Pertanyaan Terakhir

12/15/2019 12:08:00 PM


“Apakah aku berpotensi mati muda?” Pertanyaan terakhirku.

LALU HENING … yang selanjutnya mata peramal itu mencari-cari mataku dan ia pun mendapatkannya. Mata yang tajam, hidung yang tajam dan ramping pula, dagunya juga. Jelita. Ini kali kedua aku dibaca masa depannya oleh peramal kartu tarot. Pertama dulu sekali saking isengnya aku, sekitar tahun 2017 kalau tidak salah. Sore itu adalah tahun yang berbeda, kebetulan seorang teman mengajakku datang ke pameran lukisan, ada stand ramal-meramal gratisan disana. Kalau ditakar, sungguh keisengenku hanya 30% di kali kedua itu.

Bukan kesenangan atau pencerahan yang aku dapat, aku justru makin gelisah. Ditambah air hujan yang menghujam-hujam tubuhku menuju pulang, mataku yang basah jadi semakin basah. Aku tidak mengerti perasaan apa ini, perasaan yang aku dapat dari hasil merenung-renungkan perkataan sang peramal. Golak dan kecamuk yang sungguh-sungguh aku hindari dan berhasil aku jauhi selama sebulan ini. Sayang, ia kambuh lagi.

“Pertama aku bukan Tuhan, aku tidak punya kuasa untuk menjawab pertanyaan seputar kematian” Peramal itu membuka omongan, “Aku keluar dari gedung ini pun, kalau waktuku sudah habis, maka aku akan mati. Semua orang berpotensi lho”

Aku hanya bisa tersenyum, aku pikir-pikir benar juga. Memang benar, karena kata Jovi pun setengah adalah nilai terkecil dari segala kemungkinan yang ada di dunia ini. Mungkin saja kita bertemu lagi, atau mungkin kita tidak akan bertemu lagi. Mungkin saja kita bertemu tapi tidak saling tau, mungkin saja aku adalah katak yang menunggu di bawah mendung dan kamu adalah kucing yang tertidur di pangkuan nenek. Mungkin dan mungkin mungkin yang lain, kemungkinan terkecil adalah setengah.


“Lalu apakah potensiku mati muda cukup besar?” Aku masih ngeyel ingin tau. Tuhan dan malaikat Izroil dari jarak paling dekat di atas sana pasti tertawa-tawa mendengar pertanyaan ini. Jarak yang bahkan lebih dekat dibandingkan jarakku dengan sang peramal yang hanya dipisahkan meja kecil dan ruang untuk saling memandang. Sang peramal kemudian membalikkan sebuah kartu dariku, kartu yang aku Tarik dengan dorongan energi dari alam semesta.

“Ana kenapa bertanya seperti itu? Bolehkah aku tau?”

“Aku mungkin akan lebih menikmati hidup jika aku tau kalau aku akan mati muda”

“Memangnya kalau mati di usia tua kamu tidak bisa menikmati hidup?”

“Bisa, maksudku jika aku tau seberapa tenggat waktu yang aku miliki, aku bisa lebih memaksimalkan hal-hal yang aku miliki untuk berbahagia”

BAHAGIA, adalah kata kunci dari pertanyaanku. 
Aku baru menyadarinya setelah aku meninggalkan gedung pameran tersebut. Bukankah hidup ini harus bahagia agar bisa terasa Hidup? Hidup dengan ‘H’ besar yang menegaskan makna sesungguhnya dibalik hanya kata. Kalau sekedar kata-kata, aku bisa membuatnya sendiri. Tapi soal makna, itu beda lagi.

Aku ingat aku pernah berbincang dengan seseorang, seseorang yang memiliki mata seram, sama seperti lidahku yang seram. Apa yang dipandang buruk oleh matanya akan terbakar dan menghilang, lalu tidak terdengar lagi kabarnya. Maksudku, tidak hanya bahagia saja. Bahagia dan duka harus sama-sama kamu rasakan agar proses belajar itu tidak berhenti, kalau berhenti berarti mati, kalau mati tidak ada kehidupan, kalau tidak ada kehidupan, tidak ada rasa. Ana, apa yang kamu rasakan sekarang adalah karena kamu hidup. Katanya padaku ketika aku datang dengan mata redup akibat perpisahan.

Ingatan kemudian meloncat pada kakekku yang sudah tenang di alam kubur. Rasanya masih sangat kecil sekali untuk mengerti setiap petuah yang keluar dari mulutnya, dulu. Isen-isening urip kui bungah lan susah, ojo gumunan, lakonono kanti ikhlas sekabihane. Suwargo lan neroko kui karma pala, dudu urusan menungso. Eling, awakmu mung menungso (Isi-isi kehidupan ini adalah senang dan susah, jangan kagetan, lakukan semua hal dengan ikhlas. Surga dan neraka itu balasan yang bukan urusan manusia. Ingatlah kalau kamu hanya manusia). Terlalu renta untuk didengar dan terlalu tua untuk disepelekan. Andai aku punya pemahaman yang lebih matang sedari kecil, aku akan meminta kakekku untuk berbicara dan bercerita terus kepadaku, lebih banyak dan lebih banyak. Di pagi hari setelah aku mandi, di siang hari sebelum aku tidur dan sehabis maghrib usai aku mengaji. Sayangnya, aku tidak mungkin menggali kubur kakekku untuk membangunkan tidur damainya bukan? Ah, sial.

“Sebelum kamu memikirkan kematian, cobalah untuk percaya terhadap orang lain,” Peramal itu membalikkan kartu yang aku pilih. Senyum halus menyembunyikan sesuatu yang sudah terbaca olehku.

Terlihat gambar bulan berwarna merah jambu di tengah malam yang gelap, langitnya berwarna ungu. Di kartu itu tertulis ‘A new romance will begins’. Aku tidak tau sambungannya dengan pertanyaanku apa, kalau disambungkan dengan pertanyaanku sebelumnya soal asmara, mungkin maksudnya aku akan segera punya pacar baru. Tidak, yang aku mau, aku hanya ingin tau apakah aku punya potensi besar untuk mati muda atau tidak.

“Dan cobalah untuk lebih peduli terhadap dirimu sendiri, sadarilah bahwa kamu berharga,”
Apakah aku sebegitu tidak pedulinya dengan diriku? Dan jiwaku? Sepanjang jalan pulang aku juga bertanya-tanya hal itu kepada diriku sendiri.

“Tidak semua mahluk ingin melukai dan menghancurkanmu. Banyak manusia yang sayang dan peduli dengan kamu, Ana. Kamu beda, cobalah percaya kepada manusia”

“Ketika aku percaya pada manusia, aku hanya takut akan menyusahkan dan memberatkan mereka. Aku tidak mau seperti itu, aku tidak terbiasa membuat orang lain berat jika itu tentang aku” Ujarku.

“Jika kamu benar-benar butuh bantuan dan kamu tidak mau minta tolong, maka itu akan menyusahkanmu. Sangat menyusahkanmu”

Kepalaku HENING sesaat, aku butuh beberapa detik yang terasa amat panjang untuk mencerna jawaban sang peramal. Senyumnya mengingatkanku pada hantu, menakutkan sekaligus menggelikan. Padahal aku tau di balik senyum hangat itu, ada sesuatu yang dalam-dalam mengetuk dadaku tepat di tengah-tengah. Wangi cendana membangunkanku dari keheningan, sang peramal membakar dupa dan meletakkannya di pojok ruangan sebelum membacakan kartu-kartu di hadapanku.

“Aku hanya ingin tau apakah seberapa besar kemungkinan aku bisa mati muda, tidak bisakah itu terjawab”

“Kartu ini tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Alam semesta tidak mengizinkan rahasianya soal itu diketahui olehmu,” Sang peramal memalingkan muka, “Yang bisa kamu lakukan adalah menerima.”

MENERIMA. Memang pada nyatanya banyak hal-hal yang cukup diterima saja, tidak perlu diketahui jawabannya sekarang. Atau bahkan tidak perlu dipertanyakan, cukup DITERIMA. Wangi cendana kembali menyapa, kali ini ia datang dengan sengat yang terasa seperti listrik kecil mengaliri seluruh tubuhku. Aku merasa seperti air kolam di tengah hutan yang dilempari kerikil oleh anak-anak kecil. Asing, mengapa bisa anak-anak kecil berada di tengah hutan tanpa orang tua mereka? Apakah mereka sedang tersesat? Atau kolam ini yang salah tempat?

Ku putuskan pulang, aku tidak mendapat jawaban ‘Iya atau Tidak’ seperti yang aku harapkan.

“Terima kasih, Mbak.” Aku sempatkan jabat tangan sebagai penghormatan, “ngomong-ngomong, wangi dupanya enak, cendana, manis”

“Oh padahal itu Melati”

Sang peramal kemudian mencari-cari mataku, jabatnya yang hangat, terlalu hangat.

Yogyakarta, 15 Desember 2019

You Might Also Like

0 komentar

Tersenyumlah!

Popular Posts