Sempurnakan Ayuku

1/09/2017 12:02:00 AM



sumpah, ini cerita pendek terpanjang yang aku karang. waktu itu, diikutin lomba AA Navis award di UN Padang. ehh cuma jadi nominator, belum jatahnya menangs kak.
 
Malam ini, dewi-dewi kayangan turun ke bumi untuk menungguiku. Nawang wulan beserta enam saudaranya membentang selendang-selendang cendayam yang akan menambah aura diri ini hingga makin cantik rupawan. Aku duduk di patut berhiaskan puspa melati dan paes terpasang di atas kepala. Aroma bedak, air mawar serta bunga melati bersatu padu tercerup manis dalam hangit mengepul memenuhi seluruh jiwa.
“tiba-tiba saja kamu akan pergi dari ibu ya nduk” kata ibuku, ia masuk kamar dengan membawa nampan berisi segelas minuman. “kamu sudah besar” katanya lagi.
Senyum sumringah menghiasi bibir merah yang terpoles gincu, makin cantik saja diri ini. Ibu lalu duduk di kursi sebelahku, kursi itu tadi digunakan oleh tukang rias wanita setengah baya yang mendandani diriku. Ibu lantas menyodorkan segelas minuman. Itu teh hangat yang sangat khas di sanubari. Aromanya, rasanya, semua bercirikan racikan ibu.
“bidadaripun kalah cantik denganmu, nduk” kata ibu lagi, senyum teduh terpancar dari wajahnya.
“tapi ini ribet buk, masa aku harus menahan kantuk sepanjang malam menggunakan sanggul yang berat ini” timpalku.

Kecantikan yang menimpaku malam ini luar biasa benar, khas Jawa. Betul-lah kalau prosesi ini dinamakan ‘midodareni’. Midodari artinya bidadari. Prosesi midodareni berarti membuat si calon pengantin perempuan cantik jelita se-jelita bidadari. Menurut orang tua, bidadari-bidadari benar-benar turun dari kayangan untuk menyempurnakan kecantikan si calon pengantin perempuan agar esok ketika duduk di puadaian bersama suaminya, mata si junjungan hati itu tak dapat berpaling dari si istri karena terpesona. Terbuktilah, aku sangat cantik di malam bidadari ini.
Kain batik panjang bernama jarit sudah terpasang apik membungkus bagian bawah tubuhku, menutupi sepasang kaki yang juga membatasi langkah-langkah, tak boleh aku melangkah lebar-lebar akibat mengenakannya. Kebaya merah jambu melekat serta. Lihatlah, pinggangku yang ramping semakin terlihat ramping karena di balut korset jawa, kendit namanya. Kain panjang yang dipasangkan rapi melilit perut serta pinggangku.
Tertangkap oleh sepasang kaca duniaku, wajah ibu dan wajahku berjejer di dalam cermin yang sedari tadi memperhatikan wajah kami lekat-lekat. Aku mirip ibu, bahkan di usianya yang tak muda lagi ia tetap terlihat ayu dengan keriput-keriput yang menambah wibawa kejelitaannya.
“ibu dulu juga di rias seperti kamu. Bedak ibu bahkan lebih tebal daripada yang menempel di pipimu sekarang ini” ujar ibu.
“lalu apa yang ibu lakukan saat duduk sendirian di kursi pelaminan bu?” tanyaku penasaran, mencoba mengusir rasa gugupku yang sebentar lagi akan dibawa keluar dari kamar dan di dudukkan sendirian di pelaminan. Duduk sendiri semalaman sebelum hari pernikahan esok juga merupakan bagian dari acara midodareni ini.
“ibu dulu ditemani tante-tantemu, adik-adik ibu nduk
“lalu aku yang tak punya adik ini ditemani siapa bu ... duduk sendirian akan membuat aku gugup dan malu dipandangi tamu-tamu Bapak dan Ibu”
***
Aku lahir dalam budaya jawa yang melekat dalam darah keluargaku. Masih ada hubungan kerabat dengan keraton kasunanan Solo, seberapa dekatnya aku tak tahu. Yang aku tahu, dulu waktu kecil pernah beberapa kali aku di ajak bapak ke keraton yang ornamennya serba hijau itu untuk menghadiri beberapa acara. Acaranya aneh, aku harus memakai kebaya dan jarit yang cupet untuk masuk kesana. Tidak ada kursi untuk duduk. Cara dudukku ya menekuk kaki, bersila ala perempuan. Kakiku sangat pegal dan sakit, suatu ketika pernah aku tak tahan ingin buang air kecil. Ibu menuntunku untuk ke kamar mandi, namun memakai kain jawa yang ketatnya luar biasa membuat kakiku tak bisa melangkah cepat dan lebar-lebar. Hasilnya sebelum sampai di kamar mandi, aku sudah bocor duluan, basah semua kainku.
Namaku Laras Ayu dengan imbuhan Roro di depannya. Sejak tamat SMP aku tak pernah lagi datang ke keraton, aku pindah ke Sekolah Menengah Kebangsaan di Malaysia, setingkat dengan SMA kalau di Indonesia. Karena otakku yang encer dan alim ini aku berhasil mendapatkan beasiswa sekolah ke luar negeri, jauh dari kota kelahiranku. Solo. Ibu dan bapak waktu itu melarangku sangat keras, dibilangnya karena aku anak perempuan, satu-satunya pula. Mereka tak rela berpisah dengan aku. Keras pula aku meyakinkan mereka bahwa ini demi kehidupanku yang lebih baik, aku ingin keluar dari zona yang sebenarnya tak membuatku nyaman. Sejujurnya, aku tak suka pada budayaku, lingkungan yang mengharuskan untuk memakai rok bagi perempuan, berbicara pelan, jalan sambil menunduk dan lain sebagainya yang menurutku hanya menyusahkan dan tak mengenakkan bagi kaum perempuan jawa, aku sendiri utamanya. Aku juga tak suka keraton sejak pertama kali bapak dan ibu membawaku kesana. Hawanya, auranya aku tak suka semua.
“kalau bapak dan ibu menyayangi Laras, ya biarkan Laras pergi. Nanti Laras juga pulang kok kalau ada libur” kataku berkeras, membawa-bawa kata sayang di dalamnya.
“justru karena bapak menyanyangi kamu, nduk. Bapak ndak mau kamu pergi jauh dari bapak” ujar bapak dengan tetap menjaga air mukanya. Tak pernah sekalipun ia menampakkan ekspresi marah, apalagi benar-benar marah pada mutiara satu-satunya yang ia miliki ini.
“sayang harusnya membiarkan berkembang, membuat Laras senang. Bukannya mengekang, pak. Jangan mentang-mentang orang jawa ... iya Laras memang keturunan jawa, tapi laras ndak mau Cuma jadi perempuan yang diam dan belajar di rumah seperti perempuan yang lain. Sekali-kali berpikirnya yang modern pak, Laras ndak mau terkungkung dalam budaya yang malah membatasi Laras” aku berceloteh pada bapakku tentang keinginanku waktu itu, aku ingat betul setelah berkata begitu, aku langsung masuk kamarku dengan membanting pintu. Polah yang kurang ajar dari anak di depan bapaknya.
Kala itu semalaman aku mengunci diri di kamar, tiada makan dan tiada memejamkan mata, apa itu dapat dikatakan bersemedi? Karena setelahnya bapak dan ibu memperbolehkan aku untuk pergi ke negara Malaysia seperti keinginanku. Setahuku orang yang tamatkan bersemedi mendapatkan ilmu baru atau mendapatkan apa yang ia tuju. Seperti aku.
Betullah, angin sejuk kudapati berhembus meniup sela-sela hidupku setelahnya. Hidup yang lebih modern ku dapati di Malaysia. Kebetulan aku hidup di ibu kotanya, Kuala Lumpur. Selain di sekolah, aku jadi sering memakai celana sebagai pakaian yang tidak mengganggu aktivitasku. Aku bebas melangkah lebar-lebar, berlari berkejar dengan anak laki-laki. Aku punya banyak teman yang bermula dari keberagaman, kulit putih, kulit sawo matang semua berinteraksi tanpa menunduk-nunduk. Bicara dengan nada sewajarnya tanpa perlu malu pada telinga lain yang mendengari suara luapan, berjalan tegap menatap dunia dengan sesekali mendongak menengadah ke langit. Aku bukan lagi perempuan Jawa yang harus memiliki sifat malu, sungkan dan tunduk pada budayaku. Aku ya aku, Laras Ayu. Pemikiranku lebih terasah, lebih tajam, lebih kritis dan tidak apatis di negeri itu. Meski aku suka dan nyaman belajar di Kuala Lumpur, aku tidak membiarkan diriku jatuh dalam filantropi pesona Malaysia. Biarpun kurasa budaya melayu lebih berdenyut dalam nadiku, dalam aliran darah tetap saja mengalir darah Jawa, aku tetap orang Indonesia.
Aku pulang setelah menamatkan Sekolah Menengah Kebangsaanku. Aku kembali setelah puas dengan kebebasanku dalam lelaku tanpa melupakan esensiku sebagai mana mestinya. Aku pulang ke ibu pertiwi, kepada bapak dan ibu yang hatinya menggelebah menantiku.
“selanjutnya kuliah di Solo saja ya, nduk. Di UNS saja” kata bapakku
“iya biar deket bapak sama ibu, biar kamu ndak lupa kodratmu sebagai orang jawa” kata ibuku menyambung
Apa? Aku di suruh kuliah di Solo, di Kartasura kota kelahiranku sendiri. Aku pikir tidaklah, aku tidak mau. Lulusan sekolah menengah dari luar seperti aku ini, masih saja di atur-atur keinginannya oleh bapak dan ibu, apalagi ini soal pendidikan. Tidak. Ibu bilang supaya tidak lupa kodratku sebagai orang Jawa, apa karena ketika bapak dan ibu menjemput aku di bandara mereka melihatku memakai celana skinny jeans dan kemeja trendy sehingga mereka berkesimpulan kalau aku telah lupa kalau aku ini masih orang Jawa? Aku rasa ‘jawa’ cukup ada dalam darahku saja, mengalir dalam masa kecilku saja. Sekarang aku sudah dewasa, kuanggap Jawa itu sebagai masa lalu, kuno dan tak cocok dalam era kehidupanku saat ini. Aku ingin hidup dinamis, fleksibel tanpa membawa-bawa adat. Lihat saja KTP atau SIM semua manusia di jagad tanah air ini, apa di dalamnya tercantum nama suku? Tentu tiada bukan, bahkan golongan darah sebagai pembeda saja tak berarti apa-apa bagi umat manusia. Bukan karena golongan darahku A, maka aku dapat cerdas dalam berbagai hal, kadang aku juga tidak mudeng dengan apa yang pelajari. Seperti juga suku dan kebudayaan Jawa, biarlah ia terkubur rapat-rapat dalam sanubariku, bersama masa kecilku yang hangat dan di penuhi kekolotan tradisi.
“Laras sudah mendaftar dan lolos di universitas Indonesia, pak, buk. Karena itu Laras pulang”
***
Kulihat anak-anak kecil membawa tamborin yang terbuat dari sebatang kayu dan tutup-tutup kaleng yang telah di gepengkan di tangan mereka, ada juga yang membawa gitar kecil mirip ukulele Hawai yang tak karuan kemana bahananya, dari mulut mereka terlantun lagu-lagu cinta yang aku rasa tak pantas mereka dendangkan, tidak sesuai dengan umur mereka. Ketika bangjo berubah warna dari merah ke hijau, mereka berhamburan pergi menghindari laju kendaraan yang setiap saat dapat menabrak dan melibas hidup mereka. Pada seorang anak laki-laki yang usai menyanyi di kaca mobilku, belum sempat aku sodorkan lembaran bernilai ribuan ungu yang telah aku keluarkan dari kantong untuknya. Dia keburu pergi karena di usir oleh lampu merah di traffic light.
Aku senang meski melihat keadaan memilukan setiap harinya di jalanan, pada kenyataannya aku sudah berada di Jakarta. Kepulan polusi, hawa panas menyengat dan kemacetan menjadi kawan baruku dalam denyut aktivitasku. Tak apa, aku jalani karena aku suka, asal aku tak di kekang dan menjadi perempuan Jawa pemalu saja. Ibu dan  bapak bilang darahku biru, apa iya? Nyatanya saat aku terkena pisau akibat memotong daging kemarin, darah yang mengucur berwarna merah. Ahh, itu hanya ungkapan saja, seperti Jawa yang mengalir dalam darahku, kuanggap itu hanya status saja, bukan sesuatu yang menaungi hidupku.
Jangan-jangan nanti aku di jodohkan oleh bapak dengan laki-laki Jawa, batinku. Pernikahan, aih hal itu membuatku takut. Takut kalau aku di jodohkan, takut kalau misal aku ini jatuh cinta pada laki-laki yang bapak dan ibu tak suka. Kalau ibu aku yakin masih bisa di rayu, kalau bapak ... pasti sulit untuk merobohkan ke-Jawa-annya.
BIIIIPPP ... BIIPP ... BIIPPP
“woy, cepat jalan!!! Nggag lihat tuh lampunya udah hijau!” teriakan orang-orang tak sabar di belakangku membuyarkan lamunan pendek yang ku iras.
Aku kuliah di UI, jurusan Sastra Indonesia. Selama kuliah aku aktif dalam pergerakan perempuan anti kekerasan. Aku tak senang mendengar apalagi melihat dengan kepalaku sendiri, seorang perempuan yang diam sahaja ketika ia di cerca oleh laki-laki, terlebih itu suaminya sendiri. Yang aku ingin, mbok ya mereka bisa melawan walaupun hanya dengan kata-kata, hanya dengan mulut cerewet mereka. Jangan hanya pasrah diam menerima pukulan, lalu makian, lalu pukulan lagi dan berulang seperti itu terus. Terakhir kali aku melakukan aksi damai di bundaran kolam hotel Indonesia untuk kemandirian dan pengakuan esensi perempuan bersama komunitas anti kekerasan yang aku ikuti dan beberapa LPM beranggotakan perempuan yang antusias pula.
“kamu itu perempuan ada darah birunya, kegiatannya jangan kebablasan Ras” kata seorang teman kuliahku, laki-laki bernama Banu yang secara pribadi menemuiku di taman kampus saat raja singa mulai lengser dari tombak singgasananya. Seingatku kalau tidak salah, dalam bahasa Sanskerta, Banu artinya cahaya atau pemimpin. Pantaslah ia senang memimpin sebuah perang, perang ideologi denganku utamanya.
“darahku sama seperti darah semua orang, warnanya merah sempurna tanpa kebiru-biruan sedikitpun, Nu. Yang biru itu uratnya” timpalku, “uratmu juga sama birunya kan”
“Ras, aku juga orang Jawa ... orang Solo sama sepertimu, Jawaku lebih tipis dibandingkan denganmu Ras. Cobalah kembali ke kodrat, pakai Rok, jangan sering keluar rumah. Jadi kalem Ras”
“apa sih, Nu? Jalan pelan-pelan, ngomong pelan-pelan, semua serba pelan serba lamban itu bukan aku, Nu. Aku tidak akan bisa seperti itu” protesku pada nasihat Banu.
Ya apa? Apa sih maksud Banu menasihatiku soal dasar kebudayaanku, jelas-jelas ia pirsa akan ke tidak sukaanku pada budayaku, pada Jawa. Tapi, belakangan ini, kuingat-ingat sudah beberapa bulan terakhir ia sering menasihatiku tentang segala hal yang sering pula berseberangan dengan ideologi pemikiranku. Dan kali ini, dia menasihatiku soal perempuan Jawa. Minggu lalu saja, kami berbincang soal kebenaran. Menurut Banu, sesuatu dianggap benar itu bila sudah teruji dan pasti terbukti. Kalau menurutku, benar itu menurut orang masing-masing. Misalnya kalau ada dua orang yang berjalan berdampingan, salah satu merasa melihat bintang jatuh sementara yang satunya lagi tidak melihat apa-apa. Berarti mereka semua benar, tidak ada yang salah. Benar menurut mereka masing-masing. Perbincangan kecil itu berubah menjadi perdebatan dua jam lebih dua menit karena aku dan Banu masing-masing teguh pada argumen masing-masing. Untung saja kami menghadapi semangkok bakso di depan muka kami sebagai penawar emosi, jadilah obrolan sengit itu buyar tanpa permusuhan diantara aku dan Banu.
“Roro Laras Ayu ... ” ucap Banu, “jadilah perempuan yang manis untuk aku ... perempuan yang lemah lembut di tengah cadas karang, Ras”
“aku ndak ngerti arah pembicaraan kamu, Nu”
***
P E R E M  P U A N. Jika di eja benar-benar maka dapat di tulis per-empu­-an. Empu berarti sang pemilik atas sesuatu, aku definisikan disini bermakna pemilik atas diri sendiri. Yang mengatur hidup, mengendalikan keinginan dan lelaku kehidupan sang diri ya diri sendiri itu. Yang mengatur hidupku ya aku, bukan bapak dan ibu apalagi Banu.
Dari balkon apartemenku, kupandangi bulan setengah menggantung di pekat langit, awan-awan gelap bergulung-menggumpal lalu gemuruh sayup-sayup terdengar dari dalamnya. Nyanyian angin tak berdesir, bersemilir tidak berdesau pun tidak. Gerah. Gerah. Gerah!!! Jumantara malam yang resah menyatu masuk dalam batinku yang menggelebah. Aku rindu orang tuaku, rindu pada bapak dan ibu. Ini ikatan batin yang sering ibu katakan mungkin, tiba-tiba handphone-ku berdering mersik memanggil.
“kebetulan sekali ibu menelfon” kataku spontan menyambar telfon dari ibu itu.
“halo nduk, Ras” ucap ibu dari seberang sana
nggeh buk, dalem. Wonten nopo? (iya buk, iya. Ada apa?)
“kamu sudah lupa Jawa to nduk? Angkat telfon langsung begitu, ndak salam dulu kaya biasanya” keluh ibu, yang satu ini menohok batinku karena ibuku sendiri yang bilang. Apakah aku sudah lupa Jawa? Aku masih paham berbahasa jawa meski terbata-bata. Apa salah mengeluarkan ekspresi spontan saat mengangkat telfon dari orang yang kita sayang? Aku rasa tidak.
ndak buk. Larasa ndak lupa, Cuma seneng aja ibu telfon, padahal tadi Laras mau telfon ibu” kilahku pelan.
“bapakmu mau ngomong nduk ... ” dari ujung telepon kudengar ibu mengoper handphone pada bapak. Lantas suara lembut ibu berganti dengan suara bapak yang basau serta berat.
“nduk ... ” kata bapak memulai. Aku dari sisi lain handphone hanya menjawabi dengan kata nggeh yang berarti iya dalam bahasa Indonesia. “bagaimana kabarmu? Kapan pulang ke Solo?” tanyanya.
Aku ditanya kapan pulang, aku rasa itu pertanyaan yang tepat dan pas untuk suasana hatiku malam itu. Hatiku yang dikalang rindu pada orang tua sudah sepantasnyalah menemui pelampiasannya.
“kabar baik Pak. Laras memang kepingin pulang, kalau tidak ada acara lagi secepatnya Laras pasti pulang. Kangen pada bapak dan ibu” jawabku manis. Terdengar suara kekeh tawa bapak di seberang sana, mendengar tawanya rasa kangenku membuncah betul di dada.
Ke-esokan harinya, setelah menyelesaikan semua urusan, baik itu urusan kuliah maupun urusan komunitas. Aku langsung pulang, hanya membawa selembar pakaian yang melekat di badan dan beberapa buku yang belum selesai aku baca. Aku tak sempat kembali ke apartemen untuk mengemasi pakaian, aku terlalu senang untuk pulang hingga tak mempedulikannya. Pulangku bersama Banu, naik mobilnya dan ia sebagai sopirnya pula. Hari itu pagi-pagi sekali Banu menelpon dan menanyakan kapan aku pulang ke Solo, kebetulan pula pada hari yang sama ia sudah merencanakan kepulangannya pula. Jadi kami pulang bersama, saat ku usulkan memakai mobilku saja, Banu menolak.
“aku laki-laki, bertanggung jawab atas perempuan yang ikut denganku. Jadi harus pake mobilku” begitu katanya. Banu memang menyebalkan, namun ia juga temanku yang paling menyenangkan.
Terlepas dari perbedaan ideologi kami, perdebatan kami, Banu adalah tempat sampah bagiku. Padanya ku tumpahkan banyak sekali keluhan tentang sesuatu yang terjadi dalam hari-hariku, meski tidak semua keluhan ku ungkapkan dengan utuh, dia selalu mampu memberikan ketenangan dan seolah-olah paham pada apa yang aku rasakan tanpa perlu ia mengorek-ngorek lebih dalam. satu hal yang kadang mengusik hubungan pertemananku dengan Banu adalah, rasa tidak sukaku padanya yang seringkali ingin merubah aku menjadi perempuan Jawa seperti yang ada dalam benaknya. Jadi perempuan yang kalem, Banu sering bilang.
***
“kalau macet begini, kita bakal kemalaman sampai Solo Ras” ucap Banu.
Aku pikir memang iya, berangkat jam tiga sore mengarungi jalanan macet yang di penuhi lautan kendaraan, sampai rumah pasti malam sekali. Banu juga akan kelelahan menyupir di tengah pekat malam.
“nanti nyetirnya gantian, Nu. Biar kamu ndak capek banget” kataku sembari bermalas-malas duduk terebah di atas kursi kiri samping Banu.
ndaklah, aku ndak bakal membiarkan perempuan kaya kamu nyetir malam-malam. Sana pindah belakang, kamu ngantuk kan”
Aku memang mengantuk, seharian melakukan ini itu banyak sekali tanpa jeda, lalu langsung berangkat pulang ke Solo. Lampu-lampu mobil dan motor yang berpendar-pendar apalagi ketika mereka menginjak tuas rem, ahh silau mengganggu mata. Seperti melihat pernak-pernik langit dari dekat, seperti melihat bintang yang berkilau keterlaluan silau. Suara kendaraan-kendaraan yang menderu-deru juga teramat mengganggu telingaku, berisik sekali. Suara masing-masing kendaraan berbeda-beda sehingga tercipta melodi pesai yang bising. Aku tak suka pada kebisingan yang mengganggu istirahatku. Aku tak dapat tidur
“sana lho pindah belakang, Ras. Di depan silau  kan” celetuk Banu membuyarkan kediamanku.
ndaklah, aku ndak jadi tidur kok”
“kamu kok tumben pulang, Ras. Biasanya betah di Jakarta ikut kegiatan ini itu”
“kangen rumah, Nu ... kamu kenapa pulang hari ini, kok ya kebetulan sama kaya aku”
“aku ada perlu sesuatu di Solo. Ini soal masa depanku, Ras” Banu menjawab pertanyaanku dengan nada serius.
“hahaha ... masa depan. Mau di jodohin bapakmu kamu, Nu” celotehku menanggapi pernyataan Banu.
“kamu kali yang di jodohin, kan darahmu biru”
Aku dijodohkan? Kenapa aku tidak sadar, ya Tuhan itu bisa saja. Bapak tiba-tiba menanyakan kapan pulang, untuk apa? Jangan-jangan memang untuk mengatur perjodohanku.
“perjodohan sama dengan penindasan, perempuan itu harus mandiri jangan mau di atur-atur kalau bukan kehendak diri sendiri. Lagi pula ini jaman modern, umurku masih muda baru dua puluh tahun, belum pantas menikah. Kalau aku di jodohkan ya sudah jelas aku menolak” terangku pada Banu, menerangkan hatiku yang meredup pula karena tak tenang khawatir akan adanya perjodohan ketika aku pulang nanti
“tapi kalau di jodohkan dengan pria takzim dan tampan seperti aku ini, apa kamu akan menolak” gurau Banu diikuti tawa setelah ia menyelesaikan kalimatnya.
Uhh, tiba-tiba sinar yang silau keterlaluan menyorot dari mobil yang berpapasan dengan mobil Banu dari arah depan. Memotong percakapan antara aku dan Banu, pertanyaan candanya yang terakhir belum sempat aku jawab pula.
***
Aku terbentur pada budaya serta etnis yang mengikatku. Di jawa kalau seorang gadis sudah menginjak belia, sudah terpancar ke-ayu-annya, sudah lulus SMA saja pasti sudah dihadapkan pada kehidupan pernikahan. Makin cepat nikah makin baik, begitu katanya. Yang pertama lepas dari tanggung jawab orang tua sehingga tak lagi menjadi beban, yang kedua aman dari hal yang tidak-tidak, lantas yang ketiga tidak di gunjing tetangga sebagai perawan tua. Yang aku tahu itulah alasan mengapa nikah muda sering terjadi dalam suku Jawa. Ibuku saja menikah dengan bapak ketika berusia dua puluh tahun. Dari yang pernah ibu ceritakan padaku, di umur segitu beliau sempat diomong tetangga, alasannya, pada jaman ibu dulu, teman-temannya bersemenda naik ke pelaminan pada usia belasan, empat belas, lima belas dan ibu sendiri malah umur dua puluh baru menikah. Hasil di jodohkan pula. Ibu terhitung gadis yang beruntung karena dapat lari beberapa tahun dari yang namanya pernikahan dini. Sebenarnya saat lulus SMA sudah ada dua lamaran datang untuk ibu, namun ibu menolaknya dan berdalih pada bapak kalau ia ingin bekerja dulu, waktu itu ibu bekerja sebagai guru TK di desa kelahirannya. Lulus umur tujuh belas, tiga tahun kemudian datanglah bapak yang melamar ibu, bermaharkan buku sebagai sumber ilmu pengetahuan. Bapak, menurut ceritanya sudah setahun memperhatikan ibu, memperhatikan ketika ibu mengajar anak-anak usia TK, memperhatikan kalau ibu ternyata suka belajar apapun, suka membaca utamanya. Maka dari itu, beliau meminta pada kedua orang tuanya untuk datang melamar ibu, dan kebetulan pula gayung bersambut. Kakekku alias bapaknya ibu langsung menerima lamaran itu tanpa menanyakannya terlebih dahulu pada ibu. Ibu menangis sepanjang siang dan malam karena ia harus menerima pernikahan yang tak ia ketahui siapa orang yang akan menjadi suaminya nanti, yang akan menjadi teman hidupnya sampai mati yang akan menggantikan tugas orang tua guna menjaga dari kelaparan dan lara hati. Ibu tak mau dijodohkan, namun apalah daya seorang perempuan Jawa yang harus patuh pada ayah ibunda. Tanggal pun sudah di tentukan, ibu akhirnya menikah dengan bapak.
witing tresno jalaran soko kulino, nduk” kata ibu meyakinkanku, “itu yang dulu terjadi kepada ibu untuk bapakmu”
“buk, pendidikanku sudah bagus, keluar dari Solo, jauh dari keraton. Kenapa aku harus di jodohkan? Ini jaman apa sih buk” aku melontarkan protes atas apa yang akan dilakukan padaku. Omongan Banu yang semalam tadi, jadi kenyataan. Aku ternyata mau dijodohkan.
“bapak ingin kamu menikah cepat-cepat supaya kamu tidak dibilang perawan tua, nduk. Ibumu dulu juga menikah waktu seusiamu” kata bapak yang santai duduk di kursi rotan ruang tamu, sekan mengadili aku dengan palu sabdanya.
“Laras itu baru dua puluh tahun ... diluar sana bahkan ada perempuan yang umurnya tiga puluh tahun belum menikah, biasa saja pak”
“kamu mau sampai setua itu baru menikah, nduk? Mau di taruh mana muka bapakmu ini?”
“lalu dimana Laras akan menaruh hati kalau di jodohkan tiba-tiba dengan orang yang sama sekali tidak Laras kenal begini?” luapku. Seperti gunung merapi yang sedang erupsi, sesuatu turun meleleh dari dadaku akibat menahan emosi bakti pada bapak dan ibu.
Tinggallah ibu dan bapak duduk berdua diatas kursi rotan di ruang tamu. Aku bertolak dari obrolan soal perjodohan yang membingungkan itu. Ku tarik gagang pintu bilik peraduanku, ku banting ia. Merebahlah tubuh dan jiwaku di atas dipan, lalu kawula tuhan ini bersedu sedan tak tertahankan. Linangan air mata yang merembes dari sudut-sudut netra ini tak seberapa, dibanding yang mengarus deras dalam sukma nestapa. Dalam hati aku mengutuki budaya dan diriku sendiri, aku benci terlahir dalam lingkungan Jawa.
Banu, nama itu terlintas dalam pikiranku. Semalam kami tiba di Solo jam sebelas malam, begitu ia mengantaku sampai di depan gerbang rumah, ia langsung bertolak setelah berpamitan singkat. Aku ingin menuturkan kekesalan dan kekecawaan ini pada Banu.
Jemari lentikku menari di atas layar smartphone, mencari nama Banu di dalamnya. Ketemu!!! Inisiatif menelfon Banu muncul dalam kepalaku, tanpa sungkan aku menyentuh gambar gagang telefon di kontak Banu. TUUTT ... TUUTT ... TUUTT ... TUUUTT ... Arghhh lama sekali Banu mengangkat telefon. Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi ... sial, Banu tidak mengangkat telefon. Apa sih yang dia lakukan sampai melupakan aku teman baiknya ini, biasanya ia sekali ku telfon langsung di sambar. Tapi kali ini, ahh Banu aku membutuhkanmu.
...
...
...
Tiga menit ... handphone-ku berdering mersik nyaring mengganggu kekhusyukan tangisku, Banu menelfon balik. Rikuh jari jemariku menggapai alat komunikasi modern itu. Selamat, untunglah sebelum deringnya habis aku sudah menjawab telfon dari Banu itu.
“Nu, ayo balik ke Jakarta sekarang” sesunggukan aku berbicara pada Banu
“lho kenapa balik sekarang, Ras? Baru sampai semalam lho” Banu balik bertanya dengan nada bingung.
“kamu mau ndak balik sekarang?, kalo ndak mau aku balik ke Jakarta sendiri naik kereta”
TUTTUUT ... telefon Banu ku tutup, terputus di situ. Aku kemudian bergegas mengambil tas berisi buku dan dompet semalam yang tergeletak di atas meja rias. Di depan meja rias, aku sempat merapikan rambutku sebentar sambil memandangi cermin yang seolah mentertawakanku. Untung saja aku sudah sempat mandi hari itu, hingga kudapati pantulan wajahku yang teramat ayu di dalam cermin. Aku pergi dari rumah, atau boleh dikatakan kabur karena keluar melalui jendela besar kamarku tanpa berpamitan mencium tangan bapak dan ibu. Stasiun Purwosari tujuanku. Naik ojek yang bertengger di sekitaran kompleks rumahku, hatiku kaku tertembak angin dan tersapu sinar matari mengingati kata ‘perjodohan’. Makin tak sukalah aku pada darah budaya yang mengalir lekat dalam tubuhku, makin risih aku dengan Jawa. Kenapa aku tak terlahir di tengah suku Minang, atau Sumatera, atau Dayak, atau Badui mungkin. Meski aku tak paham apakah suku-suku tersebut lebih kuno daripada suku Jawa atau tidak, yang pasti saat ini aku tak mau mengingat-ingat apalagi mengaku sebagai orang Jawa kalau ditanya orang.
Stasiun ini ramai, bising. Aku tak suka disini, bukan karena bising ini mengganggu. Namun terlebih karena ini adalah kota kelahiranku, kota yang mengekangku. Lebih seperti belenggu yang mengikatku dengan adat istiadatnya. Ketika aku melihat layar handphone-ku, waktu menunjukkan jam satu lebih tujuh menit, ada empat belas missed call. Lima dari rumah dan sembilan dari Banu. Membaca nama Banu menyadarkanku kalau aku belum memesan tiket kereta untuk berangkat ke Jakarta. Konyol betul budaya yang mengikatku, membuat aku sekejap menjadi orang bodoh yang tergesa-gesa dan lupa dengan akal sehatku. Lalu apa yang dapat aku lakukan, kembali ke rumah aku segan. Duduk di stasiun menunggu kereta nanti malam datang? Rasanya aku ingin menangis saja, naluri ke-perempuanan-ku muncul tiba-tiba. Seperti biasanya jika aku tertimpa kesulitan yang membuatku seperti terkunci dalam ruang kosong tak berhias di dinding, aku pasti akan pergi menyendiri lalu menangis. Aku juga suka menangis, kalau sendirian. Tak pernah ku tunjukkan air mataku pada siapapun, aku tak pandai menitikan air mata di depan orang lain. Apalagi di tempat seramai ini, tempat yang hiruk-pikuk dan sesak ini. Aku malu!!!. Namun sesuatu yang ada di ujung netraku ini seperti tak dapat menahan dirinya sendiri.
Setetes, setetes, lalu setetes lagi dan setetes terus. Aku menagis, kalah pada amarah.
“Ras ... ”
Suara itu, hampir tak terdengar seperti memanggilku. Aku nyaris tidak mengenalinya karena sedang terpusat pada emosi dalam diriku.
“Laras” suara itu memanggilku lagi. Kali ini ia bersama raganya duduk di sampingku, menyentuh pundakku yang kaku serta menyelipkan rambut-rambutku yang jatuh terurai ke telinga, ia lantas berbisik merdu, “jangan nangis, Ras”
Itu Banu.
“Nu ... ayo balik ke Jakarta sekarang” pintaku pada Banu sambil menyeka air mata di muka.
“ya udah ayo balik, aku kesini kan nyusulin kamu. Kenapa nangis segala, katanya perempuan kuat?”
“aku sebel sama kota ini, aku sebel terlahir dari keturunan Jawa, Nu. Aku ... aku ... ” ceracauku risau, terbata-bata di akhir kata. Amarah bercampur gundah membuat aku seperti kehabisan kata-kata untuk mengungkapkannya, hanya air mata. Aku hanya ingin menangis mengingati perkataan bapak. PERJODOHAN, hal itu selalu mengiang-ngiang di dalam kepalaku.
“lhoh ... ” timpal Banu, “sudah aku bilang kan, jadilah orang Jawa sejati Ras. Jangan bilang ndak suka terlahir di dalam lingkungan Jawa. Perempuan Jawa itu istimewa, Laras itu istimewa”
Setelah menumpaskan air mata kesedihan yang di latari suara kaki-kaki manusia yang berhaluan dan kereta-kereta yang berlarian, aku dan Banu kembali ke Jakarta. Sepanjang jalan aku lebih banyak diam, hanya berbicara seperlunya saja. Tiada lagi air mata di sudut-sudut netra, yang ada hanya air mata di lorong-lorong jiwa. Entah itu sisa atau masih akan ada susulan air mata berikutnya lagi.
Laras kan kuat, dulu saja keinginan sekolah di Malaysia bisa kejadian berkat keras kepala yang bekerja dengan baik. Lalu soal kuliah di Jakarta, walaupun awalnya tidak boleh, dengan sedikit paksaan yang konsisten dan bertubi-tubi pada bapak, akhirnya boleh juga meski air muka bapak dan ibu nampak tak ikhlas sepenuhnya. Lalu, soal dijodohkan, aku pasti juga bisa menolak dengan keras kepala yang aku miliki. Mana tega sih orang tuaku melihat aku bersedih, pasti mudah bagiku untuk lari dari hal ikhwal bernama perjodohan. Aku pasti bisa tegar.
***
Hari-hari berikutnya, bapak selalu menelfonku setiap hari. Selalu ku jawabi setiap telfon bapak dengan kilah dan dalih bahwa di hidup yang serba modern ini, tak seharusnya ada perjodohan lagi. Biar aku yang mencari sendiri, nanti kalau aku sudah tak dapat mencari biar bapak yang mencarikan aku. Aku tidak akan mau di nikahkan dengan dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal. Bukankah akan aneh dan tidak mengenakkan nantinya kalau jadi begitu, tinggal serumah bersama suami yang rasanya seperti tinggal bersama orang asing. Hidup serasa tidak bebas.
“ya kalau kamu ndak mau dijodohkan, kamu bawa laki-laki pilihan kamu ke Solo. Kalau pilihan kamu itu lebih baik daripada yang bapak pilihkan, silahkan, bapak tidak akan melanjutkan perjodohan buat kamu, nduk” ujar bapak dari seberang telepon.
Bagaimana boleh begitu, kekasih aku tak punya. Teman lelakiku banyak, tapi mereka semua teman. Perasaanku ya hanya sebatas itu pada mereka, tak ada seorangpun yang kurasai menarik hatiku barang sedikitpun. Terkecuali Banu, orang menyebalkan yang tempo hari kuperlihatkan tangisku. Dia orang pertama yang melihat air mataku, sebelumnya belum pernah ada selain dia. Masa aku naksir Banu, tidak tidak!!!,  cetusku dalam hati. Lalu selanjutnya, hatiku meragu pada kata tidak yang baru saja ia lafalkan.
Cari jodoh di internet itu termasuk hal konyol atau tidak? Berkenalan lewat foto, ketikan tangan, dan cerita yang mungkin juga hanya sebuah rekaan. Palsu. Tapi, ini kan jaman modern, 2016. Sudah ada pula robot yang mampu membantu pekerjaan manusia. Ada kamera pengintai berbentuk burung kecil yang bisa terbang, yang dulu hanya aku saksikan di film kartun waktu kecil.
Aku bisa mendapatkan laki-laki untuk dibawa ke Solo dari sini, pikirku.
*
“nggag punya sopan santun apa kamu ini, baru pertama ketemu sudah pegang-pegang. Jangan kurang ajar”  kataku pada laki-laki di hadapanku yang aku temui di sebuah kafe di Menteng selatan. Aku berjumpa dia setelah sebelumnya berkenalan di situs cari jodoh online beberapa hari yang lalu. Pertemuanku dengannya dijembatani oleh teknologi.
“ini Jakarta, ini kehidupan jaman baru. Kalau kamu mengaku orang modern, harusnya kamu tahu kalau tidak ada batas antara laki-laki dan perempuan saat ini” tutur laki-laki itu, tetap duduk santai di kursinya sambil memperhatikanku, tiba-tiba berubah jemu.
Laki-laki itu kutinggalkan begitu saja. Masih sempat kudengar ia melontarkan kalimat begini, perempuan kampung .... Seketika sesuatu menohok ulu hatiku, kehidupan modern macam apa ini. Sopan santunnya kurang, tidak berbudi. Laki-laki modern macam itukah yang akan aku bawa pulang ke Solo. Tidak. Rasa sebal, marah dan pongah menggelauti seluruh jiwaku. Aku butuh Banu untuk mencurahkan isi hatiku, meskipun aku tahu nanti Banu pasti akan menceramahiku soal budaya Jawa. Tak mengapa, aku hanya butuh bercerita padanya.
Banu mengajakku menonton pertunjukan budaya dan seni jawa yang di gelar di Taman Mini Indonesia Indah. Mungkin itu akan sedikit menghibur pikiranku yang kacau serta hatiku yang risau karena di hantui persoalan jodoh pilihan dari bapak. Ahh, aku berada dalam suasana sengau dalam hidupku. Aku masih muda, tak seharusnya aku ditimpa persoalan seperti ini. Perjodohan, aahh, entah.
“kamu ketemuan sama laki-laki tadi siang? Laki-laki itu dah berani pegang-pegang tangan kamu, kurang ajar sekali dia. Aku saja yang sering dekat-dekat kamu, ndak pernah menyentuh kamu, Ras” komen Banu terkejut mendengar ceritaku soal laki-laki kurang ajar yang aku temui lewat situs online. wajahnya kelihatan marah, bengis.
“aku bodoh sekali ... ” ucapku lirih.
Suara gamelan, saron dan segala alat musik karawitan yang mengalun merdu menjadi backsong percakapan kami. Para penari jawa melenggok badan di atas panggung, disorot lelampuan yang terang. Seakan jelmaan dewi kayangan dari langit, menjadi penyegar bagi ratusan pasang mata yang menyaksikan. Termasuk aku. Tarian yang indah.
“lihat, itu namanya tari bedoyo. Indah, gerakannya sangat halus bukan? Tari jawa itu juga mempunyai makna, Ras” tutur Banu, mulai menceramahiku. “gerakannya halus dan pasti, pelan namun tegas. Seperti prinsip orang jawa, Ras. Alon-alon asal kelakon. Pelan tapi pasti, niatnya sungguh-sungguh.”
“lalu apa” kataku tanpa nada. Hanya memperhatikan wajah Banu ketika berbicara saja, entah mengapa diriku seperti kejatuhan hujan, dingin menyejukkan.
“Laras, kamu itu terlalu sempit memandang budaya Jawa. Kamu itu orang Jawa asli lho, masih ikut keluarga keraton. Cobalah buka hati dan perasaanmu untuk lebih memahami Jawa dan orang-orang di dalamnya ... semua hal yang ada dalam budaya Jawa itu bukannya tanpa makna Ras. Sesuatu yang kecil dalam etnis Jawa tidak melulu bisa di sepelekan. Contohnya saja ketika mau ada hajatan, di cari dulu hari baiknya. Semua dalam Jawa itu ada hitungannya, bukan lelet atau terlalu lama dalam melakukan suatu hal, orang Jawa itu penyabar, Ras”
“Nu, please! Aku lagi ndak pengen denger kamu ngomong soal Jawa” aku menyela omongan Banu.
“Ras, buka mata kamu lebar-lebar. Kamu itu perempuan Jawa, perempuan itu harus kalem Ras. Mana baik kamu ketemu laki-laki Cuma berdua seperti tadi siang, yang dipegang masih tangan kamu, kalau yang di pegang yang lain-lain gimana? Aku ndak suka kamu kaya gitu, Ras. Aku ndak suka kamu seolah-olah lari dari kebudayaan yang megalir dalam darahmu, lihat pakaian kamu, kamu pikir dengan berpakaian modis, cenderung ketat dan memakai celana kemana-mana kamu merasa moderen. Jangan gitulah, Ras.” Banu sepanjang perkataannya menatap mataku lekat-lekat, tak lepas sedikitpun.
“kamu kenapa malah marahin aku? Aku ini butuh teman cerita, Nu. Bukan untuk di ceramahi soal Jawa yang mengesalkan aku seperti ini”
“kamu dijodohkan bapakmu kan, sudah terima saja. ndak perlu capek-capek kabur dari kenyataan kalau kamu menerimanya. Aku ndak pengen kamu jadi konyol seperti ini, menyalahkan takdir yang melahirkan kamu di tengah-tengah suku Jawa”
Kekesalanku memuncak, aku pergi meninggalkan Banu bersama bebunyian gamelan dan lenggokan para penari bedoyo. Sorot netranya mengikuti langkah-langkah kakiku, baru saja beberapa meter aku pergi, Banu menyusul. Ia sigap berdiri di depanku, seperti gapura kokoh menghalang-halangi aku. Aku kekiri, dia ikut kekiri. Aku ke kanan, Banu ikut ke kanan. Benar-benar mencegahku pergi. Terlanjur marah, tangan halusku ini mendorong badannya agar menjauh pergi. Nsmun tak bisa, badannya kokoh benar.
“laki-laki yang mau di jodohkan dengan kamu itu aku, Ras. Terima saja perjodohan itu, terim aku”
Lantas sukmaku hening. Bening.
***
Ibu menuntunku keluar dari ruang pembaringan menuju puadai nikah. Ada gejolak aneh dalam dada, deg-degan, desir darah dalam tubuh yang berubah dengan cepat. Bahkan aku merasa wajahku yang sudah di poles rapi dengan make-up sempurna pun akan nampak merah padam di pandangan orang-orang.
Begini jadinya bapak menang, Banu turut senang dan aku jatuh tenang. Aku terima perjodohan yang di lakukan bapak, karena Banu adalah yang di calonkan untukku. Hari ini, tepat setahun setelah aku tahu kalau Banu adalah orangnya. Selama itu pula Banu membuka pikiranku, membuka seluruh bola mataku untuk melihat secara jelas dan terang, bahwa Jawa tak sekolot ataupun se-kuno yang aku pikirkan. Budaya dan kehidupan Jawa itu menenangkan, penuh kedamaian. Jadi perempuan Jawa harus bangga, karena di atas kepalanya terpanggul kehormatan, penjagaan atas segala apa yang ada dalam hidupnya. Termasuk diri sendiri. Banu berhasil mengubahku menjadi peremuan yang sangat lembut. Kalem seperti keinginannya. Bahkan sampai ke hal terkecil, aku sekarang jarang memakai celana dan pakaian ketat dalam aktivitas sehari-hari. Pakaian yang seperti itu aku rasa memang kurang sopan. Aku lebih sering memakai rok dan pakaian panjang yang lebih sopan, seperti keinginan Banu.
Itu dia pelaminanku, biar ku cicipi malam terakhir kesendirianku dengan duduk termangu, sendiri di pelaminan itu. Tetamu, saudara-saudaraku bahkan kucing yang menggondol makanan sempat terpaku memandangi wajahku. Wajah perempuan Jawa ini, begitu mempesonakah? Bunga warna-warni menghiasi padi-padi puadai nikahku. Harumnya menyambut dan menemai aku yang terduduk sendiri di pelaminan. Sepupu-sepupuku yang jumlahnya tiga orang datang menghampiri lantas duduk bahagia menemani diri. Membuncah ruahlah hati ini, tak sabar menanti esok. Dimana penyatuan dua insan di iringi oleh budaya dan restu yang maha kuasa.
Wahai bidadari, sempurnakanlah ayuku.

You Might Also Like

1 komentar

Tersenyumlah!

Popular Posts