangkala
orang-orang itu lebih menikmati hidup dibandingkan orang yang terlihat
mentereng. Pun sangat mungkin sekali bahwa orang yang nampak susah memang
menyimpan kesengsaraanluar biasa di dalam dirinya. Malam itu yang dilihat oleh
perempuan berkacamata tebal adalah bahwa hidup itu sederhana, beragam teori
dalam kehidupan yang membuatnya rumit. Ada bapak-bapak yang tidur tergeletak di
tengah lapangan, tidurnya sangat nyenyak sekali sehingga dua kawanan tidak
berani dekat-dekat, takut mengganggu. Ada pula bapak becak yang mangkal, asyik
mengobrol satu sama lain dengan penarik becak yang lain. Ada penjual yang terkantuk-kantuk
menunggui dagangannya. Mereka pasti memiliki takaran dan definisi sejahtera
yang berbeda-beda. Jam sudah menunjukkan angka 00:40, sudah saatnya pulang.
Namun sampai pada saat itu, si perempuan berkacamata tebal belum tahu apa yang
dapat ia tulis sebagai tugas kuliahnya. Kata si perempuan berkacamata tebal, ia
merasa kurang puas dan masih ingin lagi berbicara dengan banyak orang agar
mendapat banyak bahan. Andai deadline dapat mundur lagi dan lagi, bathinnya.
YK, 12/4/18, Untuk SAR
0 komentar
Tersenyumlah!