Si Uka

7/13/2017 10:42:00 AM

Ada sebuah cerita, seorang anak yang sekarang dia sudah remaja. Ketika tulisan ini ada, umurnya menginjak 19 tahun 4 bulan lebih sedikit. Dari kecil seringkali dia diam di pojokan, bisa di pojokan ruang tamu, pojokan kamar, pojokan kasur, pojokan dapur, pojokan sekolah juga sering. ‘Pojokan’ seolah menjadi tempat yang nyaman dan asyik baginya, bagian paling baik dari sebuah pojokan menurut anak tersebut adalah, pojokan terasa aman dan hangat. Walaupun ya, tidak sekali dua kali sebuah pojokan malah menakuti dia, suka tiba-tiba muncul jin tomang, atau mendadak ada kuntilanak alay yang mencolek-colek dia. Mungkin benar kata orang tua, hantu menyukai pojokan ruang.
Tau tidak, anak ini dari kecil bahkan sebelum masuk SD, tidak pernah suka memakai rok. Bapaknya dia sampai jengkel, masa anak perempuannya tidak kelihatan perempuan sama sekali sih. Sebab apa si anak ini tidak suka memakai rok? Sebab, dia adalah perempuan satu-satunya diantara saudaranya yang kesemuanya laki-laki. Boneka macam berbi-berbian tidak punya karena tak pernah minta. Bando, pita, jepit rambut apalagi, uhh, rambut mau disisir ibunya saja dia lari. Adalah suatu keajaiban ketika anak tersebut mau mengenakan rok ketika pengambilan foto keluarga. Waw, dia luluh juga setelah di rayu ibunya.

SD dia suka coret-coret buku pelajaran, jadi buku catatan sekolahnya itu dia bagi 2, dibagi dari tengah, bagian depan untuk menulis pelajaran, bagian belakangnya dia gunakan untuk menggambar ikan, menggambar truk, menggambar pohon, dan menuliskan kisah konyol ala anak kecil yang entah dapat darimana tema besarnya. Cerita yang dia tulis di bagian belakang buku sekolahnya didominasi oleh cerita konyol yang menyedihkan. Kenapa konyol dan menyedihkan? Karena di awal cerita dia mengisahkan yang lucu-lucu, teman-teman dia sering tertipu dengan prolog yang seperti itu, ditengah-tengah cerita makin aneh tapi tetap lucu, akhirnya para pembaca buku cerita si anak tersebut kecewa endingnya sedih bos.
Ambil satu cerita yang pernah dia tulis, waktu itu tulisannya sangat amat jelek sekali, melebihi tulisan ceker ayam, ini tulisan dia model ceker cacing. Kalau bukunya dikibas, bisa terbang semua abjadnya. Ceritanya begini, dia menuliskan tentang asal-usul dirinya yang bermula dari cipratan saos, nah cipratan saos itu yang mempertemukan bakal orang tuanya. Berawal dari gumpalan saos, timbul rasa suka antara dua anak manusia. Sebut saja bakal ibunya adalah A dan bakal bapaknya adalah B. A dan B ini menyukai saos yang sama, saos yang ada gambarnya kerang. Tiap kali mereka makan bakso harus ada saos kerang. Bla bla bla dan bla, akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun, si A ini meminta syarat untuk dibawakan satu kardus saos kesukaannya, saos kerang tadi. Berhubung pabriknya sudah tutup karena terbakar, saos kerang tidak diproduksi lagi. Bagian menyedihkannya, A dan B tidak jadi menikah, dengan mudahnya si A meninggalkan B hanya karena saos. Dengan demikian, si anak tersebut tertunda kehadirannya di dunia. Menyedihkan atau konyol?
Ihh, nggak jelas banget ceritanya.
Memang tidak jelas, setidak jelas kelakuannya. Dia itu suka senyum-senyum sendiri. iya kalau senyum-senyum sendiri pas lagi sendirian betul, kalau pas bareng orang banyak lalu tiba-tiba senyum sendiri, dia akan dianggap cewek gila. Miring. Sedang dibonceng motor oleh kawan, ditikungan hendak belok eh dia tertawa keras. Ngakak.
“Kenapa tertawa?” Tanya kawannya.
“Ahh enggak.” Jawab dia.
Aneh kan.
Lagi, ketika menginap di rumah seorang temannya. Lampu sudah dimatikan, sudah tarik selimut tinggal tidur, dia ini malah tertawa inyik-inyik. Suasana sepi membuat temannya kaget, sontak menyalakan lampu.
“Kenapa kamu ketawa? Bikin kaget tau.” Kata temannya.
“Kenapa lampunya dinyalain, silau.” Si Dia malah balik bertanya.
Aneh.
Namanya orang tertawa ya ada alasannya, entah dia teringat sesuatu atau bagaimana pasti ada alasan. Atau jangan-jangan anak ini ada tertanam benih gila di dalam jiwa. Entah, setelah ini mari kita tanyakan sama-sama.
Anak ini beda dari yang lain-lain, kebetulan dia lahir di kampung, ditengah-tengah keluarga yang mayoritas adalah petani. Dia sama sekali menengok sawah tidak mau, belakangan ini ketika dia sudah besar dia malah suka dengan sawah, suka dengan ladang, suka pula dengan hutan. Seperti jungkat-jungkit, dia naik turun sesukanya, hari ini suka ini besok suka itu, hari ini membuat ini besok membuat yang lain. Satu hal yang tidak berubah dari dia, dia suka coret-coret buku. Sekarang jamannya dunia digital, maka dia menyesuaikan dengan cepat. Kelas satu SMP pada masa itu, saat anak lain belum kenal internet, dia sudah dua langkah lebih dulu. Bahan PR dan ujian sering dia pelajari dadri google, eh malah teman-teman dia menganggap dia pintar luar biasa karena hampir tau segalanya (yang mereka pada masa itu tidak tau). Cerdik atau licik, ketika ulangan dia menyelipkan hape kecil yang waktu itu sudah bisa internetan di bawah meja. Sore hari ketika sekolah kosong melompong, dia datang sendirian kesana. PD abis, memasang kotak sederhana untuk menyembunyikan alatnya mencontek keesokan hari. Ini namaya licik, tapi karena tidak ada yang tau dan tidak ada yang meniru inovasinya dalam contek mencontek, dia cerdik juga. Tapi, dia mulai berani mencontek ketika ulangan di sekolah saat ia sudah menyesuaikan diri dengan ‘budaya’ itu. Padahal sejak kecil sampai SMP kelas 2 dia banyak membaca di rumah. Sayang sekali menginjak akhir tahun ajaran imannya goyah. Uhhh.
Menjadi cucu tetua kampung sering membuat dia dihormati oleh teman-temannya, bahkan orang-orang yang lebih besar badannya dari dia. Bukan bangga, lama-lama dia risih sendiri. Menarik diri dari peredaran anak kampung, suka pura-pura menghilang dan menghilang betulan ketika dicari kawan-kawan untuk diajak bermain. Sebab apa, kalau main dia selalu diistemewakan, dijadikan ketua geng, padahal kenyataanya dari kecil sampai sekarang itu dia tidak pandai ngomong, paling susah kalau berbicara. Kan dia males, dia itu inginnya main sama-sama sama rata.
Tempat paling aman bagi dia bersembunyi adalah di dalam lemari, sayang sekali kian hari badannya makin tidak muat berjejal di dalam lemari. Yeah, lemari putih di kamarnya mengecil. Dulu, di dalam lemari dia membawa senter, pernah membawa lilin tapi bajunya malah terbakar dan itu membuatnya takut membawa lilin kembali ke dalam lemari. Sambil membawa buku bergaris dan alat tulis, dia menggambar, mewarnai, dan mengarang cerita pula di dalam sana. Pertanyaannya, kok muat? Bisa seharian dan tidak ada yang tau kalau ia di dalam lemari sedang bermain sendiri. taukah, itu tidak pernah ketahuan meski kakak laki-lakinya sering tiba-tiba masuk dan berkacak-kacak di depan cermin, pun saat ibunya memanggil-manggil dia lalu mencarinya di kolong tempat tidur. Ibunya tidak pernah ngeh soal lemari, karena bentuknya yang kecil.
19 tahun 4 bulan sekarang ini, dia makin aneh saja. Anehlah, entah kapan keanehannya terbongkar.
“Mulai sekarang kalau aku tertawa aku harus punya sebab yang membuat aku tertawa, supaya aku tidak terus dianggap gila, dan terlanjur gila betulan” Dalam hati dia berbicara.

Entah, dia itu kenapa.

-    13/7/17/10:32    -

You Might Also Like

6 komentar

Tersenyumlah!

Popular Posts