Katanya Jovi, semua probabilitas
atau kemungkinan itu sama dengan satu.
“Misalnya, di depan ada
perempatan. Kita berpisah di situ, kamu ambil kiri dan aku ambil kanan. Kemungkinan
kita bertemu lagi sedikit-sedikitnya ya satu,” kata dia, ada 2 lipatan di
dahinya. Artinya dia sedang serius.
Aku dan Jovi mencoba untuk
berpisah, mengambil jalan yang berbeda dengan harapan akan bertemu lagi diujung
jalan. Entah ujung yang mana dan dengan jalan yang mana, aku tak paham. Sampai saat
ini, aku masih belum bertemu lagi dengan Jovi. Aku rindu.
Kami tidak saling berkirim pesan,
padahal sekarang adalah tahu 2019 dan kami berada di kota yang, ya tidak
pelosok-pelosok amat. Jogja itu kota yang modern kan? Ah ya, aku kadang tidak
sadar apakah aku sedang berada di Jogja atau di Sleman. Intinya Jogja, aku dan
Jovi berpisah di sini, bertemu juga di kota ini. Dua bulan silam.
Jovi, dengan gaun selutut yang
imut. Manis dan terlihat lembut sekali, bibirnya merah seperti selai stroberi
yang dioleskan pada roti. Rambutnya diterbangkan angina dan membelai-belai wajahnya
yang halus. Waktu itu, ketika aku pertama kali melihat Jovi di bawah beringin
kembar, sepertinya aku belum suka padanya. Aku baru kagum saja, dadaku belum
membara dan belum deg-degan seperti saat aku harus berpisah di perempatan jalan
dengan dia. Benar memang, untuk tau arti seseorang, berpisah itu perlu.