“Apakah aku berpotensi mati muda?”
Pertanyaan terakhirku.
LALU HENING … yang
selanjutnya mata peramal itu mencari-cari mataku dan ia pun mendapatkannya.
Mata yang tajam, hidung yang tajam dan ramping pula, dagunya juga. Jelita. Ini
kali kedua aku dibaca masa depannya oleh peramal kartu tarot. Pertama dulu
sekali saking isengnya aku, sekitar tahun 2017 kalau tidak salah. Sore itu adalah tahun yang berbeda, kebetulan
seorang teman mengajakku datang ke pameran lukisan, ada stand ramal-meramal
gratisan disana. Kalau ditakar, sungguh keisengenku hanya 30% di kali kedua itu.
Bukan kesenangan
atau pencerahan yang aku dapat, aku justru makin gelisah. Ditambah air hujan
yang menghujam-hujam tubuhku menuju pulang, mataku yang basah jadi semakin
basah. Aku tidak mengerti perasaan apa ini, perasaan yang aku dapat dari hasil
merenung-renungkan perkataan sang peramal. Golak dan kecamuk yang
sungguh-sungguh aku hindari dan berhasil aku jauhi selama sebulan ini. Sayang,
ia kambuh lagi.
“Pertama aku
bukan Tuhan, aku tidak punya kuasa untuk menjawab pertanyaan seputar kematian”
Peramal itu membuka omongan, “Aku keluar dari gedung ini pun, kalau waktuku
sudah habis, maka aku akan mati. Semua orang berpotensi lho”