Bencong Falling Love - Nanna Novita

1/13/2013 07:45:00 AM

-->

“eke, tak mau jikalau eke dimadu…” nyanyian Ben yang terdengar sember diiringi gitar karet temannya.
“bencong! Udah gue bilang jangan kesini, masih aja kesini, naksir gue lho pada?” omel pak RT sang pemilik rumah.
Di pagi yang cerah itu, Benita dan Sagita sedang mengamen di depan rumah pak RT. Setiap pagi mereka selalu datang kesana, meskipun pak RT sampai dibuat kesal oleh mereka, namun tetap saja, Ben dan Gita tak ada kapok-kapoknya.
“nih” pak RT menyodorkan uang ‘lima ratus’ perak. “pergi sana, jangan balik lagi” tambah pak RT.
Ben dan temannya ternganga sesaat melihat uang lima ratus perak itu, setelah itu mereka bernyanyi lagi.
“eke tak mau, kalau Cuma lima ratus”
Menyebalkan bukan? Diberi hati malah minta jantung. pak RT terpancing emosi, darahnya yang tadi berada di titik nol, mendadak naik ke titik seratus tujuh puluh. Pak RT kesal, diambilnya ember berisi air bekas cucian istrinya dari dalam rumah, kemudian diguyurkannya kearah Ben dan Gita. Untungnya Ben dan temannya yang cerdik sempat menghindari layangan air pak RT. Dan kebetulan, istri pak RT baru pulang dari pasar. Alhasil, istri pak RT-lah yang terkena guyuran air itu. Dimarahi deh, pak RT oleh istrinya.
“asik pak RT” teriak Ben dengan suara lakinya.
Ben adalah seorang banci atau dapat dikatakan juga bencong. Nama aslinya Beno Susanto, tapi digantinya menjadi Benita.  Hasrat untuk menjadi seorang bencong tiba-tiba saja muncul di benak Ben. Tekanan ekonomi ditambah Ben yang tak kunjung mendapat pekerjaan adalah salah satu alasannya. Tentu saja di kota metropolitan Jakarta, Ben sulit mendapat pekerjaan dengan berbekal ijazah SMP yang dimilikinya.
Sebenarnya, ibu Ben di kampung sudah tahu kalau anaknya jauh-jauh merantau ke Jakarta hanya menjadi seorang banci. Ibu Ben syok berat dan kecewa. Tapi mau bagaimana lagi, ibu Ben tak mampu untuk membiayayi kepulangan Ben. Dan lagi pula, akan menjadi apa Ben dikampung terpencilnya. Ibu Ben selalu menasihati Ben untuk mencari pekerjaan yang benar, berharap anaknya berhenti menjadi bencong. Nasihat dari A sampai Z, dari yang terhalus sampai yang terkasar. Semuanya tidak mempan untuk menembus kekakuan telinga Ben. Ben selalu berdalih, bahwa dia menjadi banci untuk menghidupi diri sendiri di tengah dunia yang semakin kejam. Apa itu masuk akal?
***
“tarrik mang, digoyang lagi. Stop kau mencuri hatiku.. hatiku.. stop kau mencuri hatiku..”
Malam itu, malam minggu. Ben dan kawan-kawannya sesama bencong, Sagita alias Gito, Dinda alias Doni, Indarto alias Indes, dan Pretty alias Paijo. Mereka sedang bernyanyi dan bergoyang di daerah taman lawang, diiringi dengan alunan music dangdut dari tape mini compo yang selalu dibawa Pretty kemana-mana.
Walaupun aslinya mereka adalah laki-laki jadi-jadian, tapi goyangan mereka itu, tak kalah dengan goyangan wanita sesungguhnya, lebih heboh malah. Ben dan kawan-kawannya bisa sampai gulung-gulung sambil garuk-garuk aspal. Suasana di pinggir jalan saat itu ramai dengan para bencong lainnya dan orang-orang yang datang entah dari mana.
Lagi seru-serunya nyanyi sambil goyang, tiba-tiba datang trantib, datangnya tanpa permisi lagi. Semua orang berhamburan, tak terkecuali para banci termasuk Ben. Ada yang memanjat pohon, loncat semak-semak, sampai masuk got segala. Kalu Ben dan Gito sih lari sekencang-kencangnya menjauhi trantib tanpa arah tujuan. Sampai akhirnya, Ben melihat melihat sebuah truck parker di depan matanya. Ben pun berinisiatif untuk bersembunyi dalam bak truck itu, semetara dua petugas trantib masih terus mengejar mereka.
“gila, banci kok cepet banget larinya, kalau ikut marathon menang tuh” kata salah seorang petugas trantib di sela-sela pengejarannya. Dia mulai kelelahan.
“iya, menang. Asal di belakangnya ada trantib galak yang ngejar-ngejar. Hehe..” tanggap petugas trantib yang satunya sambil terkekeh.
Lama dalam bak truck, sepertinya para trantib itu sudah pergi pikir Ben. Ben dan Gito pun keluar dengan jalan melompat dari bak truck itu. Karena kurang hati-hati, high heels Ben yang setinggi enam cm patah sebelah, wig-nya pun copot, terus ke-injek-injek.
Memang sial Ben malam itu, padahal heels yang ia pakai adalah hasil meminjam, heels itu  milik Pretty. Harusnya sih, Ben mengganti rugi pada Pretty. Tapi, sebisa mungkin Ben akan mengelak kalau Pretty bertanya tentang heels yang dipinjamnya.
***
Ben ternganga saat ia menabrak seseorang, yang ia tabrak adalah seorang perempuan berjilbab yang  sangat cantik. Jadi, di malam berikutnya Ben kembali di kejar trantib. Ia dan semua kawannya kocar-kacir kesana kemari, dan Ben terpisah dari kawanannya
“ehh.. ma’af mbak” kata perempuan itu.
“eke yang salah kok cyin, eke yang lari-lari ciyus nubruk situ” kata Ben canggung.
Ben teringat kembali bahwa ia sedang dikejar trantib, Ben kebingungan. Suara derap langkah para trantib terdengar semakin dekat.
“cyin, tolongin eke dong. Eke dikejar trantib nih” kata Ben memelas.
“mbak pakai saja mukenah saya ini. Pura-puranya mbak baru pulang dari masjid sama saya”
Ben segera memakai mukenah dari perempuan itu. Dan benar trantib yang ada di belakang Ben tidak menyadari keberadaan Ben, mereka hanya berlalu begitu saja tanpa sedikitpun melihat kearah Ben.
“makasih ya cyin, dah nolongin eke” kata Ben malu-malu.
“iya sama-sama. Kita ‘kan harus saling tolong-menolong” tanggap perempuan itu.
“eke Benita, nama cyin siapa?”
“saya Aila. Saya anaknya yang punya warung dekat bengkel”
“ooh, anaknya mbok Minten, kok beda banget sih cyin, situ singset mbok minten gembrot”
Malam itu, Aila dan Ben berpisah di jalan. Belum pernah Ben merasakan jatuh cinta pada wanita semenjak ia menjadi banci, dan sepertinya rasa cinta itu tumbuh pada Aila. Perempuan berjilbab yang baru saja menyelamatkannya.
Semenjak hari itu, siang malam Ben terbayang-bayang oleh Aila. Suaranya, aroma parfum yang menempel di mukenahnya, wajahnya, semua itu tak dapat dilupakan oleh Ben. Tapi selalu saja di ujungnya Aila malah berubah menjadi ibu Ben. Ben jadi teringat pertanyaan ibunya, pertanyaan yang selalu mengganggu pikirannya.
“kapan Lu tobat jadi banci, Ben?”
Ben ingin berhenti jadi bencong, dia yakin kalau ia berhenti jadi banci ia bisa mendapatkan Aila, Ben begitu percaya diri dengan perasaannya. Namun, apakah kawan-kawan Banci Ben akan mendukung dan memperbolehkan Ben kembali menjadi Ben yang sesungguhnya?? Ben pun tidak peduli mereka memperbolehkan atau tidak, ini keyakinannya sendiri. Ben akan tetap menjadi banci kalau saja kebancian itu membuatnya menjadi kaya mendadak dan tujuh puluh turunan tak habis-habis, apa mungkin bisa seperti itu? Lagi pula menjadi banci tak selalu menyenangkan, kadang di hina-hina dan dianggap sebagai sampah masyarakat. Padahal banci ‘kan juga manusia.
“serius Ben? Lu mau stop jadi banci?” Tanya Gito benar-benar ingin tahu.
“e’em..” Ben mengangguk kemayu, “gue capek, selain itu, gue kemarin ketemu prewong1 cakep banget”
“duh, apel makan apel dong. Sapose sih prewongnya?”
“bukan dong, gue ‘kan mau kembali jadi jeruk lagi. Itu tuh, anak gadisnya mbok Minten. Kemarin malam waktu gue dikejar trantib dia yang nolongin. Pokoknya dia so sweet deh” Ben bercerita.
“Aila yang berjilbab itu ya?” tanya Gito kaget, “Benita, eke dukung Lu jadi jeruk. Dan Lu harus kejar cinta Lu”
Seharian itu Ben melatih sifat laki-lakinya untuk menghapuskan sikap ke-perempuan-nan-nya. Pertama-tama ia melatih suaranya, ia berdehem-dehem, dan bergaya bicara ala tentara yang gagah, karena Ben tak terbiasa, ia malah merasa suara lakinya aneh. Kedua, ia melatih cara berjalannya. Cara berjalan Ben yang kekiri kekanan memang sangat kemayu, dan ketika ia merubah cara berjalan dengan membuka kakinya, tetap saja ia tak bisa sepenuhnya menghapuskan gaya berjalan yang kekiri kekanan itu. Tapi Ben terus berusaha. Ketiga, penampilan. Aslinya garis wajah Ben adalah garis wajah yang penurut, di dandani ala perempuan cantik dan kalau di ala-alakan laki-laki juga lumayan tampan. Ben merubah mimik wajahnya, supaya terlihat jantan. Rambut Ben yang diwarnai pirang kini dihitamkannya kembali. Dan yang terakhir, gaya bicara serta bahasa tubuhnya. Selama ini Ben ‘kan lebih sering menggunakan bahasa alay dari pada bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa tubuhnya pun terbiasa kemayu. Wahh.. pokoknya seharian itu Ben heboh dengan dirinya sendiri, Gito sampai pusing melihatnya. Ternyata sehari tak cukup bagi Ben untuk merubah diri, butuh berhari-hari untuknya agar bisa memelencengkan diri sejauh-jauhnya dari sosok Benita. Dihari ke enam belas, Ben rasa dia sudah cukup berlatih untuk berubah.
Setelah hari ke-enam belas itu berlalu, di hari berikutnya Ben bermaksud untuk mencari pekerjaan di bengkel di samping warung Aila. Tentu saja tak ada satu orang pun yang mengenali penampilan barunya sebagai Beno Susanto, wajah lakinya sangat berbeda dengan wajah perempuannya.
“ma’af, ngga ada lowongan pekerjaan” tolak Bang Rino sang pemilik pada Ben.
“tolonglah, bang. Kasih saya pekerjaan. Jadi tukang cuci motor dan mobil juga tidak apa-apa!” Ben memohon dengan sangat. Lidahnya masih merasa asing dengan bahasa yang ia gunakan.
“OK deh. Gue terima Lu jadi tukang cuci. Tapi selain itu, setiap hari Lu juga harus ngambil makan siang gue di warung sebelah!” kata bang Rino.
“siap bang. saya mau kerja apa saja”
Yeah, akhirnya Ben mendapat pekerjaan, meski hanya sebagai tukang cuci motor dan mobil. Awalnya bang Rino sang pemilik bengkel tidak menerima Ben, namun dengan sedikit memelas dan memohon, Ben pun berhasil.
Ben sangat menikmati pekerjaan barunya, ketimbang menjadi banci. Lokasi kerjanya pun tak jauh dari Aila tinggal. Ia jadi semakin suka dan menggebu untuk menyatakan perasaannya pada Aila. Tapi Ben takut, malu, gugup, kalau-kalau nanti Aila menolaknya. Hampir setiap siang Ben selalu datang ke warung Aila untuk mengambil makan siang bang Rino. Ya, hanya makan siang bang Rino, Ben tidak mendapat jatah makanan. Entah mengapa mbok minten hanya menyiapkan satu porsi untuk bang Rino. Untungnya bang Rino baik, jadi ia selalu membagi makan siangnya dengan Ben.
“bang, kok mbok minten nyiapin makan siang gratis buat abang sih? Saya ngga disiapin” Tanya Ben suatu waktu.
“ya, itu karena gue special dimata mbok Minten kali” jawab bang Rino.
“special gimana bang?”
“ya special deh, gue kan nantinya bakal serumah sama mbok Minten”
Tidak setiap hari Ben bertemu Aila ketika diwarung, seringnya Ben bertemu mbok Minten yang judes. Tapi ketika bertemu Aila, Ben selalu mengobrol banyak dengannya. Ia tak menyia-nyiakan sedikitpun kesempatn untuk mendekatkan diri dengan Aila.
Sampai suatu hari, ketika Ben mengambil makan siang di warung mbok Minten. Di sana ada Aila juga bang Rino. Ben heran dan terbakar cemburu melihat bang Rino begitu akrab dan dekat dengan Aila. Ben hanya diam dan masih dengan hati yang keriting dengan lahapnya memakan makanan yang dipesannya dari mbok Minten.
“bang, kayanya bang Rino duduknya kedeketan deh sama Aila!” Ben memberanikan diri bicara.
“kalo kedeketan kenapa? Gue sama Aila sebentar lagi ‘kan mau nikah, jadi sah dong” jawab bang Rino.
Apa, sebentar lagi mau menikah? Ben kaget mendengarnya, sepuluh detik otak dan hatinya membeku sehingga ia terdiam bagaikan patung. Ben tak dapat mempercayai hal itu.
“lha emang iya, La? Bang Rino ini calon suami kamu?” Tanya Ben tak percaya.
“iya, Ben. Bang Rino ini calon suami saya” jawab Aila tersipu malu.
“kok kamu ngga pernah cerita? Bang Rino juga?”
“lha kamu ngga pernah Tanya kok” kata Aila.
“iya, Lu ‘kan ngga pernah Tanya soal ini ke gue, Ben.” Kata bang Rino.
Ben kecewa, sakit hati, sedih, pilu, merana. Semalaman ia menangis sesunggukan seperti anak perawan yang akan di jodohkan. Yang ia inginkan ternyata sudah diambil orang. Pergolakannya kini sia-sia, padahal Aila-lah alasan utamanya untuk mengubah diri. Tapi, apa dikata? Ben terlanjur menikmati dirinya sebagai Beno susanto, dan ia terlanjur menikmati pekerjannya.
Tentang status lamanya menjadi Benita, Ben menguburnya dalam-dalam dan tak berusaha tak mengingatnya, seolah-olah Benita tak pernah ada. Ben juga berusaha melupakan Aila dan menganggapnya sebagai teman biasa, Ben kini sedang mencari cinta barunya.
Sebenarnya naskah ini sudah berumur lebih dari setahun, dan pernah dikirimkan ke majalah story pada bulan Oktober 2011, waktu itu naskah ini masih  sangat amburadul sekali (haha, kalimat tak efektif), dan sampai sekarang tidak ada tanggapan mengenai naskah ini.



You Might Also Like

0 komentar

Tersenyumlah!

Popular Posts