Pilihan yang Tidak Ada Pilihan
1/19/2019 10:28:00 PM
Kalau tidak ada pilihan, hidup ini tidak akan asyik. Sama seperti
mesin yang tidak memiliki pilihan untuk ditentukan sendiri, seperti robot yang
digerakkan oleh sistem. Manusia, semakin bertambah umur semakin dihadapkan pada
banyak sekali plihan yang kadang kala sulit. Apalagi semakin besar, beban
tanggung jawab semakin banyak. Tidak hanya kepada diri sendiri namun juga pada
orang tua dan sekitar. Kalau menanggung diri sendiri saja belum mampu,
bagaimana hendak menjawab pertanyaan yang kaitannya dengan proses diri sendiri?
Bagaimana bisa membebas tanggungkan beban orang tua dan banyak hal lainnya?
Harusnya ini tahun terakhirku di kampus, bisa sekaligus
sebagai tahun terakhirku di Jogja. Sayangnya takdir Tuhan berkata lain, aku
mengambil cuti di semester genap,
semester 8. Tiba-tiba begitu saja aku
mendapatkan pekerjaan yang sangat menyenangkan dengan lingkungan dan
orang-orang asyik di dalamnya, 2 minggu setelahnya aku mendapatkan tawaran
untuk menggarap proyek artikel yang lumayan besar juga uangnya, hehehe. Untungnya aku hanya hanya tinggal menggarap
skripsi tok. Eh masih harus semprop
dulu maksudnya, tapi pada intinya sudah tidak ada sks yang harus diambil
(selain skripsi).
Mbak-mbak kosku yang jelas lebih tua dan lebih banyak
semesternya dari aku akan segera lulus, semua yang dekat secara emosional
dengan aku akan kembali ke kampung halamannya masing-masing. Tinggallah aku
sendiri di kosan. Aku akan kesepian dalam malam-malam panjang kalau mereka pada
pulkam, pikirku. Aku lumayan betah di kosku yang sekarang ini, sebab orang-orangnya
enakan. Sering ada di kosan setiap malam. Kalau ada teman bicara di kos,
artinya aku tidak perlu keluar untuk mencari keramaian. Kalau pada pulkam kan
aku jadi sepi, lagi pula aku sudah tidak terbiasa untuk keluar sekedar mengusir
sepi. Ketika menulis ini, ingatanku kembali pada beberapa bulan silam ketika
aku dengan sengaja membiarkan diriku tenggelam dalam sepi. Hampa se-hampa-hampa-nya
aku nikmati sendiri, ketika sudah lewat 3 bulan, aku terkejut bahwa ternyata
aku mampu melewati kesendirian itu. Tapi aku selalu mendengar suara-suara
mbak-mbak kos yang diam-diam mengusir sepi dalam diriku. Kalau mereka pulkam,
aku jadi sepi.
Kalau sudah begini, aku jadi galau.
Galau sekali.
Aku bisa lulus kuliah kapan? Setelah lulus apakah aku harus
tetap di Jogja atau pulang ke Pati saja? Di Jogja banyak pekerjaan, tapi aku
sendirian. Sendiri itu berat. Di rumah aku bahkan tidak tau harus mengerjakan
apa, tidak punya teman sebab teman sekolahku dulu orang jauh semua. Lagi pula
sebagian besar sudah menikah.
Aku suka Jogja, aku bisa menjadi diriku sendiri sepenuhnya
di sini, aku bisa mencari uang sendiri yang tak bisa aku dapatkan ketika aku di
rumah dan tidak melakukan apa-apa. Tapi untuk bertahan sendiri rasanya berat
sekali. Kadang aku juga sangat merindukan rumah, aku merindukan kedamaian dari
tidak perlu ribet memikirkan mau makan apa, irit bensin, uang habis, bayar
listrik, kuota habis dan segala hal lainnya yang tidak perlu ditanggung kalau
ada di rumah. Tapi di rumah 3 hari saja, rasanya bosan sekali.
Sampai pada titik ini, aku malah bingung. Apa yang
sebenarnya aku khawatirkan? Apakah aku terlalu mengejar-ngejar uang yang jumlah
tidak seberapa itu? Membingungkan sekali.
1 komentar
2021-22 NBA Predictions - The StillCasino happyluke happyluke 12bet 12bet 661Luxor Hotel Near Me - Choctaw Casinos
ReplyDeleteTersenyumlah!