K A K, baik-baik ya!
12/30/2016 10:11:00 AM
Selamat pagi Kak. Jelas ini pagi.
Matahari menelusup lewat celah-celah kecil jendela kamarku, dulunya kamar ini
ialah kamarmu. Jendela itu menghadap ke timur, mau tak mau harus bangun pagi
kalau menghuni kamar ini. Kak, kau bilang dulu tak suka bangun pagi, itu adalah
alasan kau bertukar kamar dengan aku. Bekas kamarmu ini, 2X lebih besar dari
kamarku yang seharusnya. Ada lemari besar, ranjang besar dengan 4 bantal
bersisian dan tembok yang berwarna hijau. Yang hijau ini adalah permintaanku
dulu. Ahh, satu-satunya ruang yang berwarna dalam rumah ini adalah kamarku.
Ruang lainnya, bahkan ruang keluarga pun semua berwarna putih. Putih itu entah
melambangkan kesucian ataukah kehampaan. Berbeda, aku selalu berbeda atau tepatnya
minta dibedakan. Anak kecil, anak manja! Kau menyebut aku begitu, dari dulu dan
mungkin sampai pada keadaan yang sekarang.
Pagi ini aku terbangun dengan rasa
sesak, rasa semacam hampa dalam dada. Rasa inilah yang membuat aku datang,
pulang ke rumah. Tak perlu pikir panjang, mendadak aku teringat Ayah dan kau
pula Kak. Aku tak paham apa sebabnya, apa masalahnya mengapa dadaku jadi segini
pilunya. Berat sangganya. Apa kau bisa menjelaskan padaku, aku ini kenapa Kak. Coba
jelaskan mengapa sekarang waktu seolah berjalan lambat, setiap detiknya
menghunus sembilu dalam detak-detakku. Tik-tok-tik-tok begitu bunyinya. Jika aku
adalah jam, jam yang kehabisan baterai, aku akan berhenti di angka bagian mana?
Di tik atau tok? Aku ini pulang kesekian kalinya, dan kau masih bermuram durja.
***
“Pergi sana, ini acara yang ingin
aku tonton!” Katamu Kak.
“Ada barbie di TV, tadi aku
melihatnya di rumah Bibi”
“Nonton saja di rumah Bibi” Ketus
jawabmu.
Waktu itu aku belum sekolah,
kira-kira umurku empat dan kau sepuluh Kak. Baru saja aku pulang bermain dari
rumah bibi Ati, sekilas melihat tayangan barbie di TV. Lalu aku cepat-cepat berlari
ingin menonton di rumah. Dan ada kau yang memegang kendali atas televisi, Kak.
“Ganti ke barbie Kak” Aku terus
merengek.
“Jangan ganggu aku!”
Aku terus merengek, merengek dan
merengek lagi. Itu pasti sangat mengganggumu kan Kak? Kau ingat tidak, kecil
dulu kau nampak jahat.
“Hahhh berisik kamu tuh” Kakakku
berteriak, itulah kau.
Plakkk.
Suara melengking tangisan seorang
bocah perempuan memecah udara, memekakan telinga seorang anak yang sedang
marah. Aku Kak, kau lempar remot TV tepat di kepala. Bila kau masih ingat,
kepalaku sampai berdarah.
“Krisan! Kamu ...” Tergopoh panik
Ibu datang. Waktu itu Ibu kita masih hidup dan mencurahkan seluruh kasih
sayangnya pada kita, meski kau bilang selalu Ibu lebih sayang padaku.
“Dasar cengeng! Aku benci punya
adik!” Katamu pekak, lalu pergi.
“Krisan, kamu tidak boleh seperti
ini sama Rana. Rana ini adikmu, kamu harus jaga dia” Percuma ibu mengucapkan
hal itu, kau sudah melenggang entah, Kak.
Kakakku sedang marah. Kau, kak. Tapi,
ujungnya kau merelakan televisi itu untuk aku tonton kan. Pada kondisi seperti
itu, bukan kau yang jahat melainkan aku. Ada cerita lagi, bila kau masih ingat
ini. Mendiang Ibu mengajak aku ke pasar, itu kali pertama aku berkeliling lebih
dari tujuh keliling mengitari seluruh isi pasar. Ibu sampai lelah mengikuti
setiap langkah kecilku. Tak lekas ibu lepas genggaman tangannya, sekalinya
lepas, kalau tidak ujung-ujung bajuku yang dipeganginya, maka rambut kuncir
kudaku yang ditarik-tarik Ibu. Betapa lucunya, atau menyebalkan.
“Bu... Bu...” Aku menunjuk sesuatu
di dalam etalase sebuah toko, “Belikan itu ya, barbie yang warna biru”
Ibu menghela nafas, sebentar
berfikir dan diam, namun tak lama-lama sebab rengekanku sudah pasti membuyarkan
upaya Ibu untuk konsentrasi.
“Rana, kamu kan sudah punya boneka
di rumah”
“Rana mau itu” Terus merengek,
Aku.
Rasanya setengah jam aku merengek,
atau lebih. Terpaksalah Ibu membelikan boneka yang aku mau. Ketika di rumah, kau
tau sudah kalau aku dibelikan mainan baru, kau marahlah Kak.
“Semua yang Rana mau dikasih sama
Ibu”
“Kris, Rana masih kecil”
“Ibu lebih sayang pada Rana,
Krisan Tidak” Kau berteriak, marah.
Aku baru tau kalau tempo hari pada
masa itu, kau minta dibelikan Tamiya, mobil-mobilan yang bisa melesat cepat
dengan suara ngung yang keren. Berhari-hari kau merengek dalam bisu,
tetap saja Ibu tak mau menurutimu.
“Tamiya akan membuat kamu lupa
belajar, Kris. Lagipula bermain dengan adikmu Rana bukankah lebih menyenangkan.
Jaga adikmu itu baik-baik”
Jelas bukan, aku yang jahat. Kau tidak,
Kak.
***
Krisan artinya emas. Nama yang
bagus kan. Krisan juga merupakan nama sebuah bunga, bunga Krisan yang
berwarna-warni, tapi aku paling suka yang berwarna putih. Kris dari bahasa
Yunani artinya emas, sedangkan Rana artinya perempuan dalam bahasa sanskerta. Aku
tidak pernah bilang ‘ini’ ke siapapun Kak, bagiku kau lebih dari emas, kilaumu
dan hargamu. Bila emas ternilai, kau tak ternilai dengan bilangan apapun. Apapun
bahkan bila-bila-bila yang mana-mana. Bila bobot emas dihitung dari gram dan
karat, kau lebih dari satu milyar gram dan lebih lekat dari dua ratus karat. Kau
kakakku, adalah subjek sekaligus objek dalam hidupku, semenjak aku sadar aku
telah banyak jahat pada kau.
“Berangkat dan pulangnya selalu
bareng ya, Kris jaga adikmu” Tutur mendiang Ibu setiap pagi, tiap kali mengelus
kepala, rambut dan pipi aku juga kau bergantian. Kala itu, aku SMP kelas dua,
kau SMA kelas tiga. Aku tau kau sebal Kak, pergi-pulang sekolah selalu bersama
aku. Sedangkan kau ingin pulang petang bersama kawan kau yang asyik itu.
“Kakakmu kan suka rendang ya, ibu
mau buatkan” Kata ibu suatu siang.
Siang itu begitu terang, itu
adalah kata lain dari terik. Panas-panas-gerah terasa tidak genah
begitulah. Belakangan hari, kita tak lagi pulang bersama Kak, aku pulang jam
dua seperti biasa dan kau harus pulang jam lima. Ujian nasional SMA sebentar
lagi, sebulan atau dua bulanlah kiranya. Kak Krisan, Kakak pasti lelah ya? Otakmu
diperas oleh pelajaran bahasa Indonesia yang tidak kau suka. Kau juga
sepertinya tidak tertarik dengan biologi bukan. Seringkali aku terheran-heran,
kenapa kakakku amat pandai mengitung rumus alfa, beta, gama dan sekawanannya
yang entahlah. Aku saja tidak suka.
Kepandaianamu bergelut dengan
angka pastilah menurun dari Ibu, sedangkan keahlianku main kata berasal dari
Ayah. Emm, Ayah jelas dulu banyak menggombali Ibu, surat-surat cinta bertumpuk
di lemari bagian bawah kamar Ayah buktinya. Menurut cerita yang dikisahkan oleh
Ibu dulu, Ayah banyak mengirimkan surat rayuan ialah supaya Ibu mau mengajarkan
fisika matematika dan sejenis mata angka lainnya. Jatuhnya, dua-dua diantara
mereka malah jatuh cinta, menikahlah akhirnya. Diam-diam, aku membaca
surat-surat itu, lalu aku banyak tertawa. Geli rasanya.
“Sebentar lagi kak Krisan kuliah,
mau kuliah dimana dia, Bu?”
“Krisan tidak bilang mau kuliah di
kota mana, kakakmu hanya bilang berkeinginan kuliah di jurusan teknik mesin, Ran”
Ibu sibuk ini-itu menyiapkan makanan.
Ada semacam bau-bau aneh saat itu,
ketika aku bilang pada ibu, ibu jawab tak mencium apa-apa yang aneh, malahan yang
dicium ialah wangi bunga sedangkan hidung mudaku mencium bau gas yang agaknya
membuar di udara, bocor.
“Mandi sana” Suruh Ibu.
Siang menjelang sore itu memang
gerah-gerah-genah, dan rasanya juga amat lelah. Maka kuputuskan mandi
seperti yang ibu anjurkan supaya segar. Sekilas di ujung pandangku, Ibu pun
nampak lelah.
Klekk. Aku menutup pintu kamar
mandi, letaknya tak jauh dari dapur.
Blaarr. Semua buyar, masakan ibu
tak sempat jadi. Tak akan pernah jadi.
Boommm ----
---
Matamu, mata Ayah juga mataku
sembab tak karuan. Bola mata kalian berdua gersang. Alat yang entah apa
namanya, berbentuk kotak serta berbunyi bip-bip-bip terus meracau di sampingku.
“Ibu meninggal,” Ungkap Ayah, “Dua
hari lalu sudah dimakamkan”
Sejak kalimat itu terucap, sebutan
ibu mendapat imbuhan menjadi Mendiang Ibu. Aku harusnya tak bangun selamanya,
harusnya bukan koma namun titiklah. Aku ingin menyusul Ibu saja, mungkin di
alam baka aku akan menjadi bayi lagi, menyusu hikmat pada ibu yang telah
melahirkan serta membesarkan aku juga kau dengan kasihnya.
Rumah kita hancur. Ibu kita juga
hancur tubuhnya. Aku koma dengan luka bakar empat puluh persen. Butuh biaya
banyak untuk membagun semuanya kembali.
“Ayah, Kris menunda kuliah dulu
tidak apa-apa. Kris bisa kerja”
Wajahmu yang teduh Kak, serupa
cahaya dalam mati lampu ketika kau mengucapkan kalimat itu. “Krisan tau, ini
akan berat bagi kita semua. Apalagi Ayah, pasti akan sangat berat. Dan kulit Rana
harus kembali seperti sedia kala”
Lain cerita, aku sudah lihat
kamarmu yang tak seorangpun boleh masuk. Termasuk Ayah ataupun mendiang Ibu. Dindingnya
penuh coretan, ada coretan kebencian banyak, keluh juga harapan.
Rana menyebalkan, aku benci punya
adik perempuan
Ibu pilih kasih
Tidak ada yang benar-benar
menyayangi aku
Rana tidak berguna
Hidupku sepi, Tuhan!!
Aku ingin damai
Aku tak berguna
F**k
Dan lain-lain.
Sakit membacanya, sebenarnya apa
yang kau inginkan Kak? Bila yang kau inginkan adalah kasih Ibu, bagaimana aku
bisa menggantinya bila yang dituju sudah tidak ada. Kini akau paham ketika
seseorang bilang ‘sama saja’, itu berarti ada tingkatan kadar yang berbeda dari
sesuatu hal yang dibilang sama. Manusia tidak bisa adil dan menyamakan
tingkatan rasa dari apa yang ia banding-bandingkan. Tidak ada yang bisa
memungkiri itu meski setelah seseorang ataupun kau sendiri Kak, membaca tulisan
ini lalu mengelak. Mengelaklah terus sampai lelah, sampai sadar kalau yang aku
bilang adalah benar.
Sejak kecil, sejak kelahiranku
mungkin, aku telah menggeser banyak tatapan hangat yang mulanya tertuju dan
terfokus hanya pada kau, berganti dan terbagi ke arahku. Bagianku lebih banyak
malah. Maafkan aku untuk yang sudah-sudah sejauh ini.
Rumah kita kembali seperti sedia
kala namun dengan nuansa berbeda. Rasanya juga berbeda. Ayah tak pernah
berfikir untuk menikah lagi. Pun kau Kak, tiga tahun berselang setelah Ibu kita
meninggal, setelah kau mengalihkan rasa kehilanganmu dengan bekerja apa saja,
kau akhirnya kuliah.
Sayangnya hanya sampai penghujung
semester dua. Hanya satu tahun. Saat itu aku lulus SMA, bertepatan dengan waktu
yang sama untukmu membayar biaya pendidikan. Urusan kuliah, Ayah bersikeras
membiayai penuh kau dan aku. Ayah bilang, hal itu merupakan kewajibannya dan
beliau tidak mau melepasnya sampai benar-benar tamat aku dan kau. Memiliki gelaran
di belakang nama.
Hanan Krisan, S.T. itu impianmu
yang aku kandaskan. Ibarat memasuki rumah hanya sampai pada halamannya, AHH.
“Katanya Rana ingin kuliah di
Jogja, Yah” Ujar Kau suatu hari.
“Iya Kris” Ayah menjawab singkat,
dahinya bergurat.
“Ayah, Kris sudah bisa bekerja
sendiri sejak lama”
“Lalu kenapa nak?”
“Rana lebih membutuhkan kuliah
daripada Kris, Kris bisa berhenti”
Ayah menggeleng pelan, mengusap
pelupuk matanya yang agak basah, kian hari pasti kian berat.
“Rana itu anak kecil,” Tambahmu, “anak
kecil seperti Rana butuh banyak teman untuk bersosialisasi. Kalau dia tidak
kuliah, pasti dia akan kesepian”
“Tidak hanya Rana, kamu juga harus
tuntas kuliah nak” Ayah menyergah.
“”Umur Kris sudah hampir dua tiga.
Krisan sudah dewasa. Biar Rana saja”
“Krisan”
“Krisan berhenti Yah!” Kau
menegaskan.
Cuek, itulah yang aku lakukan saat
mendengar percakapanmu dengan Ayah dari balik pintu kamar yang sedikit terkuak.
Aku belum peka waktu itu, aku masih egois. Hanya peduli pada diriku sendiri,
tak pernah memikirkan perasaanmu Kak. Memang aku ini benar-benar anak kecil,
tak lekas-lekas dewasa. Rupanya, Kak, pesan yang disampaikan Ibu dalam setiap
kalimatnya kau amalkan benar-benar. Jaga Rana, jaga Adikmu. Iya, kau
selalu mengsampingkan dirimu dan mengutarakan aku dalam niat-niatmu.
***
Kota gudeg, aku disana meski
sekalipun aku tak pernah mencicipi gudeg itu sendiri. Aku tidak suka nangka
muda, aneh saja mengetahui nangka direbus. Aku lebih suka nangka yang matang
sungguhan, warnanya kuning, tidak pucat seperti nangka muda yang memiliki nama
lain gori atau gari.
Suasana di kafe waktu itu riuh
dengan nada-nada cakap serta tawa renyah orang-orang. Aku amati bermacam-macam
ekspresi selain tawa, ada yang sendu, gulana, gembira sampai yang memasang
ekspresi ngeri. Semua ada malam itu, di kafe yang mana di dalamnya aku duduk di
atas kursi kayu, berpasangan dengan meja bertepian abstrak serta bertatapan
dengan seorang kawanku, perempuan yang bisa jadi menganggap aku ini adalah
lawannya.
“Tamu kok belum minum apa-apa,
Dek? Apa tidak haus?” Tanya mbak Mirna. Matanya menyipit, sudah sejak sebelum
aku datang dia sudah memesankan aku minuman, juga snack ringan. Apa namaya ya,
kalau tidak salah ice green coffe dia bilang.
“Nanti saja, belum haus mbak”
Singkatnya, mbak Mirna adalah
lebih tua kira-kira tiga tahun dari aku. Dia adalah kakak tingkat di fakultas
yang aku tempuh, Bang Hendra yang mengenalkannya padaku. Ah, ya, aku lupa
cerita soal yang satu ini Kak. Di kota istimewa, aku dekat dengan seorang
laki-laki, dia bernama Hendra, sosok yang aku panggil abang sebetulnya, pada
mulanya aku murni hanya menganggap dia sebagai abang. Blak-blakan dia mengakui
kalau dirinya suka, jatuh cinta pada aku di depan mbak Mirna sekitar tiga bulan
setelah kami berkenalan pada suatu acara di kampus. Seolah ada daya magis yang
menggerakkan langkah-langkah dan mata-mata kami untuk bertemu. Maka bertemulah
kami.
Mbak Mirna dan bang Hendra
bersahabat sudah sangat lama, sudah sejak SMA sampai saat itu kira-kira tujuh
tahunan lamanya. Dimana ada bang Hendra, kemungkinan besar ada pula mbak Mirna
disitu. Mereka hampir tiap malam nongkrong bareng, aku sedikitpun tidak cemburu,
sebab aku mengerti. Aku paham akan keadaannya, Kak.
“Gimana kabar Hendra dek?”
“Bukannya yang sering bareng sama
bang Hendra itu mbak Mirna ya, haha” Tawa renyah serenyah biskuit kalengan
mengalir dari bibir kami.
“Kamu pacarnya masa tidak tau sih
dek” Mbak Mirna setengah menggoda.
“Bang Hendra itu aneh ya mbak,
baru-baru ini bahas soal nikah masa”
“Lho kok cepet ya” Mata mbak Mirna
berkilat, seperti ada seberkas api disana, lantas ia memalingkan muka.
“Maka dari itu mbak, aku ini baru
sembilan belas. Rasanya aneh kalau diajak bicara soal itu, aku belum siap”
“Hmm...” Hening sejenak tak ada
kata terucap dari mbak Mirna, hanya dehemnya singkat. “Kamu minum dulu dek”
Disorongkannya gelas berisi cairan kehijauan beraroma kopi itu padaku. Entah,
orang dihadapanku ini selalu menyuruhku untuk minum sedari tadi.
“Mau tidak mau kamu harus siap
dengan apapun, dek. Jodoh, rejeki, m-a-u-t” Kata mbak Mirna lagi. Kata terakhir
seolah mengambang dari mulutnya. Dirinya sendiri pun ikut gamang sudah. Andai aku
mahasiswi psikologi, setidaknya aku sedikit banyak dapat membaca geraknya,
sayangnya bukan.
Glek.. gleekk..
Dua teguk aku meminum es kopi itu,
dingin jatuh ke dalam lambungku. Aneh rasanya.
“Jadi gimana mbak?” Aku menyambung
tanya sambil berurai senyum, akibat mengingat bang Hendra.
“kamu itu dek, tidak akan bisa
menikah dengan Hendra. Hendra punyaku!”
Petang itu lenyap, gelap mendadak.
Melayang aku terbang meninggalkan dada dan dudukku. Tenggorokanku, perutku,
hatiku rasanya terbakar.-----
-------
Keesokan hari di televisi muncul
berita begini ‘Seorang mahasiswi tewas diracuni sahabat kekasihnya lewat
segelas kopi’
Kak, waktu kunjunganku habis
sudah. Baik-baik ya Kak!
(tertulis di Pati, 6-7 Oktober 2016, diketik ulang pada 30 Desember 2016, Yogyakarta, Panggung Coffe)
0 komentar
Tersenyumlah!