Bulan di Kuburan

9/30/2016 10:13:00 AM

Yogyakarta, 2007
Ku kisahkan perihal pencarian, kejenuhan juga kesepian yang bercampur menjadi satu. Kau pernah memakan sekotak es krim dengan tiga rasa yang berbeda bukan? Rasa dari kisahku mungkin akan seperti itu. Meleleh pelan-pelan, sadar-sadar bahwa es itu telah mencair. Manisnya hilang menguap di udara.
Petang ini di sebuah gang yang aku lewati untuk pergi setiap hari meninggalkan 2x3 M ruang menganga penuh serangga. Tempat yang ketika siang-siang aku gunakan  untuk bermimpi, untuk berpikir, tapi lebih banyak aku gunakan untuk bermimpi sih. Aku harus cukup banyak bermimpi, mimpi-mimpi yang mungkin akan menjadi pertanda, petunjuk atau katakanlah pula firasat. Biar lewat mimpi aku dapat menentukan arahku, mau kemana berikutnya hendak mencari sang Bulan.
Hampir setahun ini, Bulan tak menampakkan diri di langit. Malam-malam seakan terasa lebih panjang, lebih pekat meski malam di jaman sekarang selalu bersinar-sinar, berbinar-binar terang pula akibat lampu-lampu di pinggir jalan, amat banyak. Lampu dari gedung tinggi, lampu dari panggung-panggung musik yang hampir setiap malam menggelarkan nyanyian yang digemari banyak orang. Dataranku terang namun langitku kelam. Ada bintang di sana, kau tahu saat ini aku sedang menunjuk ke arah Bulan biasanya bertengger, di tengah hamparan angkasa yang sekarang malah dihuni gemintang.

Aku lemparkan sepatu agar bintang-bintang itu jatuh, atau setidaknya menjauhi tempat persinggahan Bulan. Selalu meleset, sepatuku melesat tak terlalu tinggi, jelas tak mengenai bintang. BYURR... sepatuku malah jatuh ke selokan, mengagetkan tikus-tikus berekor panjang yang sedang berkerumun berebut entah apa, makanan basi atau mungkin sebuah bayi yang masih melekat ari-ari.
Lihatlah aku, berjalan mendangak sepanjang langkah-langkah. Bersepatu Cuma sebelah. Berdasi namun miring-miring. Memakai kemeja biru kumal. Dan celana bahan yang aromanya sudah, ahh aroma surga.
“Bulaaaan Kau di mana?”
Serak-serak setengah parau, kerongkonganku sudah seperti terowongan jalan raya saja, banyak dilalui suara. Suara teriakan-teriakan memanggil. Yah, hampir setahun ini aku selalu memanggil namun tak pernah disaut panggilanku oleh yang aku cari. Bulanku, entah dimana dia.
“Langit suram tanpa Kau, Lan. Bulaaaaan!”
Aku mencari-cari setiap malam, sampai sudut-sudut kota dan pinggiran desa. Aku mencari di seputaran Tugu putih tak ada. Di Sayidan tak ada. Aku menyelam di selokan mataram pun tak ada aku jumpa secuil jejak Bulan. Sampai aku berjalan dua tiga malam ke arah selatan menuju pantai, kutanyai butir pasir satu-satu, aku saja sampai bingung mana-mana pasir yang sudah aku tanyai, mana yang belum. Marahlah aku, seperti bom atom yang jatuh di Hiroshima, BUUMMMM. Ku tendangi pasir-pasir itu, aku maki-maki mereka. Aku pukul. Aku ludahi. Lantas aku bernyanyi teruntuk mereka, kepada pantai pula seisinya, laut juga gelombang, bahkan karang yang tak nampak-nampak.
Wahai malam Ku panggil Engkau ...
Bukan dengan rasa dendam.

Tipis-tipis kemudian mataku meringis, rasanya seperti kemasukan air laut yang asin, ataukah ini kemasukan pasir yang hendak balas dendam pada ceracauku yang kusam. AHH. Aku menangis, rupanya aku menangis. Sejadi-jadi seperti perempuan hamil yang ditinggal mati suami yang amat dicintainya. Tetes-tetes berjatuhan, aku lantas mendekat pada desiran air yang manja, kembali dan pergi semaunya pada tepi pantai. Basah, mataku basah, mata kakiku basah. Tus.. tus.. tus.. langit juga mau basah. Sudah gelap, basah pula. Lalu hujan mengamuk hebat, seperti aku.
***
Sebenarnya sederhana saja, aku ingin bercerita tentang segala hal perkara apa yang terjadi pada setiap titiknya tentang hari kemarin, kemarin lagi, dan kemarinnya. Lan, aku galau. Bulan, aku harus bagaimana setelah aku menceritakan semua padamu? Gempa tahun 2006 dulu meluluh lantahkan seluruh hidupku, rumahku, mobilku, orang tuaku juga, semua musnah. Lantas mengapa aku yang tersisa, aku yang disisakan sebagai mahluk sebatang kara ini maksudnya apa? Apa maksudnya Bulan?
Bulan diam, mencari jawaban yang pas.
Hidupku tak pernah se-sepi ini, tak pernah se-ambigu ini. Tak pernah tak pernah, sungguh tak pernah. Dengarkan ini Lan, aku mau makan tapi malah ke kamar mandi, mau tidur malah main PS, mau bangun dari mimpi eh malah tubuh dan ruhku tidak pernah sanggup dan mau untuk bergegas. Aku harus bagaimana untuk lepas dari keantah brantahan ini?
Sepi ku amuk, rasanya macam mengamuk Tuhan saja. kesendirian ku amuk, rasanya macam menggerutui takdir pula. Lalu aku mengamuk di depan kaca, aku maki, aku teriaki bayang-bayangku sendiri. Kok malah aku macam orang tak tau diri, memaki sekeping Tuhan dan semesta dalam diriku sendiri.
“Aku dimana?” Mataku mengerjap-ngerjap, lantas aku bangun dari rebah dan mengucek-ngucek mataku yang rasanya setengah picek.
“Kau tidak lihat aku ini seorang suster, tentu saja kau di rumah sakit, Tuan”
“ahh, aku ingin bertanya” kataku.
“apa?”
“kau tau Bulan ada di mana?”
Suster itu mengernyitkan dahinya, alis sebelahnya jadi naik. Lucu sekali tapi aku tak berhasrat untuk mentertawakannya.
“bulan ada di langit, semua orang tau itu” jawabnya.
“bukan Bulan dengan b kecil, tapi Bulan dengan B besar”
“maksud Tuan?”
“maksudku, bukan bulan yang bertengger di langit atas. Tapi Bulanku yang harusnya bertengger di langit hatiku. Kemana, dimana dia?”
Sepintas muka suster itu jadi merah padam, dijentikkannya jarum suntik yang sebentar lagi akan menusuk kulitku, menembus pembuluh darahku “tuan, anda mungkin butuh istirahat”
“suster, ini serius” aku mengelak “di dalam diriku ini ada sebuah galaksi, ada semesta di dalam sini. Bulanku hilang, dan kehilangan Bulan membuat semestaku kacau!” aku berceracau sambil menunuj-nunjuk dadaku. Ku perlihatkan padanya tempat di mana Bulan harusnya ada, ya di langit hatiku, dalam dada.
CUSSS.. jarum suntik menembus kulitku, aku tak merasakan sakit atau sensasi semacam digigit semut tapi. Hambar saja.
“istirahat ya, tidur yang nyenyak” kata Suster berbaju hijau.
Gelap, terang, gelap lagi, terang lagi. Gelap total!
“tolong carikan Bulan, Bulanku...”
***
Aku banyak bermimpi akhir-akhir ini. Aku sadar aku jenuh mencari, aku juga kesepian. Aku jenuh pada semua. Berapa hari sudah aku terbaring di rumah sakit? Suster baju hijau bilang sudah hampir tiga hari, dia juga bilang bahwa biaya perawatanku ditanggung oleh dinas sosial. Wah, aku sudah seperti gelandangan betulan.
Seringkali aku berkicau tentang Bulan yang aneh, menurut suster itu begitu. Masih dibulan Maret tahun 2007, dan aku masih mencari-cari Bulanku. Ahh, langit-langit hatiku kosong tanpa dia dan sinarnya. Tiap kali aku mulai banyak berbicara aneh tentang Bulan, tentang pencarian, pula tentang semesta gaib dalam diriku, suster menyuntikkan cairan ngantuk di lenganku. Ku sebut itu sebagai ramuan hambar yang membuat aku tertidur lantas bermimpi kosong, kosong tak ada rasanya. Padahal tiap kali aku tidur, aku selalu memimpikan wajah Bulan. Sinarnya. Sejuk terang di bawah naungannya.
“hei, Tuan apa yang kau cari adalah Bulan Maharani?” tanya Suster pada malam ketiga aku dirawat.
Aku mengangguk antusias, “ya, ya, kau menemukannya?”
“kau harusnya ingat, Tuan. 2006 baru tahun lalu, masih segar di ingatan semua orang tentang gempa 5,9 skala richter yang dahsyat itu”
“aku tidak peduli pada gempa, dimana Bulan?”
“ini adalah rumah sakit yang sama tempat Bulan dirawat dulu”
“apa Bulan masih di sini? Ah ya, aku rasa dia ketakutan melihat banyak-banyak bangunan roboh. Bulan pasti menungguku di sin, antar aku kepada dia. Suster ayo!” mendadak aku jadi antusias. Mataku yang aku bilang setengah picek jadi membelalak lebar, terang.
“Tuan, Bulan-mu ada di kuburan. Sadarlah!”
***********************************************************************



***jika boleh aku tambahkan  pesan, ahh entah ini pesan atau bukan. setidaknya aku ingin kau yang membaca ini tau, aku sedang gusar, aku merasa ada yang hilang tapi tak tau apa. aku merasa aku diberi tau seseuatu tapi aku tak mampu menerjemahkannya. aku sedang bingung dan merasa hilang. aku linglung.***

You Might Also Like

0 komentar

Tersenyumlah!

Popular Posts