Cincin Mbah Kasmi
3/01/2017 08:07:00 AM
“Bisa gagal nikah aku ini Mak”
Pekik Agus lesu, matanya sibuk menunduk kesana kemari macam ayam yang mencari
remahan padi.
Tidak hanya Agus, tapi juga
ibunya, bapaknya, saudara sepupu, om, tante, tetangga, semuanyalah yang ikut terlibat
dalam pesta pernikahan Agus sibuk mencari.
Cincin mbah Kasmi hilang. Wuh!!!
“Kok bisa sih mbah, bukannya
cincin itu selalu ada di jari tangan” Kata Om Ratman mencari di garasi, yang
ditemukannya malah mur baut.
“Apa mungkin dipatok ayam ya?”
Bapak malah bercanda.
“Hush bapak ini, cari yang betul
biar Agus jadi nikah besok” Wajah Agus membiru, nafasnya setengah memburu,
sambil menunduk-nunduk matanya mengitari kolong meja, tak ketemu-ketemu benda
bulat bolong yang dicarinya.
Cincin mbah Kasmi hilang.
Gemparlah seisi rumah plus saudara serta tetangga yang ikut andil dalam pesta,
tak pelak juga tetamu yang satu-dua-tiga sudah mulai berdatangan ikut gamang.
Cincin kuning polos yang kata mbah Kasmi terbuat dari emas dua puluh empat
karat seberat lima belas gram itu entah menggelindingkan diri kemana. Padahal
cincin itu yang akan disematkan Agus pada calon istrinya besok sesudah akad di
KUA. Itu merupakan cincin warisan sejak jaman Belanda kata mbah Kasmi lagi. Dulunya
mbah Kasmi diberi cincin itu oleh ibunya, tapi tidak diwariskan ke anaknya
sebab mbah Kasmi punya banyak-banyak anak, bingung dia memilih anak mana yang
hendak dititipi barang mungil bernilai historis tinggi itu. Salah-salah malah
tercipta konflik antar saudara nanti. Kalau sampai bunuh-bunuhan macam kasus di
televisi, kan ngeri jadinya. Karena Agus merupakan cucu pertamanya, maka
diberikanlah cincin itu pada Agus sebagai mahar nikah. Sebagai kenang-kenangan
bilangnya, mbah Kasmi merasa umurnya tak panjang lagi. Giginya sudah copot
sana-sini, pipinya jadi kempot maksimal.
“Ya sudah, Ibu beli cincin baru
saja bagaimana? Masa calon pengantin malah dibikin pusing gara-gara cincin?” Kata
Ibu, mbah Kasmi reflek menoleh, matanya yang ditelan usia melotot hampir
melesat dari tempatnya. Seperti anak TK yang tidak keturutan maunya.
“TIDAK BISA” Ujar mbah Kasmi
tegas, “Agus harus menikah dengan cincin itu, kalau tidak ketemu, ya
pernikahannya diundur saja”
Lutut Agus jadi bergetar
mendengarnya, seperti ada sesuatu melesat kencang dari dadanya. Bisa-bisanya
mbah Kasmi berkata begitu, besok adalah hari bahagia yang dinanti-nanti Agus.
Bukan hanya Agus, tapi juga seluruh keluarga. Suara musik dangdut peramai pesta
sengaja tidak dimatikan, menambah suasana riuh dan gaduh di dalam rumah orang
tua Agus. Tukang sound system bodo amat dengan yang namanya cincin
menggelinding entah kemana, yang penting mereka menjalankan tugasnya, mendapat
bayaran, bongkar lantas pulang kenyang. Justru kalau musik dimatikan, makan
gaji butalah mereka.
“Mbah, coba ingat-ingat tadi dari
mana saja” Pinta Agus gugup, kalau di dadanya ada lubang, melesatlah sudah
jantungnya ke tanah, klepar-klepar seperti ekor cicak yang baru putus dari sang
cicak itu sendiri.
Mbah Kasmi merenung, bukan macam
petapa gunung ataupun pencari wangsit di kuburan, hutan, sungai, pantai. Pipi
kempotnya dibiarkan mengempot ke dalam, bibirnya macam tokoh kartun berwarna
kuning donald duck. Matanya menerawang ke depan, sorot matanya
malah berubah jadi haru sambil bertopang dagu, duduk di atas bangku kayu. Diam.
“Dulunya,” mbah Kasmi mulai
bersuara setelah sekian menit kekosongan hanya di isi oleh dangdut koplo dan
dangdut kipli, “Mbah Mul sempat mau menjual cincin mbah Kasmi, waktu itu
benar-benar bingung karena serupiah pun kami tidak punya, untuk makan saja
tidak tau mesti bagaimana”
“Tapi mbah Kas tidak mau menjual
cincin itu, lha wong saksi hidup kok dijual. Sejak jaman dijajah sampai
sekarang cincin itu sudah ada. Cincin itu sudah ada lama bahkan sebelum kamu
Gus, lahir. Kamu nantinya akan mengenang dan mendo’akan leluhurmu kalau lihat
cincin itu. Cincin itu ndak mungkin hilang, paling nyelip di mana, pasti ketemu
kok Gus. Kalau tidak ketemu hari ini ya paling nikahanmu diundur dulu. Kamu
tidak boleh melupakan sejarah Gus.”
BLAARR.
Apa, nikahannya diundur Cuma gara-gara
cincin warisan. Harusnya tanpa cincin itu pun Agus tetap sangat bisa menikah
esok hari. Orang Agus dan calon istrinya di kampung seberang tidak lupa jalan
ke KUA kok. Tinggal beli cincin baru sore ini sebelum toko emas di pinggir
pasar sana tutup, beres kan. Tapi mbahnya yang sudah renta itu, yang ikut
mengasuh dan mengurusnya dari bayi baru brojol sampai jadi sarjana tinggi gagah
kokoh macam pangeran berkuda itulah yang rewel. Pokoknya tidak boleh nikah
kalau cincin kawinnya bukan cincin turun temurun dari simbah. Duh.
“Ah mbah ini, jadi habis dari mana
saja tadi? Coba ingat-ingat lagi!” Agus berlipat ganda gusarnya.
“Gus, kamu ini ndak pengertian
kalau mbah Kasmi ini sudah tua, sudah pikun, mana ingat” Jawab mbah Kasmi
santai, polos.
Jengkel Agus mendengar jawaban
seperti itu dari neneknya. Bukan hanya Agus, bapaknya, ibunya, om, tante,
saudara sepupu, tetangga, semuanya jadi bingung sendiri. Kembalilah mereka
mencari, tidak lagi hanya menunduk-nunduk menyusuri kolong-kolong kursi seperti
ayam yang mencari remah roti, namun juga mendangak-dangak ke atas lemari, atas
TV, sampai ke atas genteng pun dicari. Barangkali mbah Kasmi habis bermain
lempar-lemparan sandal dengan anak-anak tetangga, atau apalah hal tidak masuk
akal yang dimasuk-masukkan akal saja. Pokoknya yang penting mencari, semoga ada
hasil. Ketemu.
“Alah, yawis kita lanjutkan
kerjaan kita saja. Kalau semua-semua ikut mencari, kue-kue itu tidak akan jadi
sendiri kan” Bisik ibu-ibu di tengah pencarian dengan backsound musik
dangdut, menyerah.
“Iya, cincin ketemu tapi tidak ada
kue dan makanan buat tamu, ya gagal juga nikahannya si Agus” Sambung ibu-ibu
yang lain.
Maka berhentilah mereka mencari,
sementara Agus, bapak, ibu, om, tante dan beberapa saudara sepupu masih sibuk
mencari kesana kemari. Di kolong mobil yang terparkir samping rumah, di pohon
jambu belakang rumah, di dalam lemari, di dalam wadah nasi, di tempat cucian
piring, di bak mandi, sampai di dalam kutang mbah Kasmi sendiri. Duh, cincin
itu kemana sih!
Biso sun linglung koyo wong edan
turun...Jreng...jreng...desh...
Dangdut koplo tetap mengalun,
asyik betul alunan musiknya, apalagi suara penyanyinya, Via Vallen memang
paling top markotop. Edan turun kata lirik lagunya, Agus benar-benar merasa
edan siang itu. Ya Gusti, tolong dibikin mudah saja persoalan ini, ya Gusti,
mau nikah saja ada-ada saja cobaannya. Agus menjerit dalam hati. Badannya
sudah lemas, pikirannya jadi kocak akibat terkocok-kocok memikirkan perkara
besok, perkara cincin. Perkara sepele yang tadinya ia anggap Cuma sebesar
kepalan tangan, iya betul, lantas kepalan tangan itu berbalik meninju mukanya.
BUGG. BUUGGG. BUGG. Sementara mbah Kasmi, tak tampak gurat kecemasan, panik,
gagap gugup atau apalah di wajahnya. Tampak tenang-tenang saja sambil mencari,
sesekali ngobrol basi dengan ibu-ibu tetangga yang sudah kembali pada
kesibukannya masing-masing, memarut kelapa, menumbuk ketan, membuat kue, ini,
itu. Atau ekspresi dari seorang yang sudah udzur ini sudah tidak bisa terlukis
jelas lagi. Ahh, kenapa Agus tidak menyimpan cincin mbah Kasmi di dalam sebuah
kotak manis layaknya cincin nikah orang-orang selayaknya jauh hari sebelum
cincin itu hilang begini.
Agus terduduk lesu di atas
tumpukan kantong beras, ia menangis. Pasrah bila tidak jadi menikah besok,
mungkin sedikit kecewa karena malam pertamanya jadi diundur-undur. Akibat ke-ngeyel-an
sang nenek, janur kuning yang sudah ia lengkungkan, bisa-bisa jadi layu. Aih,
Agus tidak bisa menikah kalau cincin warisan yang katanya sudah ada sejak jaman
penjajahan Belanda itu tidak ketemu. Bapak mengelus kepala Agus penuh kasih,
coba menghibur hati anaknya yang sedang bersedih itu. Paham betul bapak,
menghadapi pernikahan yang semakin dekat saja rasanya sudah karu-karuan, apalagi
ditambah acara cincin nikah hilang segala. Pastilah gagap gugup gempita
rasanya, aih.
“Eh, eh apa ini kok keras” Bu Eni
tetangga sebelah yang turut ngalong di nikahan Agus merasakan sesuatu
yang keras pada ampas kelapa yang tengah ia peras. “Ya Gusti, mbah Kasmi, Agus
jadi nikah besok pagi. Ini cincinnya ketemu”
Wuh, semua orang menoleh pada bu
Eni. Macam sedang melihat Syahrini saja, semua jadi heboh. Riuh. Gembira
pokonya.
“Alhamdulillah”
“Owalah jadi nikah beneran Agus
ini”
Dan sekelumit komentar terkejut
dan bahagia lainnya. Rupanya cincin mbah Kasmi melorot ketika ia memarut
kelapa, jadilah cincin itu ngumpet sejenak ditumpukan calon santan itu. Untung
ada bu Eni yang menemukannya. Agus amat sangat bahagia memegang cincin itu. Dia
jingkrak-jingkrak kegirangan, joget-joget persis ketika ia tengah nonton konser
musik rege. Tanpa sadar, cincin yang ia pegang dengan girang tersebut terlempar
entah kemana. Kembali, orang-orang sibuk mencari, dan Agus bersedih hati, lagi.
“Gus, gus, kamu ini, besok jadi
nikah apa tidak?” Celoteh bapak, menepuk kepala Agus. Gempar!
Rumah,
24/1/17, 02.08
4 komentar
terus jadi nikah apa enggak ya?
ReplyDeletega tau juga kak :p
DeleteWkwkwk... Tapi cincinnya keren banget. 15 gram, kalo dijual jadi berapa duit tuh? :D
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTersenyumlah!