Citra Seksisme dan Seksualitas Perempuan dalam Iklan
4/04/2016 07:40:00 PM
Berbicara mengenai citra perempuan dalam media, tentu sudah kita
ketahui mengenai sederet banyak iklan yang melibatkan peran perempuan di
dalamnya. Ada pesona tersendiri dalam iklan yang ditayangkan di televisi jika
menggunakan perempuan sebagai unsur muatan penyampaian pesan di dalam sebuah
iklan. Meski seringkali, perempuan dalam media tersebut hanya menjadi pemanis,
hanya menjadi objek yang katakanlah tidak ada kaitannya dengan iklan yang
dimaksudkan atau ingin disasarkan pada penonton.
Dalam artikel yang saya buat kali ini, saya menggunakan “Teori Akal
Sehat” atau dalam bahasa inggris disebut Commonsense Theory. Dalam modul
pembelajaran Komunikasi Massa dijelaskan bahwa, teori ini merupakan pengetahuan
(dan gagasan) yang dimiliki oleh setiap orang dengan begitu saja atau melalui
pengalaman langsung dengan masyarakat. Setiap pembaca surat kabar atau penonton
televisi mempunyai teori sendiri (artinya mempunyai seperangkat gagasan)
tentang media tersebut. Masing-masing orang memiliki teori teori berdasarkan
pengetahuan yang dimilikinya tanpa ada usaha atau melalui pengalamannya
sehari-hari.
Fenomena media pada jaman sekarang ini memiliki pengaruh yang
sangat besar. Kehadiran media sangat diperhitungkan dalam segala sendi
kehidupan. Seperti yang kita tahu bahwa media memiliki peran untuk mengkonstruk
atau membangun opini serta pemikiran masyarakat luas.
Mengenai perempuan dalam realitas media, banyak orang yang
mengagumi perempuan sebagai karya seni terindah di dunia. Hal yang
disebut-sebut indah itulah yang melahirkan stereotype tersendiri dalam pikiran
masyarakat. Seperti misalnya yang tertanam dalam benak masyarakat bahwa
perempuan itu identik dengan pandai memasak, pandai mengurus rumah, berdandan,
merawat diri dan hal-hal manis keperempuan-perempuanan lainnya. Hal tersebutlah
yang dimanfaatkan oleh praktisi media guna meningkatkan daya tarik dari sebuah
iklan yang dibuat dan lalu ditayangkan, dipertontonkan di televisi.
Daya tarik tubuh perempuan memiliki marketplace tersendiri yang menggugah penonton iklan tersebut untuk fokus memperhatikan iklan yang ditayangkan mengenai suatu barang, meski pada kenyataannya si penonton iklan sedang gagal fokus menyaksikan iklan yang tayang. Mayoritas golongan orang yang gagal fokus tersebut adalah kaum laki-laki, meski tidak jarang kaum perempuan sendiri juga gagal fokus menatap iklan tidak masuk akal yang ada di layar kaca.
Daya tarik tubuh perempuan memiliki marketplace tersendiri yang menggugah penonton iklan tersebut untuk fokus memperhatikan iklan yang ditayangkan mengenai suatu barang, meski pada kenyataannya si penonton iklan sedang gagal fokus menyaksikan iklan yang tayang. Mayoritas golongan orang yang gagal fokus tersebut adalah kaum laki-laki, meski tidak jarang kaum perempuan sendiri juga gagal fokus menatap iklan tidak masuk akal yang ada di layar kaca.
Iklan yang melibatkan perempuan di dalamnya hanya menampilkan
simbol-simbol yang juga hasil buatan oleh media itu sendiri. Sudah bukan
rahasia umum lagi, kalau perempuan itu idelanya tinggi, langsing, putih dan
memiliki rambut yang tidak keriting. Iklan dewasa ini cenderung mengeksplorasi
dan mengekploitasi simbol-simbol yamg melekat pada perempuan. Contoh misalnya
iklan cat “N* D***” yang telah tayang beberapa tahun yang lalu, tentang seorang
laki-laki yang mengecat kursi taman lalu beberapa saat kemudian datang
perempuan mengenakan gaun pendek berwarna putih duduk di kursi tersebut. Laki-laki
yang habis mengecat kursi tersebut mengingatkan bahwa kursi yang diduduki oleh
sang perempuan baru saja di cat beberapa menit yang lalu. Spontan perempuan
dalam iklan tersebut berdiri dan mengangkat roknya hingga paha mulus bagian
atasnya terlihat sangat jelas, dan itu tidak disendor. Tentu hal tersebut
bertolak belakang dengan norma kesopanan yang berlaku di Indonesia. Iklan tersebut
juga tidak patut karena segmentasinya sudah pasti bukan iklan dewasa yang hanya
ditayangkan tengah malam. Iklan tersebut merupakan iklan cat yang tayang
sewaktu-waktu, dan yang menontonnya sewaktu-waktu pula berasal dari beragam
kalangan. Mulai dari remaja, dewasa, lansia bahkan hingga anak-anak. Beberapa
hari kemudian iklan cat tersebut tayang dengan adegan yang sama, namun ada
penyensoran terhadap bagian paha si perempuan tersebut. Pesan yang ingin
disampaikan dalam iklan tersebut adalah bahwa cat yang digunakan untuk mengecat
kursi taman yang diduduki perempuan cantik tersebut cepat kering, dibuktikan
dengan gaun putih si perempuan yang tidak terdapat noda cat ketika ia
menyibakkannya ke atas hingga pahanya terlihat jelas. Sudah jelas iklan semacam
ini menjadikan perempuan sebagai objek sekaligus ekploitasi sensualitas.
Apa kaitannya paha perempuan dengan cat? Jika dipikirkan tentu tak
masuk akal. Disinilah teori akal sehat memainkan fungsinya. Kenapa harus
menggunakan perempuan sebagai muatan iklan tersebut? Kenapa tidak menggunakan
anak-anak sebagai figur dalam iklan yang duduk di kursi? Atau laki-laki misalnya.
Jawabannya adalah karena citra seksisme dan sensualitas yang dijadikan titik
berat sebagai daya tarik untuk membuat konsumen terfokus (baca:tertarik) dengan
iklan berkaitan, namun kenyataannya konsumen justru gagal fokus dengan iklan
yang mereka tonton. Konsumen malah terfokus pada bagian-bagian tubuh perempuan
yang diekspos sedemikian rupa, hingga mereka mengesampingkan esensi pesan yang
ingin disampaikan oleh iklan. Meski pada akhirnya pesan tersebut tersampaikan
secara tersirat, namun posisi perempuan dalam iklan tersebut patut
dipertanyakan dan dicerna oleh akal.
Namun sebagaimana kita pahami, bahwa manusia memiliki beragam
pandangan masing-masing mengenai pornografi. Sesuatu itu dikatakan porno
tergantung pada kapan, di mana dan oleh siapa ia dilihat serta dinilai. Konteks
menjadi variabel mendasar yang laing menentukan derajat kepornoan sebuah teks
atau tayangan mengenai seksualitas.
Sebagaimana fungsi dasarnya, iklan yang baik adalah iklan yang
mampu berkomunikasi dengan kebudayaan (Frith, 2010). Mengenai pemaparan
penggunaan perempuan sebagai objek eksploitasi iklan dalam tulisan ini, muncul
sebuah pertanyaan, apakah dalam realitasnya budaya kita memang sudah bergeser
seperti itu (ke-barat-barat-an) atau memang iklan bias gender tersebut yang
tidak berjalan sesuai fungsi sesungguhnya?
Media tugasnya adalah merefleksikan realitas, sehingga apa yang
ingin dikomunikasikan dapat diterima dengan baik oleh komunikan atau konsumen. Namun
pada kenyataannya, tujuan penyampaian esensi pesan tersebut lebih
dikesampingkan guna mengejar profit dengan memanfaatkan masyarakat yang
seringkali gagal fokus dalam mencerna iklan. Jadi, penggunaan perempuan sebagai
bagian dari iklan hanya bertujuan sebagai strategi kepentingan pasar.
Dari pengungkapan ini, telah tampak secara kasat mata bahwa media
telah ikut menyebarkan kekerasan terhadap perempuan. Dengan begitu, berarti
budaya patriarki masih melekat erat dalam konstruk pemikiran praktisi media.
perempuan hanya sebagai objek yang ditonjolkan daya sensualitasnya, daripada
menonjolkan produk itu sendiri. Iklan yang kita tonton sehari-hari kebanyakan
bersifat simbolik yang mana selain mempengaruhi konsumen agar tertarik dengan
produk yang ditawarkan, melainkan juga turut memperburuk kaidah-kaidah
kesopanan yang ada dan berlaku di Indonesia.
Mengapa masyarakat selalu dapat dikelabuhi hingga berulang-ulang
akan hal yang jelas menyalahi kaidah kehidupan seperti layaknya yang terkandung
dalam iklan? Jawabannya adalah kurang pekanya masyarakat itu sendiri, kurang
pedulinya masyarakat akan fungsi dan peran media yang sesungguhnya selain
fungsi hiburan. Menurut Nana Sudiana, ada empat alasan mengapa masyarakat masih
sering tertipu oleh bias media yang menampilkan gambar-gambar seronok dalam
penayangannya, antara lain yaitu; masyarakat belum terdidik dan cerdas untuk
memilah dan memilih mana-mana saja konten yang sesuai kaidah. Yang kedua,
karena alasan popularitas, masyarakat dengan suka rela menampilkan
bagian-bagian tubuh pribadinya di hadapan publik. Ketiga, tercipta stigma yang
salah mengenai profesionalisme kerja dalam media, hal ini tidak hanya dapat
dijumpai dalam iklan namun juga dapat dijumpai dalam beberapa film buatan anak
negeri, film horror terutama. Dan yang keempat, pengartian bahwa penayangan
unsur sensualitas tersebut merupakan bagian dari perwujudan seni yang bebas.
2 komentar
tetaplah latihan menulis walaupun tentang realitas entah dari teori-teori yang terpenting kamu menulis dan lanjutkanlaH hobimu ini ... aku akan selaulu ber-apresiasikan na ...O-O
ReplyDeleteMantapp semangatnyaaa sahabat Mujab :D :D
DeleteTersenyumlah!