Kandisa #1

4/07/2018 11:11:00 AM



Ada yang mengganjal, namun tak tahu dia apa. Perasaan segan pada kehidupan tiap kali membuka mata dan merasakan udara mengalir melalui hidung, melewati tenggorokan lalu jatuh entah ke mana. Ke mana memang? Tentu saja ke paru-paru. Bukan, udara yang dia hirup jatuh pada bagian yang lebih dalam, terlalu dalam dan gelap untuk dia jangkau. Pemandangan entah apa yang ia lihat, sehingga seringkali enggan ia untuk membuka mata. Harusnya aku tidur dan tidak bangun lagi, begitu batinnya berbicara. Apa yang ia lihat di pagi hari memang? Langit-langit, dinding, jendela, pintu, buku-buku, apa? Lebih dari itu, ia melihat langit malam yang dipenuhi bintang dalam satu pandangan. Lenyap sudah ketika ia berkedip, pada kedipan selanjutnya yang ada hanya dunia kasar. Bagaimana cara agar bintang-bintang dan malam itu tidak hilang? Jangan berkedip sudah. Pedih, konyol sekali! Tidak usah bangun. Apa pula, tubuh dia otomatis, seperti tarikan nafas yang keluar masuk paru tanpa permisi, matahari dan bulan yang silih berganti. Tau tidak, taulah pasti kalau hidup ini serba otomatis. Ada semacam roda bergerigi yang saling saut menyaut dan berputar, seperti tamiya. Kalau begitu, lalu dinamonya dimana?
Siksa apa yang paling sakit di dunia? Kandisa bertanya-tanya dalam hati, entah pertanyaan itu datang dari mana. Ia lalu menjawab tanya itu sendiri, siksa itu kadarnya berbeda-beda, sengsara pun begitu. Mau contoh, segala contoh sudah ada di dalam kepala Kandisa, tanya saja pada dia. Kandisa tersiksa, mengapa? Karena perasaan mengambang yang ia rasa tiap kali membuka mata di pagi hari.  
Kandisa bimbang dan tersiksa dengan kesendirian. Bukan ia tak punya kawan, laki-laki yang suka dengan Kandisa banyak pula. Kalau semua dijejerkan, tinggal pilih saja dia mau yang mana. Yang tampan, yang kaya, yang tampan dan yang kaya atau yang apa? Sayangnya, satu pun di antara yang ada, tiada yang dia suka. Kasihan yang suka dia, bertepuk sebelah kaki, berjalan sendiri, pincang.
Ada lagi yang menambah siksa dan kebingungan dalam dirinya

“Kamu tidak ingat aku Kandisa?” Tanya seorang laki-laki yang telah membantu Kandisa mengeuarkan motornya yang terapit kendaraan lain depan-belakang-kanan-kiri. Sebelumnya bertanya seperti itu, tentu saja seperti manusia normal lainnya ada kalimat sapa dan sebagainya.
Kandisa diam ketika ia memandang sekilas wajah laki-laki tersebut, tidak asing namun asing. Rasa-rasanya baru bertemu pertama kali namun seolah macam kawan lama.
“Ah siapa ya?”
“Belum ingat rupanya”
Apa dia abang bakso, abang gojek, tukang pos, kasir supermarket atau siapa ya? Kandisa jadi bingung. Pernah menaruh handphone di bawah bantal ketika tidur? Ada pesan atau telefon masuk yang akhirnya membuat handphone itu bergetar. Getarannya merambat ke telinga dan kulit, begitu rasanya.
“Jangan tidur terlalu sore, supaya kamu segera ingat aku ya!” Tersenyum dia, laki-laki itu. “Sampai jumpa lagi” Katanya.
Pertemuan macam apa itu, tidak jelas arahnya, itu beberapa hari yang lalu.
Seminggu lagi kalau rasa penasaran yang menyiksa tersebut tak kunjung sembuh, bisa-bisa Kandisa kejang-kejang. Sebisa mungkin, Kandisa tetap ceria, biarlah hanya pagi yang mengetahui ketersiksaannya akibat sesuatu yang rasanya entah itu. Dadanya seperti punya ingatan sendiri, dan otaknya merasa tidak memiliki ingatan atau keterkaitan dengan laki-laki dan perkataannya itu.
Kenapa manusia harus berpatokan dengan rasa. Bukannya otak itu ada, otak digunakan untuk berpikir dan menimbang-nimbang segala sesuatu secara logis. Rasa itu tidak logis, rasa adalah korban dari sang perasaan yang tidak mau menimbang-nimbang. Kalau sudah ada rasa pada orang misalnya, apa juga akan dibuat. Itulah kenapa ada pengorbanan, otak apa mau berkorban? Otak lebih sering mengorbankan, kiranya begitu.
Belakangan Kandisa jadi susah tidur, biasanya jam 10 jam 11 sudah tidur. Entah mengapa, kesini-kesini jam 2 jam 3 baru tidur, terbangun karena suara adzan, setelah itu tidur lagi dan bangun lagi setelah kurang dari 1 jam. Matanya jadi gelap, bagian bawahnya, kalau bagian itu dinamakan kantong, berarti bagian itu menyimpan sesuatu. Iya sesuatu, sesuatu apakah itu? Ialah misteri yang harus Kandisa pecahkan. Namun selain daripada kulit bawah matanya yang menghitam dan kepalanya yang pusing berputar-putar, tak ada hal lain yang terjadi pada tubuhnya. Tetap sintal, tetap sehat, tetap lahap makan, tetap segar, tetap Kandisa.
Ditunggu-tunggu, tidak ketemu-ketemu. Kandis menunggu bertemu laki-laki misterius (dan tampan) tempo hari rupanya. Seminggu, seminggu setengah, tidak juga ketemu. Ah sudahlah, kata Kandisa. Kandisa harus tetap menjalani kehidupannya dengan atau tanpa memikirkannya. Suatu ketika, rasa-rasa seperti tertusuk jarum menghampiri kepala Kandisa, depan-belakang-kanan-kiri. Perih rasanya, Kandisa pikir itu adalah akibat dari kurang tidur yang ia alami belakangan ini. Kandisa lalu mencoba tidur, meski kata orang Jawa kalau tidur sore-sore nanti bangun bisa jadi gila, katanya. Tapi, ketika kantuk sudah melanda, puyeng dan sebagainya dan lainnya, mau apa coba. Tidur.

***

Berjalan-jalan di halaman rumah yang dipenuhi pot-pot bunga, Kandisa melihat kaca besar di hadapannya, kaca itu bening sekali. Lebih bening dari kamera 360 yang dapat menyamarkan pori-pori. Lewat kaca itu, Kandisa seperti bisa membaca dirinya sendiri. Cantik betul aku rupanya ya, Kandisa tersenyum akibat kata-kata yang tak sengaja ia ucapkan itu. Bukan sebab terlalu percaya diri, namun Kandisa memang jelita.
Lewat kaca, Kandisa merasakan kehadiran laki-laki yang dulu ia jumpa di parkiran ketika ia kesulitan mengeluarkan kendaraannya yang dalam posisi sulit. Matanya adalah mata Kandisa sendiri, mulutnya adalah mulut Kandisa juga. Telinga, tangan, hidung, tenggorokan, semua yang ada pada Kandisa adalah laki-laki itu juga. Hening, Kandisa tak bergeming di depan kaca. Perasaannya lega, ia bisa merasakan paru-parunya dipenuhi udara. Udara memang jatuhnya ke paru, lubang dalam yang gelap itu terang sudah. Langit tiba-tiba dipenuhi bintang, berubah gelap memang namun terang. Ada hujan serbuk emas, bunyinya seperti ketika menuangkan gula ke dalam teh. Seserbukan itu jatuh di kepala Kandisa, di pundak, di wajah, di Kandisa lalu ke tanah tempat kaki Kandisa berdiri. Takjub dia.
Kandisa membuka mata, ia berada di bawah bintang-bintang malam lagi. Beda, kedipnya tak menghilangkan semua. Mimpi Rupanya dia.

Bersumbang...

Kamu nggak paham? sama!

You Might Also Like

1 komentar

Tersenyumlah!

Popular Posts