Ada yang mengganjal, namun tak
tahu dia apa. Perasaan segan pada kehidupan tiap kali membuka mata dan
merasakan udara mengalir melalui hidung, melewati tenggorokan lalu jatuh entah
ke mana. Ke mana memang? Tentu saja ke paru-paru. Bukan, udara yang dia hirup
jatuh pada bagian yang lebih dalam, terlalu dalam dan gelap untuk dia jangkau. Pemandangan
entah apa yang ia lihat, sehingga seringkali enggan ia untuk membuka mata. Harusnya
aku tidur dan tidak bangun lagi, begitu batinnya berbicara. Apa yang ia
lihat di pagi hari memang? Langit-langit, dinding, jendela, pintu, buku-buku,
apa? Lebih dari itu, ia melihat langit malam yang dipenuhi bintang dalam satu
pandangan. Lenyap sudah ketika ia berkedip, pada kedipan selanjutnya yang ada
hanya dunia kasar. Bagaimana cara agar bintang-bintang dan malam itu tidak
hilang? Jangan berkedip sudah. Pedih, konyol sekali! Tidak usah bangun. Apa pula,
tubuh dia otomatis, seperti tarikan nafas yang keluar masuk paru tanpa permisi,
matahari dan bulan yang silih berganti. Tau tidak, taulah pasti kalau hidup ini
serba otomatis. Ada semacam roda bergerigi yang saling saut menyaut dan
berputar, seperti tamiya. Kalau begitu, lalu dinamonya dimana?
Siksa apa yang paling sakit di
dunia? Kandisa bertanya-tanya dalam hati, entah pertanyaan itu datang dari
mana. Ia lalu menjawab tanya itu sendiri, siksa itu kadarnya berbeda-beda,
sengsara pun begitu. Mau contoh, segala contoh sudah ada di dalam kepala
Kandisa, tanya saja pada dia. Kandisa tersiksa, mengapa? Karena perasaan
mengambang yang ia rasa tiap kali membuka mata di pagi hari.
Kandisa bimbang dan tersiksa
dengan kesendirian. Bukan ia tak punya kawan, laki-laki yang suka dengan
Kandisa banyak pula. Kalau semua dijejerkan, tinggal pilih saja dia mau yang
mana. Yang tampan, yang kaya, yang tampan dan yang kaya atau yang apa? Sayangnya,
satu pun di antara yang ada, tiada yang dia suka. Kasihan yang suka dia,
bertepuk sebelah kaki, berjalan sendiri, pincang.
Ada lagi yang menambah siksa dan
kebingungan dalam dirinya